Ada banyak kisah tentang proses perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah. Santer kita ketahui perjuangan para tokoh politik, birokrasi, pemuda dan mahasiswa melakukan penggalangan hingga berkongres. Tetapi kisah bagaimana olahragawan berjuang, itu jarang diketahui.

Berikut ini kisah dari Donggala, ketika para atlet yang akan tampil di PON bermodalkan pisau berjuang demi harga diri.

Setelah melewati perjuangan selama bertahun-tahun, akhirnya pada tanggal 13 April 1964 Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) resmi berdiri, ditandai pelantikan pejabat pertama Gubernur Anwar Gelar Datuk Majo Basa Nan Kuning.

Penulisan sejarah penuntutan pembentukan Provinsi Sulteng selama ini seakan hanya diperjuangkan kalangan politisi dan birokrat. Padahal para atlet tidak kalah penting perannya mendobrak lahirnya provinsi, bahkan berani menyerempet bahaya secara fisik dan psikologis.

Adalah Andi Raga Pettalolo (1918-1979), pengurus PERSIDO (Persatuan Sepakbola Indonesia Donggala) dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Sulteng saat PON IV Makassar tahun 1957 memimpin delegasi.

Sebanyak 250 orang berangkat dengan kapal laut Lematang dari pelabuhan Donggala menuju Makassar. Saat itu mendapat dukungan dari Piter Sumbu, anggota TNI Kompi 758 yang bertugas di Donggala dan Abdullah Nento aktivis Gerakan Pramuka salah satu official kontingen PON.

Menurut kesaksian H. Abdul Jalil (1934-2019) atlet cabang sepak bola saat itu, setiba di Makassar para atlet ditempatkan di sebuah gedung sekolah di Jln. Maros. Sedangkan official memencar di rumah-rumah penduduk sekaligus menggalang dukungan terhadap keikutsertaan Sulteng yang belum dipisahkan secara administratif. Cabang olahraga diikuti; sepakbola, bulu tangkis, tenis meja, lompat tinggi, atletik dan bola keranjang.

Tampil di PON V 

Paling heroiknya, para atlet ketika PON V Bandung, Jawa Barat tanggal 30 September – 8 Oktober 1961. Di ajang inilah secara terang-terangan dan tegas kontingen Sulteng membawa bendera simbol Provinsi Sulawesi Tengah berukuran besar warna dasar biru berlogo pohon kelapa bertandan dan berbuah empat biji. Keterwakilan empat kabupaten (Donggala, Poso, Banggai dan Buol Tolitoli) kaya tanaman kelapa di wilayah cikal-bakal Provinsi Sulteng.

Bendera dan umbul-umbul diarak keliling di tengah lapangan saat defile dibawakan tiga atlet yaitu Sutje Borman (atlet tenis meja), Abdul Azis Ranroe (atlet bola keranjang) dan Muis (pemain bola). Ada pula Ibrahim Pagessa guru SMA Negeri Donggala dan Ketua PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) Sulteng ketika itu masuk official, Andi Ngaru Pettalolo (official), Andi Rachma Pettalolo (atlet anggar). 

Saksi dan pelaku sejarah Abdul Azis Ranroe (1937-2016) mengatakan, tampilnya kontingen PON Sulteng di Bandung sangat menentukan sejarah Provinsi Sulawesi Tengah.

Dari 23 provinsi yang ikut, Sulteng berada di posisi 17 dengan mendapat satu medali perak pada cabang lari marathon diraih atlet Markus Lawendatu. Saat acara ramah tamah setelah kegiatan PON, kontingen Sulawesi Tengah menampilkan tari asuhan Ny. R. Razak (Kepala SMEP Negeri Donggala) ketika itu. Dua tarian karya Hasan M. Bahasyuan ditampilkan yaitu Pontanu dan Pomonte.

“Di situlah peran atlet mampu bersuara dan melakukan perlawanan secara politik dengan terang-terangan mendukung pembentukan pemerintahan otonom Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini tidaklah mudah dan perlu keberanian, sayang dilupakan dalam sejarah,” ungkap Azis Ranroe, prihatin.

Demikian pula Ali Sidora yang ikut main bola di PON V Bandung sekaligus panitia urusan pencarian dana bersama atlet lainnya.

Menurutnya, menghadiri PON Bandung tidaklah mudah karena tidak mendapat restu dari Gubernur Sulutteng di Manado yang ketika itu dijabat A.A. Baramuli. Atlet Sulteng mendapat teror psikologis dari atlet asal wilayah Sulawesi Utara yang menghalang-halangi kontingen Sulteng agar gagal ke Bandung.

Bahkan setelah dua orang panitia Ahmad Yahya dan Abdullah Nento baru saja membeli tiket kereta api tujuan Surabaya ke Bandung, tiba-tiba ada radiogram dari Sunandar (Panglima Kodam XIII Merdeka) Manado menyatakan tidak mengizinkan nama delegasi Sulawesi Tengah. Akibatnya, kontingen tertahan beberapa hari di Surabaya, Jln. Kranggang. Abdullah Nento pun mengembalikan semua tiket sehari jelang jadwal keberangkatan dengan konsekuensi dipotong 20 persen.

Adanya tekanan tersebut, Andi Raga Pettalolo pimpinan kontingen tidaklah putus asa. Dengan tekad berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat udara menemui R. Maladi selaku Menteri Penerangan (waktu itu dalam Kabinet Kerja II). Saat pertemuan disampaikan berbagai argumentasi dan harapan agar kontingen Sulteng diikutkan PON.

“Alhamdulillah hasil pertemuan dengan Maladi mendapat jaminan kontingen Sulteng diizinkan masuk peserta PON. Tak ada lagi yang berani menghalang-halangi. Di situlah hebatnya kekuatan bidang olah raga menjadi bagian proses perjuangan mampu membangkitkan semangat solidaritas untuk mencapai perjuangan,” cerita Abdul Djalil.

Bersenjata Pisau

Sambil menunggu di Surabaya, sejumlah atlet mempersenjatai dirinya dengan pisau dapur untuk menjaga-jaga bila saja ada yang menyerang ke asrama penampungan.

“Bayangkan saja masing-masing atlet itu memiliki pisau untuk membela diri kalau ada yang menyerang. Saking banyaknya pisau dibeli, pedagang di pasar waktu itu kaget didatangi orang memborong ratusan pisau,” kenang Abdul Jalil.

Cerita itu dibenarkan Azis Randroe. Bahkan ia sendiri mengaku menyelipkan pisau di sepatu dan badik di pinggang karena sudah nekat lebih baik mati dan terkubur di kampung orang, daripada pulang membawa malu karena tidak bisa tampil di arena PON.

Untung saja tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran atlet di Bandung dianggap perjuangan sangat dramatis. Situasi politik waktu itu masih gencar pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat membuat was-was saat perjalanan kereta api dari Surabaya ke Bandung.

Saat di Bandung salah satu atlet Donggala, Kamarollah Salewangi (kini 84 tahun) masuk seleksi ASIAN GAMES di Jakarta. Kamarollah kelahiran Donggala, 6 Juni 1936 itu bergabung di tim bola voli nasional melalui seleksi. Tercatat sebagai atlet internasional pertama asal Sulteng membawa nama Indonesia. Kamarollah aktif sejak PON IV di Makassar tahun 1957 ke Pekan Olah Raga Daerah (Porda) se-Sulawesi di Gorontalo 1958.

Dari sini terpilih masuk PON V dan direkrut masuk ASIAN GAMES di Jakarta tahun 1962. Memperkuat Sulawesi Tengah pada Pekan Olah Raga Daerah (Porda) di Sanger Talaud tahun 1964 hingga masuk tim kontingen Provinsi Sulteng untuk PON VI di Jakarta 1965. Situasi politik tahun itu terjadi gejolak, PON baru dilaksanakan tahun 1969 PON VII di Surabaya.

Hj. Andi Rachma Pettalolo (75 tahun), putri pertama Andi Raga masih ingat ketika ayahnya bersama tokoh-tokoh memiliki kepedulian. Di antaranya W. Suprapto (Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Donggala), Dandim Donggala Supardi, Djalaluddin (polisi) dan S. Tambing (TNI) sangat antusias bersama Andi Raga memimpin delegasi. Andi Rachma atlet anggar bersama Juharia Syukur, Altje dan Salmah (guru SKKA Palu) dengan pelatih Vicy Mawikere dan Kansil.

“Meskipun kami tidak mendapat medali tapi ini menunjukkan tekad perjuangan untuk terbentuknya provinsi sendiri. Saat pidato pembukaan PON, Presiden Soekarno mengatakan persetujuan kontingen Sulawesi Tengah merupakan masalah pengembangan olah raga, bukan soal politik,” cerita Andi Rachma kepada penulis, beberapa waktu lalu.

Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay