PALU – Komisi C DPRD Kota Palu melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau hearing bersama PT. Karya Mandiri Membangun soal pengelolaan kebersihan di area shelter hunian tetap (huntap) Kelurahan Balaora, di ruang rapat DPRD Kota Palu, Kamis (09/01).
Hearing itu juga dihadiri Kepala Dinas (Kadis) Perumahan dan Pemukiman Kota Palu Zulkifli, mantan Kadis Perumahan dan Pemukiman Dharma Gunawan, Sekertaris PU, Camat Palu Barat, Lurah Balaroa, serta warga perwakilan korban bencana Balaroa.
Pimpinan hearing, H. Nanang mempertegas bahwa RDP bertujuan menjalin komunikasi terkait polemik tersebut, agar ke depannya tidak terjadi permasalahan adminstrasi dalam pelaksanaannya.
“Kami tidak berkeinginan menghalangi pembangunan huntap Balaroa. Tapi ada prosedur yang harus kita lalui. Jangan nanti warga korban bencana sudah menempati huntap, lalu belakangan muncul masalah baru terkait administrasi penambangan batu gajah,” katanya.
Nanang juga mempertanyakan kontribusi penambangan batu gajah tersebut kepada pemerintah Kota Palu.
Sementara Anggota Komisi C, Muslimun mengaku heran mengapa Pemkot Palu tidak menarik retribusi dari penjualan batu gajah itu. Olehnya, ia mendesak perseroan agar menyerahkan sebagian hasil penjualan batu gajah tersebut sebagai retribusi kepada Pemkot.
“Pemkot Palu tidak boleh diam saja dengan ulah mereka karena perseroan terbatas tersebut sudah mengantongi ijin penjualan batu gajah itu karena retribusi yang mereka bayarkan untuk kepentingan masyarakat,” katanya.
Anggota Komisi C lainnya, Moh. Syarif menambahkan, selama dua kali peninjauan lapangan, pihaknya mendapati adanya aktivitas penggalian batu gajah hingga kedalaman 4 meter di bawah tanah.
Dari informasi yang diterima, sekurangnya 7.000 batu gajah yang telah diangkat dari shelter Balaroa, 3000 di antaranya telah dijual ke Kabupaten Sigi.
Menyikapi hal itu, pihak pengelola pembersihan area shelter Balaroa, Andri Pakaya, menyatakan, aktivitas tersebut bukanlah penambangan, namun mengeluarkan material ke luar lokasi pembangunan huntap, karena batu tersebut berukuran besar.
Untuk material batu gajah yang terjual ke Kabupaten Sigi, kata Andri, pembiayaannya mengalami kekacauan. Sebab dalam kontrak kerja, anggarannya hanya Rp199 juta. Ia mengaku sempat mundur namun karena pertimbangan nurani, akhirnya ia menerima.
Menurutnya, berdasarkan koordinasi dengan masyarakat Balaroa dan Dinas ESDM Provinsi Sulteng, aktivitas tersebut dibolehkan untuk dikomersilkan dalam menutupi pembiayaan.
Maka pihak PTSP mengeluarkan surat izin penjualan batu gajah yang berada di lokasi pembangunan Huntap Satelit Kelurahan Balaroa. Material tersebut ditampung terlebih dahulu di lokasi Taman Ria lalu dijual ke Kabupaten Sigi sekurangnya 3.000 ret.
“Itu pun belum bisa menutupi biaya operasional pengangkutan material. Akhirnya kami terpaksa melakukan peminjaman modal,” katanya. (MELDA)