Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*
Publikasi angka kemiskinan dalam setahun dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada Maret dan September, sehingga perhitungan angka kemiskinan baik nasional maupun daerah dilakukan pada periode Maret-September dan September-Maret. Pada 16 Januari 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kenaikan angka kemiskinan nasional dari Maret 2022 sebesar 9,54 persen atau 26,16 juta jiwa menjadi 9,57 persen atau 26,36 juta jiwa pada September 2022. Secara spasial, penduduk miskin, penduduk miskin di perkotaan bertambah 160 ribu jiwa dari 11,82 juta jiwa pada Maret 2022 menjadi 11,98 juta jiwa pada September 2022 atau mengalami kenaikan dari 7,50 persen menjadi 7,53 persen. Sedangkan, penduduk miskin di perdesaan bertambah juga sebesar 40 ribu jiwa dari 14,34 juta jiwa menjadi 14,38 juta jiwa, atau terjadi kenaikan dari 12,29 persen menjadi 12,36 persen.
Pada September 2022, konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada Pulau Jawa sebanyak 13,94 juta, diikuti oleh Sumatra sebanyak 5,76 juta jiwa, sedangkan di Pulau Sulawesi sebanyak 2,03 juta jiwa dan Maluku-Papua sebanyak 1,54 juta jiwa. Hal ini berarti 52,88 persen penduduk miskin terkonsentrasi di Jawa. Selanjutnya, persentase penduduk miskin tertinggi berada di Maluku-Papua sebesar 20,10 persen, diikuti oleh Bali-Nusa Tenggara mencapai 13,46 persen dan Pulau Sulawesi sebanyak 10,06 persen, serta Sumatra dan Jawa masing-masing 9,47 persen dan 9,03 persen. Garis kemiskinan pada September 2022 mencapai Rp535.547,- atau naik dari Rp505.469,- yang secara absolut naik Rp30.078,- atau meningkat 5,95 persen. Pada September 2022, garis kemiskinan makanan meningkat absolut sebesar Rp22.670,- dari Rp374.455,- pada Maret 2022 menjadi Rp397.125,- atau naik 6,05 persen. Sedangkan garis kemiskinan non makanan meningkat absolut sebesar Rp7.408,- dari Rp131.014,- pada Maret 2022 menjadi Rp138.422,- atau naik 6,05 persen. Proporsi garis kemiskinan makanan terhadap pada September 2022 mencapai 74,15 persen. Secara spasial, garis kemiskinan makanan di perdesaan mencapai 76,21 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 72,77 persen.
Pada 3 September 2022, Pemerintah mengumumkan penyesuaian harga BBM subsidi solar CN 48 dari Rp5.150,- menjadi Rp6.800,- dan Pertalite dari Rp7.650,- menjadi Rp10.000,-Penyesuaian ke atas BBM bersubsidi ini bermakna mengurangi subsidi dengan cara menaikkan harga di tingkat konsumen, lalu mengalihkan proporsi subsidi tersebut ke masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah menyesuaikan harga BBM Non Subsidi Pertamax Turbo dari Rp17.900,- menjadi Rp15.900,-, Dexlite dari Rp17.800,- menjadi Rp17.100,- dan Pertadex dari Rp18.900,- menjadi Rp17.400,- per liter. Penyesuaian ini bermakna penyesuaian ke bawah atau harganya diturunkan sesuai harga keekonomiannya. Pada waktu hampir bersamaan dengan pengumuman pemerintah tersebut, data yang bersumber dari https://fred.stlouisfed.org/series/DCOILWTICO#0 menunjukkan bahwa harga minyak mentah (crude oil) dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) bagi penyerahan Oktober 2022 menurun dari US$89,55,- menjadi US$86,61,- per barel dan jenis WTI Brent bagi penyerahan November 2022 menurun dari US$95,64,- menjadi US$92,36,- per barel. Pada Juli 2022, harga minyak mentah Brent bagi penyerahan September 2022 mencapai US$104,20 per barel dan harga minyak mentah WTI bagi pengiriman Agustus sebesar US$96,91,- per barel. Oleh karena perdagangan minyak mentah dunia (Brent dan WTI) merupakan future trading, turunnya harga minyak mentah dunia tidak serta merta menurunkan harga BBM Bersubsidi dalam negeri karena BBM ini merupakan harga di tingkat konsumen yang merupakan produk akhir hasil dari bisnis hilir migas (downstream) setelah melalui penyulingan (refining).
