Awalnya, kain Tenun Donggala hanya digunakan sebagai sarung dipakai saat upacara adat dan keagamaan. Kemudian sejak dekade 1970-an atas inisiatif Ince Mawar Abdullah, seniman tari dan tata rias memodifikasi menjadi kostum tari.

Bentuknya semacam gaun backless ala Kaili dalam bahasa daerah disebut “Nosoda Riwinga.”

Melalui sanggar seni Tampilangi yang dibina sejak awal 1970-an selain menampilkan seni tari, juga membidang drama atau teater ditambah pengajaran tata rias dan busana hingga melakukan peragaan busana daerah dengan memodifikasi kain tenun Donggala.

Sering menampilkan tarian kreasi berbusana kain tenun pada acara perayaan hari-hari bersejarah atau pembukaan kegiatan organisasi di Palu hingga dipentaskan di Jakarta.

Adanya kreasi tari nompejomu menggambarkan para gadis Kaili di masa lampau berselubung sarung ketika berjalan atau ketika turun mandi ke sungai.

Tahun 1973 misalnya Ince Mawar dengan modifikasi busana berbahan tenun tampil pada pameran busana dan pertunukan tari tenun di acara “Iramasuka” (Irian Jaya,Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan Kalimantan) di Ersamus Huis (Sinar Harapan, 27 Agustus 1973).

Ince Mawar Abdullah bersama anak asuhannya di Tampilangi beberapa kali mengikuti Pekan Tari dan Musik Daerah Tingkat Nasional di Jakarta, kostum penari selalu berbahan kain tenun selain kain kulit kayu asal Kulawi (Sigi).

Demikian halnya beberapa kali tampil pameran busana di tampil di TMII Anjungan Sulawesi Tengah.

Bahkan tahun 1985 di antara 10 peragawan dan peragawati Tampilangi saat tampil di Istana Merdeka tahun 1985, dua orang di antaranya menampilkan busana berbahan tenun.

Ketika itu rombongan dipimpin Hj. Syamsiar Lasahido, istri Galib Lasahido, Gubernur Sulteng ketika itu.

Sejak terbentuknya IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) tahun 1982 organisasi ini dalam berbagai kegiatan pameran menjadikan kain tenun untuk modifikasi seni kriya.

IWAPI Cabang Sulteng mulai menampilkan motif tak lazim dilakukan pengrajin tradisional berupa simbol Tadulako, Korpri, Scorpio dan lainnya.

Bahkan mulai diperkenalkan peralatan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang belum begitu dikenal kreasi-kreasi tersebut merupakan eksplorasi bagaimana mengembangkan tenun tidak semata sebagai sarung.

Pada akhirnya sejak dekade 2000-an para desainer mengeksplorasi berbagai motif yang terdapat pada kain tenun buya sabe ke dalam kain batik, kelak dinamai “Batik Bomba.”

Suatu tindakan pengalihan motif dari tradisi tenun ke tradisi batik yang secara kultur warga hanya menikmati simbol motif dari pesanan olahan dipabrik di Pulau Jawa.

Penulis : Jamrin AB/Editor : Rifay