Di ruang tengah rumah Basalo Lampa, satu kamar menjadi pusat disiapkannya beberapa pendukung wajib prosesi adat, salah satunya mempersiapkan sinolon.
Sinolon seumpama jamuan selamat datang yang diletakkan di piring berwarna putih polos untuk roh leluhur yang akan bertamu. Seperti menyuguhkan teh atau kopi kepada para tamu di abad ini.
Di piring putih itu, rapi diletakkan masing-masing dua buah sirih, pinang, bunut (rokok yang gulung), gamber, dan tilon atau kapur sirih.
Jamuan itu dibuat untuk tiga piring dilengkapi dengan lampu botol (posi) dan diletakkan di tiga tempat; kamar, ruang tengah, dan di sisi pintu depan rumah setelah proses popitoi -proses berpamitan ke leluhur- dilakukan.
Lima bahan sinolon itu merupakan simbol waktu sembahyang umat Islam, sedangkan tiga tempat untuk meletakkan sinolon adalah simbol 3 dari lima waktu itu, dinyalakan bakda ashar setelah rombongan popitoi kembali, lalu magrib, dan Isya.
Sebelum waktu ashar tiba, semua persiapan sudah selesai. Beberapa pau bakalinga (orang tua) sudah berkumpul di rumah. Setelah azan Ashar, mereka bergegas melakukan proses popitoi di tokoluan terletak di kampung Lamo, tepat di bawah pohon lamo (Terminalia Catappa) yang sudah berusia tua, dan dipercaya sebagai lokasi pertama rombongan Ratu Mapang menambatkan perahu mereka.
Menghadap ke arah matahari terbenam, semah diletakkan sedikit berjarak dari kaki pohon lamo. Baris-baris doa dirapalkan, sebentar saja, kemudian rombongan kembali ke rumah.
Ketika tiba di pusat rumah dan duduk bersila, mereka berdiskusi sebentar, dan bersiap ke agenda selanjutnya yakni Mabangun Bongunon Tinano (mendirikan tiang utama) -tiang penyangga untuk meletakkan bambu.

Sebuah kayu panjang dibaringkan di lantai. Para orang tua memegang kayu itu, membcakan doa, sebelum kayu itu didirikan di tengah ruangan.
Kayu yang vertikal itu ibarat ‘Alif’, simbol ketuhanan yang menjadi poros dan kekuatan bagi 11 batang bambu yang akan ditegakkan rapat mengelilingi simbol ‘Alif’.
Alat musik sudah ditata, dan pertama kali menghasilkan irama bobolon barakat ketika sebelas batang bambu menyusul didirikan, dan diikat dengan rotan di tiang kayu tadi.
Batang-batang bambu yang digunakan dalam prosesi sakral itu jenis Bambusa Vulgaris dan Bambusa Vulgaris cv.
Vittata atau dalam bahasa lokal disebut bambu lamayu. 6 berwarna kuning (Bambusa Vulgaris cv. Vittata) adalah simbol laki-laki dan 5 berwarna hijau adalah simbol perempuan (Bambusa Vulgaris). 11 lonjor lamayu adalah representasi 13 rukun salat.
“Ada 11 bambu, berarti 11 rukun sembahyang. Dua rukun lainnya ditambah dengan 2 kalimat syahadat, jadi 13 rukun,” terang Wahab (54) yang dipercayakan mengurus bambu.
Panjang bambu dipotong bervariasi, seperti jari-jari tangan manusia, panjang dan pendek. Bambu kemudian diisi air dari tujuh titik di paisu (air) songolin, tepat pada air yang menggelembung bak didihkan yang biasa disebut bunga air. Tak lupa, sejumlah doa didaraskan ke air itu, kemudian bambu ditutup dengan daun tampok atau daun boloi (cordyline fruticosa).
Bambu berdiri sempurna, dua kendi berukuran berbeda diletakkan di arah selatan bambu dengan ditutupi kain merah dan putih. Satu piring putih (sinolon) diletakkan di arah utara ketika jelang magrib. Bagian tengah batang bambu itu dililitkan kain merah berbentuk segitiga.
Tombak diletakkan dengan mata mengarah ke atas yang ditusukkan pada sebiji buah pinang yang masih berkulit, juga diikatkan kain merah.
Irama bobolon barakat masih terdengar, semakin dalam, mengajak orang-orang menggoyang-goyangkan kepala atau kaki. Seorang perempuan yang akrab disapa Mama Rifa (51) mulai mengitari bambu mengikuti irama bobolon barakat bahkan sebelum bambu-bambu itu tegak seluruhnya.
Irama berhenti sebentar, beberapa doa dibacakan dari dalam kamar tempat disiapkannya sinolon. Semua para tetua mendekat ke ruangan yang terasa magis.
Gendang kembali ditabuh, lebih keras, lebih energik, irama berganti menjadi baulemo. Mama Rifa keluar dari kamar, memegang kain merah dan dikibas-kibaskannya ke orang-orang yang duduk bersila sambil menari.
Tidak lama Mama Bayu (53) keluar pula dari kamar, kain merah menutupi pundaknya, sementara tangannya memegang kain yang sama. Keduanya menari dengan tersenyum, sesekali pada orang-orang tertentu yang ikut bersila mengitari bambu itu, mereka mengibas-ngibaskan kain merah yang mereka pegang. Sesekali juga mereka berhenti, memegang kepala seseorang dengan kain merah itu, merapalkan doa, dan kembali menari.
Alat musik berhenti dimainkan, mama Bayu dan mama Rifa berhenti menari, menunggu waktu magrib berakhir.
Malam hari, keduanya terus menari. Selama gendang ditabuh, selama itu mereka menari. Gerakan tarian itu muncul dari dalam diri seseorang yang kena lamping, mengikuti kata hati. Konon, Ratu Mapaang dan Putri Nur Sapa bahkan para dayang-dayang, mereka selalu menari dengan irama itu, irama baulemo.
Terkait irama pengiring, selain bobolon barakat dan baulemo, total ada tiga irama pengiring yang dimainkan ketika arwah masuk ke tubuh seseorang, mama Rifa atau mama Bayu, mereka akan meminta irama diganti jika ingin.
“Tapi biasanya yang diminta itu baulemo. Baulemo itu ada musik untuk tarian para leluhur dan dayang-dayangnya. Irama yang pertama itu khusus untuk keramat, bobolon barakat. yang kedua untuk iringan tari-tarian, biasanya mereka (mama Rifa dan mama Bayu) minta, karena suka bermain. Yang ketiga itu tabuhan cakalele untuk mengiringi balatindak. Itu tergantung dari mereka juga, kalo mereka minta, ditabuh, kalo tidak ya tidak ditabuh,” jelas Sumitro (48), salah satu penabuh alat musik.
Para pemain musik ditugaskan kepada mereka yang leluhurnya juga menabuh alat musik. Jika kakek mereka memegang gendang, mereka juga memegang alat musik itu. Begitu juga dengan alat musik lainnya.
Pukul 7 pagi rombongan meninggalkan rumah Adjis Adjahum, berjalan kaki, 3 baris dengan beberapa pengawal menuju makam Ratu Mapaang. Orang dewasa, remaja, anak-anak, ikut berjalan kaki. Untuk sementara, jalur Bobolon – Sisikan – Mominit hingga Adean ditutup dari pengendara.
Empat orang perempuan paruh baya memakai blus merah yang panjangnya sepaha mereka. Beberapa blus dilengkapi payet-payet berwarna kuning emas di bagian lingkaran leher dan pergelangan tangan.
Sementara para laki-laki memakai kain merah segitiga yang diikatkan di pinggang. Ada yang memakai di pinggang dan pundak, dan ada yang hanya memakai di pundak. Tetua adat lainnya memakai baju koko putih dilengkapi kukup. Para pengawal juga memakai baju merah yang dilengkapi dengan kukup dan tombak.
Sepanjang jalan, dengan jarak tertentu, bendera-bendera adat dipasang, selain sebagai penanda sedang ada gelaran adat, juga penanda jalan hingga ke makam.
Di makam, dianjurkan bagi yang belum pernah menginjak selasar makam yang sudah ditegel untuk naik dengan melepaskan alas kaki, seorang tokoh adat yang bernama Wahid (58) -penanggung jawab serangkaian prosesi adat -memegang kaki orang-orang yang akan naik bergantian sambil membaca doa.
Mereka yang memakai baju merah dan kain ikat pinggang merah duduk di pelataran makam bersama beberapa orang. Selebihnya menepi, di bawah pohon, sedikit menjauh dari makam. Doa-doa kembali didaraskan di depan asap kemenyan yang menyatu dengan udara.
Rombongan kembali pulang dengan berjalan kaki juga. Seseorang berbaju pengawal dan memegang tombak mulai menari balatindak di depan pagar rumah Basalo Lampa, menunggu dan menyambut rombongan dari makam yang masih beberapa meter.
Tarian balatindak dari pengawal itu disambut oleh pengawal yang mendampingi rombongan pergi ziarah.
Mama Rifa berjalan paling depan, dikawal pengawal di sebelah kirinya, dan Wahid di sebelah kanan. Dua pau bakalinga mempersilakan ia masuk dengan takzim, sementara seorang pengawal yang masih menari balatindak di depan mama Rifa.
Mama Rifa, mama Bayu dan rombongan pau bakalinga lainnyamasuk ke ruang inti acara. Sementara di halaman, beberapa pengawal masih menari balatindak.
Irama cakalele semakin keras, mama Rifa dan mama Bayu mulai menari dengan irama itu. Lincah dan energik. Seseorang juga turut menari lebih lincah, gerakan tangannya berbeda dengan mama bayu dan mama Rifa, sorot matanya lebih tajam.
Ia dipercaya sebagai dayang Ratu Mapang. Dipercaya pula, ketika kembali dari makam, akan ada beberapa orang yang lamping selain mama Rifa dan mama Bayu. Mereka adalah para pengawal dan dayang-dayang Ratu Mapaang.
Beberapa prosesi kembali dilakukan berupa pelafalan doa-doa. Mama Rifa masih menari mengitari bambu. Wajahnya berseri dan terlihat anggun.
“Jadi di sini ini artinya dua, dua situs yang bersejarah keduanya (roh) bekerja sama. Yang di Bungkuko Tatandak itu yang muncul sama mama Bayu, yang sama mama Rifa itu Ratu Mapang,” jelas Wahid.
Setelah ziarah makam, prosesi adat yang terakhir adalah mandi masal. Satu persatu bambu dilonggarkan dari rotan, dan secara bergantian didoakan oleh para orang tua.
Setelah semua air dalam bambu itu didoakan, termasuk air di kendi atau gumbang, berduyun-duyunlah beberapa warga mandi di paisu matube tepat di belakang rumah adat Lampa.
Begitu tiba di tepi sungai, orang-orang turun ke sungai, berjongkok di dalam air, menunggu berkat dari air dalam bambu. Bergantian tetua adat menyiramkan air dari bambu sambil berjalan mengitari mereka.
Setelah air di bambu habis, tetua adat mengambil air dari sungai dengan menggunakan mangkuk keramik antik sebagai gayung.
Basalo Lampa mengatakan bahwa mandi masal dalam babasaloan Lampa tidak memiliki arti mistis. Ia mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak salah menilai dengan membawa-bawa syirik ke dalam prosesi sakral itu. Ia menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan ke dalam bambu adalah doa-doa yang berasal dari Al-qur’an salah satunya surah Al-fatihah.
Dalam agama pun, air memiliki fungsi mensucikan, sebagaimana orang berwudhu dalam Islam. Khusus untuk mandi masal, Adjis menegaskan kembali bahwa mandi adalah aktivitas membersihkan tubuh juga hati dari kotoran.
“Kita mandi, kita membersihkan badan kita. Lewat kuala (sungai) ini, dihanyutkan kotoran-kotoran, penyakit-penyakit yang ada dalam tubuh, termasuk penyakit hati. Sedangkan proses mandi, yang perangkat adat berkeliling menyiramkan air dari bambu, itu simbol memagari, dikandang istilahnya, supaya tidak ada iblis yang mengganggu,” terang Basalo Lampa.
Mama Rifa dan mama Bayu mulai menari usai rombongan mandi masal kembali dari sungai. Seorang dayang yang pasca ziarah makam menari, kembali ikut menari. Irama baulemo berganti cakalele sebentar. Lalu kembali ke irama baulemo. Mama Rifa masih memancarkan keanggunan, selayaknya Ratu Mapaang.
Irama perlahan redup, orang-orang mendekat ke satu ruangan, tangan di pundak atau lutut orang di depan mereka, sementara yang paling depan memegang benda keramat.
Satu doa menjadi mantra penutup, terselip harapan kegiatan mereka direstui Sang Pencipta, niat mereka sampai kepada sang Ratu, dan mereka senantiasa sehat agar mampu melaksanakan hajatan ini berikutnya.
Mereka berjabat salam, menandaskan kewajiban acara sakral. Tersisa seremonial penutupan yang dihadiri oleh Pemda Banggai Laut.
Laporan: Iker
Editor : Rifay