Pengurangan subsidi BBM dengan cara menaikkan harga BBM bersubsidi secara langsung menimbulkan efek domino pada penduduk miskin ekstrim. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, maka ongkos produksi industri meningkat, lalu ongkos transportasi meningkat, akhirnya harga pada tingkat konsumen naik yang menggerus paritas daya beli masyarakat. Kelas menengah ke bawah menarik dalam-dalam tabungannya, Rumah Tangga Miskin (RTM) ekstrim semakin terpuruk karena pengeluaran semakin membebani. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat memperkirakan bahwa inflasi akan meningkat pada Tahun 2022 dari baseline 3,5-4,5 persen menjadi 6,3-6,7 persen. Itulah sebabnya eksekusi kebijakan pengurangan subsidi BBM dilakukan pada saat momentum tekanan inflasi yang rendah agar ekspektasi tetap terjaga, karena dampak kenaikan harga-harga akan terasa pada Oktober-Desember 2022. Pemerintah berupaya memitigasi agar inflasi tetap terjangkau dan dampak rambatannya sangat minimal dan terbatas. Konsekuensinya, laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada pada kisaran 5,1-5,4 persen pada 2022. Namun, inflasi year-on-year pada Desember 2022 berada pada tingkat yang dapat ditolerir yakni mencapai 5,51 persen, sedangkan laju pertumbuhan ekonomi pada Triwulan ketiga 2022 mencapai 5,72 persen, yang selanjutnya diperkirakan pada 2022 laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1-5,4 persen.
Pada September 2022, penulis memperkirakan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi relatif terbatas dan diperkirakan laju pertumbuhan ekonomi akan berlanjut terus. Namun, trend peningkatan laju pertumbuhan ekonomi ini justru terganggu oleh volatilitas harga makanan dan energi dunia sebagai konsekuensi dari perang tanpa kesudahan antara Rusia dan Ukraina yang dapat merembet ke negara lain. Selain itu, tanpa adanya kenaikan harga BBM, angka kemiskinan diperkirakan akan menurun dari 9,54 persen pada Maret 2022 menjadi 9,57 persen pada September 2022. Kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10,000,- solar menjadi Rp6,800,- dan Pertamax menjadi Rp14,500,- diperkirakan akan meningkatkan kemiskinan pada 2022 menjadi 9,9 persen atau meningkat 0,6 persen. Mengapa kenaikannya hanya 9,57 persen atau hanya 0,03 persen antara Maret-September 2022? Hal ini karena Pemerintah Pusat, melalui APBN mengantisipasi melalui pemberian bantalan sosial baik Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun Bantuan Subsidi Upah (BSU). Strategi yang dilakukan Pemerintah Pusat dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp134,- triliun atau Rp600,- ribu ke Rumah Tangga Miskin (RTM) dan pemberian Subsidi Upah Pekerja yang Berstandar Upah di bawah Rp3,5,- juta per bulan dengan total general Rp9,6,- triliun, Padat Karya Kementrian PUPR sebesar Rp13,7,- triliun menyasar pada 652.264 orang, Kartu Pra Kerja Rp22,- triliun, KUR Super Mikro Rp21,2,- triliun di luar Rastra, KIP, KIS, PKH, BLT Dana Desa, Subsidi Listrik dan LPG. Kebijakan ini idealnya dapat menurunkan angka kemiskinan dari 9,54 persen menjadi 9,0 persen. Lalu di mana bottle necknya? Rumah Tangga Miskin (RTM) telah “dikeroyok” oleh berbagai program Pemerintah Pusat yaitu pemberdayaan yang mengarah pada strategi mengurangi beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi kantong-kantong kemiskinan, namun, pada sisi lain dapat menimbulkan amal karikatif dan memanjakan RTM yang dapat menciptakan koloni kemiskinan. Kemampuan self-help RTM akan berkurang karena ketergantungan pada amal karikatif ini. Sayangnya, bantalan sosial yakni dukungan Pemerintah Daerah melalui 2 persen Dana Transfer Umum baik DAU maupun DBH untuk Perlinsos, Penciptaan lapangan kerja dan subsidi sektor transportasi antara lain ojek, angkutan umum, nelayan dan UMKM kurang berjalan sebagaimana mestinya.
Data realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berupa bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, subsidi sektor transportasi, perlindungan sosial lainnya yang bersumber Kementrian Keuangan per 13 Januari 2023 menunjukkan bahwa dari 542 daerah di Indonesia, pada September 2022 barulah 140 daerah yang melaporkan realisasinya atau 25,83 persen. Lalu pada Oktober 2022, 320 daerah yang melaporkan realisasi dari 537 daerah atau proporsinya 59,59 persen. Selanjutnya, pada November 2022, 532 daerah melaporkan realisasinya dari 532 daerah yang artinya 100 persen, serta pada Desember 2022, 330 daerah melaporkan 100 persen realisasi dana PEN Penanganan Inflasi tersebut atau total general mencapai Rp2,57,- triliun dengan realisasi hanya 69,38 persen dari Rp3,70,- triliun. Data mengindikasikan pertama, ada keengganan daerah untuk mengeksekusi dana PEN Penanganan Inflasi tersebut yang digariskan 2 persen dari Transfer ke Daerah (TKD) termasuk dana penanganan inflasi yang sudah diearmarked. Kedua, ketika Pemerintah Pusat mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, Pemerintah Pusat cepat mengeksekusi dan penanganan inflasi tersebut, tetapi lagi-lagi terjadi keterlambatan di daerah yang menyebabkan antisipasi kenaikan harga-harga sembilan bahan pokok sebagai dampak rambatan dari naiknya harga minyak bersubsidi yang akan terasa pada Oktober dan November 2022 kehilangan “momen antisipasi”, sehingga efektivitasnya kebijakan terganggu oleh ketidaktepatan waktu.
