Pertanyaan:
Assalamualaikum. Ustad, ada seorang remaja muslim dengan santainya merokok di depan umum bahkan di depan mesjid saat yang lain sedang berpuasa di bulan Ramadan. Lalu remaja itu dimarahi dipukuli oleh warga. Pertanyaannya, apakah warga yang memukul itu berkurang pahala/batal puasanya, mengingat mereka sedang emosi, tapi di satu sisi mereka ingin marah terhadap maksiat di depan mata? (Tora, Sigi)

Jawaban:
Terimakasih, pembaca yang budiman. Sebelum saya jawab ada baiknya, kita musti tahu ancaman bagi orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan

Nabi SAW bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِى غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Maknanya :
“Barangsiapa tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya uzur atau keringanan yang Allah SWT berikan kepadanya, maka tidak akan bisa ia menjadi ganti puasa yang dia tinggalkan dengan sengaja itu, meskipun dia berpuasa selama satu tahun.” (HR Abu Hurairah).

Syekh Abdurrauf Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menjelaskan bahwa puasa qadha’ (mengganti puasa) yang dia lakukan itu tidak bisa menjadi pengganti dari puasa satu hari di bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan dengan sengaja. Lebih jelasnya bahwa satu hari puasa di bulan Ramadhan tidak sama keutamaannya dibanding dengan puasa di selain Ramadhan sekalipun puasa terus menerus, hal itu disebabkan dosa tidak puasa satu hari di bulan Ramadhan tidak akan bisa hilang, sementara puasa qadha’ yang dilakukan di luar Ramadhan tidak bisa menyamai keutamaan puasa di bulan Ramadhan. Oleh sebab itu, sangat rugi orang-orang yang tidak puasa atau dengan sengaja membatalkan puasa di bulan Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam. Sebab, qadha’ puasa yang dilakukan di luar Ramadhan tidak bisa setara keutamaan dan keberkahannya dengan hari-hari di bulan Ramadhan.

Lebih tegasnya lagi Nabi Muhammaf saw memberitahukan akan ancaman bagi orang yang tidak berpuasa. Orang yang dengan nekat membatalkan puasanya di bulan Ramadhan akan mendapatkan ancaman dan siksaan yang sangat pedih di akhirat. Tubuh mereka akan digantung, dan dari mulutnya akan keluar darah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits, yaitu:

عَنْ أَبي أُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا. قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Terjemahnya:

“Dari Abu Umamah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Pada saat aku tidur, aku bermimpi didatangi dua orang malaikat membawa pundakku. Kemudian mereka membawaku, saat itu aku mendapati suatu kaum yang bergantungan tubuhnya, dari mulutnya yang pecah keluar darah. Aku bertanya: ‘Siapa mereka?’ Ia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum diperbolehkan waktunya berbuka puasa’.” (HR An-Nasa’i)

Adapun hukum menegur orang yang berbuka puasa di depan umum.

Sebelum menjawab ada bagusnya kita menyimak hadits nabi Muhammad SAW dalam beramar ma’ruf nahi munkar

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Terjemahannya :

”Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Hujjatul Islam Imam abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin menjelaskan dengan panjang lebar soal amar ma’ruf nahi munkar ini. Bahkan ia menuliskan dalam satu bab khusus pada jilid II kitab tersebut. Dalam kitabnya ia mengunakan redaksi hisbah (nahi munkar). Hisbah atau nahi munkar harus dilakukan secara urut, mulai tahap pertama sampai tahap kelima,
tidak boleh melompat-lompat.

Tahap pertama:
Menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kemungkaran atau haram. Jika tidak berubah, kemudian menuju

Tahap kedua:
Memberi nasehat pelakunya dengan kata kata lembut, bukan kata-kata yang kasar. Jika belum berhasil, lanjut,

Tahap ke tiga: Mencaci dan mencela pelakunya. Imam Al-Ghazali mencontohkan dengan kalimat: “Ya Jahil, Ya ahmaq, Hai orang bodoh, hai orang goblok, apa kamu tidak takut Allah?!” Jika masih belum berhasil juga, maka,

Tahap ke empat: Mencegahnya dengan paksa. Misalnya dengan menumpahkan khamr atau merebut barang curian. Jika belum berhasil juga, maka

Tahap ke lima: Mengancam dan memukulnya.

Penting !

Karena langkah kelima ini dapat menimbulkan perlawanan, sehingga masing-masing membutuhkan bala bantuan, dan dapat menimbulkan bentrokan fisik atau perang, maka langkah kelima ini hanya boleh dilakukan atas izin pemerintah atau pihak yang berwenang.

Adapun langkah pertama sampai keempat tidak perlu izin kepada pemerintah atau siapapun.

Referensi :
(Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin , [Beirut, Darul Ma’rifat], Juz II, halaman 315).

Kesimpulan

  1. Tidak puasa di bulan Ramadhan adalah merupakan dosa besar yang tidak dapat ditebus.
  2. Menegur orang yang tidak berpuasa ada adab dan cara harus mengikuti tahapan-tahapan yang sudah diharuskan oleh ulama.
  3. Marah tidak membatalkan puasa.

Wallahu a’laam bisshowaab.
(Ustadz Zainal, Pembina Jalsatul Jumah Majelis Jibril Kalukubula)