APDP Prihatin Budaya Tradisi Hilang Tergerus Proyek PLTA

oleh -
Alat berat Excavator mengeruk sungai di depan jembatan Yondo mPamona menjadi kebanggaan warga. Foto : IKRAM

POSO – Yombu Wuri (66), Berti Supa (47), Kristian Bontinge (67), Mastian Pasadju (58), Yuser Bujalemba (63) dan Iin Hokey (49) mereka dari latar belakang berbeda tapi memiliki kesamaan pandangan menjaga kelestarian lingkungan dan budaya adat Poso kini perlahan mulai tergerus, adanya perusahaan PT.Poso Energi (PE) .

“Kami ini tidak punya kepentingan pribadi sama sekali terjadi di danau Poso, karena tidak ada sawah kami tenggelam, tidak ada apa-apa kami jadi korban atau dampak dari ujicoba pengoperasian bendungan PLTA Poso Energy 515 Megawat 2020 lalu,” kata Yombu Wuri salahsatu inisiatif Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP) ditemui di Kelurahan Pamona, Kecamatan Pusulemba, Kabupaten Poso, baru-baru ini.

Ia mengatakan, mereka dikumpulkan karena keprihatinan, terhadap lingkungan, aset-aset budaya dan tradisi yang terusik, gegara kehadiran PE.

“Kompodongi yang dirusak , Yondo mPamona, situs-situs sejarah yang dibom,” itulah menjadi keprihatinan dari kami, ” kata Yombu.

Ia mengatakan, naiknya air pasang danau ini tidak pernah disosialisasikan, yang disosialisasikan Kompodongi yang ditimbun, Yondo mPamona yang dibongkar dan sungai digali.

“Itulah menjadi keprihatinan kami, mencoba menyuarakan, tolong dipikirkanlah,” ucapnya.

Ia mengatakan, semua yang mereka suarakan tentang Kompodongi, Yondo mPamona tergilas oleh kepentingan, berlalu begitu saja.

“Harapan ketika kami bersuara mendapat banyak dukungan masyarakat sekitar, tokoh -tokoh , eksekutif dan yudikatif tapi ternyata tidak ada, hingga kami merasa sendirian,” ucapnya.

Ia menuturkan, Kompodongi tempat paling bagus mencari ikan dengan tradisi mosango, wilayah itu juga menjadi tempat biota.

“Yondo mPamona merupakan situs warisan menggambarkan semangat kegotong royongan masyarakat desa-desa sekitar,”pungkasnya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG