Aspek Hukum, Polemik Larangan Kampanye atau Tindakan Pemerintah pada Norma Pasal 71 UU Nomor 10

oleh -
Dr Sahran Raden

OLEH: Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH*

Salah seorang anggota DPRD di Sulawesi Tengah, mengisahkan kepada saya saat ngopi pagi di salah satu warung kopi di Palu. Beliau menyampaikan bahwa dirinya tidak dapat mengikuti kegiatan kampanye sebagai tim kampanye pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024. Anggota DPRD itu merasa terhambat dengan norma pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Ketentuan larangan norma dalam pasal 71 ayat (1) ini berdampak terhadap sanksi pidana pemilihan, sehingga ada kehawatiran bagi anggota DPRD untuk ikut serta dalam pelaksanaan kampanye. Dalam konteks penalaran hukum yang wajar maka saya ingin menulis opini ini sebagai jawaban dalam konteks hukum.

Apakah ketentuan pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan tersebut dapat dikualifikasi sebagai kegiatan kampnaye ataukah sebagai tindakan perbuatan pemerintahan. Dalam kerangka hukum pemilu, sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana perangkat hukum pemilu memberikan keadilan pemilu dan kepastian hukum.

Tulisan ini hendak memaknai ketentuan norma pasal 71 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Dalam tahapan pemilihan serentak 2024, pasal ini mengalami pemaknaan kotroversial bahkan dipolemikan baik itu pada peserta pemilihan, tim kampanye maupun penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Pertanyaannya, adalah apakah ketentuan pasal 71 ayat (1) merupakan kategori kegiatan kampanye ataukah merupakan perbuatan tidakan pemerintahan?.

Dalam pengalaman saya sebagai penyelenggara pemilu selama 10 tahun, di KPU Provinsi Sulawesi Tengah dengan menyelenggarakan beberapa Pilkada, saya tidak pernah menemukan polemik pemaknaan dari ketentuan pasal sebagaimana disebutkan diatas.

Saat ini ada kegamangan bagi anggota DPRD yang disebut sebagai pejabat daerah untuk melakukan kampanye pemilihan tahun 2024. Sesuai dengan tahapan, masa kampanye Pilkada serentak 2024 telah dimulai pada 25 September 2024 dan berakhir pada 23 November 2024.

Timbul kekhawatiran bagi anggota DPRD selama kampanye pemilihan jika ikut serta berkampanye menimbulkan dampak adanya dugaan pelanggaran kampanye dan dapat diberi sanksi pidana pemilihan sesuai ketentuan Pasal 188Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015,

Konstruksi Hukum Kampanye Pemilihan

Kampanye dalam konstruksi regulasi pada undang-undang Pemilihan, didefenisikan bahwa kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Kepala Daerah (Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota).

Konstruksi norma tentang kampanye juga diatur Lebih lanjut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, yang diundangkan pada 20 September 2024.

Kampanye sebagai kegiatan menyampaikan visi, misi dan program pasangan calon dilakukan dengan berbagai metode kampanye seperti pertemuan terbatas, dialog, kunjungan ke pasar, debat calon, rapat umum, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye serta kegiatan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan.

Kampanye juga dilakukan oleh pasangan calon, tim kampanye, partai politik dan gabungan partai politik pengusul pasangan calon serta orang lain yang diberi tugas oleh pasangan calon. Setiap pelaksanaan kampanye dilakukan oleh petugas kamonaye yang memfasilitasi pelaksanaan kampanye pasangan calon.

Dimaknai Kampanye atau Tindakan Pemerintahan

Dalam Ketentuan pasal 71 dalam Undang Undang 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota telah menjadi salah satu polemik hukum pada tahapan kampanye dalam penyelenggaraan pemilihan serentak 2024.

Ketentuan Pasal 71 (1) menyatakan bahwa Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap pelanggaran pasal 71 ayat (1) ini memiliki sanksi pidana. Sebagaimana di atur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015, Pasal 188 , Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Disebabkan adanya sanksi pidana pemilihan sehingga anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota enggan atau khawatir untuk ikut serta dalam kampanye pemilihan.

Frasa “pejabat daerah” dalam pasal 71 UU Pemilihan tersebut telah menimbulkan tafsir yang berbeda beda bagi peserta pemilihan dan penyelenggara pemilu. Pasal ini telah menimbulkan kekahawatiran bagi anggota DPRD yang dianggap sebagai pejabat daerah sebagaimana maksud norma tersebut.

Apabila kita melihat penjelasan norma ketentuan nya, dapat ditemukan pada penjelasan pasal 71 ayat (1) yang dimaksud dengan “pejabat daerah” adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah.

