ASN dalam Pusaran Politik Lokal Pemilihan Serentak Tahun 2024

oleh -

OLEH: Faizal J, S.H*

Pemilihan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 adalah “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.

Lanjut secara eksplisit menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023.

Tanggal 27 November 2024 mendatang merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk pertama kalinya dilaksanakan secara serentak di seluruh provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Pelanggaran terhadap prinsip netralitas ASN menjadi perhatian serius dalam menjaga kepatuhan etika dan integritas di dalam birokrasi pemerintahan.

Indikator terhadap prinsip netralitas ASN dapat dibagi menjadi dua, yaitu ketidakterlibatan dan ketidakberpihakan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan landasan hukum yang mengatur status, peran, dan tanggung jawab ASN di Indonesia.

Salah satu prinsip utama yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah prinsip netralitas, yang menjelaskan bahwa setiap ASN harus bersikap independen dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.

Pasal 9 ayat (2) dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Ini berarti ASN harus mengutamakan kepentingan publik dan tidak membiarkan kepentingan pribadi atau kelompok memengaruhi kinerja dan keputusan mereka.

Dalam konteks Pemilihan, netralitas ASN diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 70 ayat 1 dari undang-undang tersebut melarang pasangan calon untuk melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri dalam kampanye atau kegiatan politik praktis lainnya dan Pasal 71 ayat (1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Tak hanya sampai situ saja, dalam ketentuan Pidana Pemilihan Pasal 188 “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”

Dan Pasal 189 “Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat badan usaha milik negara, pejabat badan usaha milik daerah, Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”.

Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa proses Pemilihan dapat berlangsung secara adil dan transparan, serta dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang terlibat.

Netralitas ini menjadi penting untuk ditinjau dalam konteks partisipasi dan dukungan politik menuju Pemilihan serentak 2024. Pada praktiknya, terdapat sejumlah dinamika yang perlu diperhatikan dan dianalisis lebih lanjut.

Pertama, penggunaan fasilitas dan sumber daya negara termasuk anggaran oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk kepentingan politik tertentu.

Hal ini bisa mencakup penggunaan kantor, kendaraan dinas, atau pemanfaatan APBD untuk kepentingan politik dalam berbagai bentuk, termasuk melalui bantuan sosial (bansos), fasilitasi organisasi perangkat daerah (OPD) dalam sosialisasi calon, hingga penggunaan fasilitas lainnya.

Kedua, intimidasi dan pengaruh ASN yang menggunakan posisi strategisnya untuk mempengaruhi pemilih atau bahkan mengintimidasi mereka agar mendukung calon tertentu.

ASN sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan, seringkali menjadi alat untuk mendistribusikan program sosial dan kesejahteraan dalam rangka memperoleh dukungan politik.

Kepala daerah atau kandidat petahana bisa memanfaatkan ASN untuk menggunakan sumber daya dan wewenang yang dimilikinya untuk mendistribusikan dana publik kepada masyarakat sebagai upaya untuk memperoleh dukungan politik.

Kandidat petahana memberikan hadiah atau pemberian kepada kelompok masyarakat tertentu sebagai bentuk penghargaan atau imbalan atas dukungan politik. Tentu ini menciptakan ikatan patron-klien antara penguasa dengan masyarakat, karena pemberian imbalan materi diharapkan dapat menarik dukungan politik.

Pemanfaatan dana publik dalam politik bertentangan dengan prinsip netralitas ASN. Fenomena ini menjadi problematika yang sangat relevan dalam Pemilihan serentak 27 November 2024 mendatang, peran ASN dalam distribusi dana publik menjadi krusial, dan jika tidak dijalankan dengan netral dan adil, dapat memengaruhi integritas dan keadilan dalam proses politik serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Oleh karena itu, penegakan netralitas ASN dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana publik menjadi kunci untuk menjaga integritas dalam proses Pemilihan dan memastikan demokrasi yang sehat.

Selain itu, penulis juga berkesimpulan bahwa kenetralan ASN dalam kontestasi Pemilihan serantak 2024 harus diimplementasikan dengan nilai-nilai kode etik dan kode perilaku sebagai ASN.

*Penulis adalah Staf Bawaslu Kabupaten Banggai Laut