PALU – Pemerintah Kota (Pemkot) Palu melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), didukung oleh sejumlah tokoh masyarakat dan ormas setempat, bersepakat melakukan perubahan nama Jalan Anoa II dan Jati II menjadi Jalan Lalove.

Perubahan menjadi nama alat musik khas Kaili itu menyusul terbukanya akses utama menuju Jembatan V Palu yang menghubungkan antara Kelurahan Nunu dan Tatura Utara.

Sekretaris BPBD Kota Palu, Irsan Sidjo, kepada MALOnline, baru-baru ini menuturkan, nama jalan tersebut diambil dari kearifan lokal masyarakat Kaili dan sudah sesuai persetujuan Wali Kota Palu.

“Kita sudah menerima arahan dari Bapak Wali Kota tentang letak papan nama jalan itu,” ucapnya.

Kata Irsan, sebelumnya nama jalan tersebut ada dua, yakni Jalan Jati II yang berada di Kelurahan Nunu dan Jalan Anoa II yang ada di Kelurahan Tatura Utara.

“Tapi sekarang dua jalan itu kita satukan menjadi Jalan Lalove yang dari kedua arahnya telah terpasang papan nama,” terangnya.

Dia menambahkan, Jalan Lalove berbatasan dengan Jalan Emi Saelan di Tatura Utara dan Jalan Jati di Kelurahan Nunu tersebut diperkirakan berukuran sepanjang 1 kilometer.

“Jadi terkait akses yang menghubungkan kedua kelurahan ini, sudah siap untuk dilintasi, hanya saja belum tembus, tinggal menunggu proses penyelesaian pembangunan Jembatan V Palu yang direncanakan dalam beberapa bulan ke depan akan segera rampung,” tutup Irsan.

Lalove sebagaimana dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id berasal dari kata Love (bahasa kaili) tempo dulu yang berarti suara yang mengalun sayup-sayup terdengar menerawang dari kejauhan.

Sumber informasi tersebut menyepadankan “love” dengan kata nggose yang berarti siulan, bunyi mendesah yang menarik perhatian atau memanggil.

Namun Love dalam pengertian bahasa Kaili saat ini diartikan sebagai burung elang. Pada lingkungan tempat tinggal masyarakat kaili, burung sering berkicau atau mengeluarkan suara diketinggian pepohonan bamboo atau dari kejauhan. Masyarakat kaili tidak mengenal kebiasaan memelihara burung dalam sangkar.

Lalove itu adalah hasil dari kebudayaan setempat yang lingkungan tempat tinggalnya banyak ditumbuhi bambu. Sehingga bukan hal yang aneh bila mereka membuat sebuah alat music dari bambu.

Artinya dapat diduga bahwa Lalove adalah peniruan dari bunyi dihasilkan dari pepehonan bamboo yang kebetulan berlubang dan ditiup oleh angin.

Lalove juga memiliki kisah erat yang berkaitan dengan legenda Sawerigading yang sedang melakukan perjalanan di tanah Kaili.

Alkisah, ketika Sawerigading ingin meminang Ngilinayo, Raja wanita dari kerajaan Sigi, salah satu syarat lamaran yang diajukan oleh Ngilinayo adalah diadakannya adu ayam antara ayam milik Sawerigading dan ayam milik Ngilinayo.

Untuk memeriahkan acara adu ayam tersebut, maka dibunyikanlah alat alat music yang dibawa oleh Sawerigading, termasuk Lalove.

Ternyata suara lalove dapat mengungah/memanggil orang-orang untuk datang ke tempat adu ayam tersebut bahkan yang sedang sakit pun datang menghadiri. (HAMID)