Dalam ketentuan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya pada Angka 4 dalam ketentuan umum menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

DPRD dalam konteks regulasi diatas, memiliki kedudukan sebagai satu kesatuan pemerintah daerah bersama dengan Gubernur dan Wakil Gubenur, Bupati dan Wakil Bupati serta walikota dan wakil walikota.

Kedudukan DPRD. Ketentuan Pasal 94 UU Pemerintah Daerah menyatakan bahwa DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD merupakan Lembaga perwakilan yang merepresentasekan kehendak dan kedaulatan rakyat di pilih melalui Pemilu. Pengaturan berkaitan dengan DPRD sebagai pejabat daerah dapat ditemukan juga dalam pasal 95 ayat (2) bahwa Anggota DPRD provinsi adalah pejabat Daerah provinsi, begitu pula pada anggota DPRD Kabupaten/Kota ditemukan pada pasal (2) Anggota DPRD kabupaten/kota adalah pejabat Daerah kabupaten/kota.

DPRD sebagai Lembaga penyelenggara pemerintah daerah memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Tiga fungsi ini yang dijalankan ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan Tindakan pemerintahan. Dalam konteks hukum adminitrasi negara bahwa perbuatan hukum Tindakan pemerintahan dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan atau bestuursorganen dengan Prakarsa dan tanggungjawab sendiri.

Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan. Sedangkan Keputusan dalam konteks hukum dapat dikategorikan sebagai Keputusan administrasi pemerintahan.

Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.


Dengan demikian, frasa “pejabat daerah” yang dimaknai anggota DPRD sebagaimana dalam pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan bukanlah termasuk pihak yang dilarang untuk berkampanye dalam penyelanggaraan pilkada serentak tahun 2024, dan tidak ada ketentuan pidana jika berkampanye, kecuali terkait dengan larangan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

Perbuatan untuk membuat keputusan dan/atau Tindakan dalam norma pasal ini masuk dalam kategori Tindakan perbuatan kebijakan pemerintahan.

Kampanye pemilihan serentak 2024 sesuai ketentuan Undang Undang Pilkada maupun Pearturan KPU tentang kampanye dilakukan dengan berbagai metode melalui pertemuan terbatas, debat calon, rapat umum, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye.

Kampanye selain dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah, juga dilakukan oleh partai politik dan gabungan partai politik pengusul pasangan calon serta tim kampanye atau pihak lain yang ditugaskan oleh pasangan calon kepala daerah.

Anggota DPRD Bukan Kategori Pejabat Daerah yang Dilarang Berkampanye

Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 Tentang Kampanye Pilgub, Pilbub dan Pilwali, tidak terdapat larangan anggota DPRD menjadi tim kampanye, karena dalam Pasal 7 ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2014 dinyatakan “Dalam melaksanakan kampanye, pasangan calon bersama partai politik peserta Pemilu atau gabungan Partai Politik Peserta Pemilu membentuk tim kampanye”, dan ketentuan tersebut tidak menjelaskan secara tegas bahwa anggota DPRD dilarang menjadi tim kampanye, karena sesungguhnya anggota DPRD merupakan bagian dari partai politik.

Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2014 terdapat larangan kampanye dalam Pilkada hanya terbatas pada Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, pejabat negara atau pejabat daerah yang mengikuti kampanye menggunakan fasilitas negara terkait dengan jabatannya, dan menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya.

Sedangkan kegiatan kampanye Pilkada bukan merupakan kewenangan, program dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya, tetapi berkaitan dengan pelaksanaan kampanye Pilkada, dimana pasangan calonnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Jadi dengan demikian, tidak ada larangan berkampanye bagi anggota DPRD sebagai pemegang kursi parlemen, termasuk menjadi ketua dan anggota tim kampanye pasangan calon.

Meskipun anggota DPRD dikategorikan sebagai pejabat daerah, bukalah termasuk yang diatur dalam ketentuan pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan. Sebab frasa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon bukanlah pada konteks pelaksanaan kampanye namun pada perbuatan tindakan pemerintahan mengenai tugas dan fungsinya.

Sehingga apabila anggota DPRD membuat Keputusan dan Tindakan pemerintahan sesuai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan itulah yang masuk larangan kualifikasi pada ketentuan pasal 71 ayat (1) UU Pemilihan. Dalam konteks pelaksanaan kampnaye anggota DPRD merupakan bagian dari partai politik pengusul pasangan calon dalam pilkada yang memiliki hak untuk melaksanakan kampanye.

*Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu