PALU – Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia menggagas kegiatan diskusi bertema “Rekonstruksi Pascabencana yang Berintegritas,” di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, dua hari lalu.

Arkom Indonesia merupakan adalah platform non-formal terbuka bagi arsitek, dan profesional lain yang bekerja dengan komunitas/kampung untuk diskusi, tukar informasi, dan koordinasi kerja komunitas.

Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Aktivis ARKOM Nawir, Asisten II Bidang Administrasi Ekonomi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng Bunga Elim Somba, Ketua Pusat Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Untad Dr. Haliadi Sadi, dan Dosen Arsistektur Untad Rachmat Saleh.

Asisten II, Bunga Elim Somba, mengatakan, pascabencana melanda, ada rekomendasi dari Bank Indonesia (BI) yang perlu mendapat penanganan secara cermat.

“Yakni pemulihan ekonomi sektor pertanian, terutama dalam perbaikan infrastruktur irigasi,” katanya.

Kemudian, lanjut dia, pemulihan di sektor perdagangan, perhotelan dan restoran agar aktivitas berjalan normal.

“Dan pentingnya menciptakan iklim usaha dengan memberikan kredit baru dan sebagainya sebagai stimulan,” katanya.

Namun, kata dia, hal itu baru mengurangi dampak, bukan kebijakan jangka panjang. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa angka penggangguran tak lama lagi akan meledak, karena banyak usaha yang tutup.

“Maka perlu melakukan program kerja bersifat padat karya,” ujarnya.

Sementara Aktivis ARKOM, Nawir, mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait bencana alam, di antaranya tentang paradigma melihat bencana.

“Kita yang selamat ini paham, bahwa usaha ini hanya mengurangi risiko bencana,” katanya.

Kemudian, lanjut dia, proses pembangunan hunian dan rekonstruksi yang dipimpin masyarakat penyintas

“Dalam perspektif disaster relief reduction, maka harus dipakai orang-orang yang selamat. Ini direplikasi oleh arsitek komunitas yang punya keahlian dan pengetahuan tentang arsitek tetapi bekerja dengan masyarakat.

Sementara menurut Dosen Arsistektur Untad, Rachmat Saleh, yang paling penting ditangani saat ini adalah soal hunian

“Misalnya tentang kepuasan bermukim,” katanya.

Ukuran kepuasan bermukim, kata dia, ditentukan rona lingkungam fisik, iklim teknologi, sumber daya alam dan selera.

“Arsistek sulit mengukur selera orang per orang. Tapi kalau disamakan juga jadi problem tersendiri,” katanya.

Kemudian, kata dia, lahirlah arsistektur hunian sebagai perwujudan keberadaan penghuni untuk berlindung, menempa pengalaman serta bergerak, bercerita hidup dan kehidupanya.

“Catatan penting problem soal hunian, bahwa hunian adalah tempat proses berlangsungnya pengembangan diri,” tutupnya. (IKRAM)