Di daratan Sulawesi, realisasi dana penanganan inflasi tertinggi oleh Satuan Kerja (Satker) Provinsi Sulawesi Utara mencapai 90,99 persen atau Rp7,84,- dari Rp8,61,- miliar. Kecilnya alokasi Satker Sulut ini karena angka kemiskinannya memang rendah di bawah 10 persen dan jumlah penduduk miskinnya separuh dari jumlah penduduk miskin Sulteng. Realisasi paling rendah dana penanganan inflasi terjadi pada Satker Kabupaten Bolaang Mongondow Timur hanya mencapai 21,78 persen dan Kota Manado sebesar 51,48 persen. Satker Provinsi Sulawesi Tengah hanya dapat merealisasikan dana Penanganan Inflasi sebesar 77,63 persen atau Rp53,1,- miliar dari Rp68,40,- miliar. Di Sulteng, realisasi terendah dana penanganan inflasi terjadi pada satker Kabupaten Poso sebesar 8,33 persen atau Rp617,31,- juta dari Rp7,41,- miliar, lalu Kabupaten Morowali Utara sebesar 29,58 persen atau Rp1,07,-miliar dari Rp3,61,- miliar, diikuti oleh Kabupaten Parigi Moutong sebesar 34,81 persen atau hanya Rp1,61,- miliar dari Rp4,64,- miliar, Kabupaten Morowali sebesar 40,40 persen atau Rp9,04,- miliar dari Rp22,37,- miliar, serta Buol hanya 51,66 persen atau Rp1,50,- miliar dari Rp2,91,- miliar. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa pertama, koordinasi dalam penanganan inflasi pun dalam kondisi normal daerah ini “gagap koordinasi” serta menunjukkan adanya tidak saling sinergi baik antar provinsi dengan kabupaten/kota maupun antar sesama kabupaten/kota sendiri, yang menciptakan uncorporated antar provinsi dan 13 kabupaten/kota, tanpa konsep strategi. Kedua, dana penanganan inflasi di Sulteng mencapai total general sebesar Rp43,99,- miliar atau proporsi terbesar pada dana Penanganan Inflasi di Sulteng hanya mencapai Rp15,30,- miliar menunjukkan bahwa adanya mismanagement dalam pengelolaan keuangan. Hal ini dapat berujung pada pengurangan alokasi APBN ke daerah ini karena selalu merasa “kurang uang”, lalu diberikan tidak dapat menggunakannya secara tepat waktu, tepat strategi, tepat mutu, chance does not knock twice.
Akibatnya, walaupun Sulteng termasuk satu dari 20 provinsi di Indonesia yang angka kemiskinan ekstrimnya pada Maret 2022 menurun dari 3,15 persen pada Maret 2022 menjadi 3,05 persen pada Maret 2022, tetapi, rapor merah tahun pertama Pemerintahan Sulteng adalah naiknya angka kemiskinan dari 12,18 persen pada September 2021 menjadi 12,33 persen pada Maret 2022. Oleh karena penanganan kemiskinan di Sulteng hanya dominan dilakukan oleh masing-masing 13 kabupaten/kota, sedangkan provinsi hanya meluncurkan “hagala” Rp1,- juta per RTM desil 1 pada APBD 2022, usaha ini tidak akan sebanding dengan kenaikan angka kemiskinan akibat kenaikan harga BBM bersubsidi dan munculnya kemiskinan baru dari para pekerja bebas yang tidak bekerja lagi, tingginya pengangguran lulusan SMK hingga 7,35 persen dan 4,59 persen lulusan universitas.
Penulis memperkirakan angka kemiskinan Sulteng akan naik pada periode Maret 2022 ke September 2022 karena analisis historis menunjukkan bahwa baik angka kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan periode September 2021-Maret 2022 meningkat masing-masing dari 2,24 poin menjadi 2,41 poin dan 0,62 poin menjadi 0,68 poin, serta “gagap koordinasi” dalam mengantisipasi kenaikan inflasi yang ironisnya disebabkan oleh komoditi yang melimpah di Sulteng. Hal ini ditunjukkan oleh inflasi pada Desember 2022 mencapai 0,8 persen dominan disebabkan oleh komponen makanan, minuman dan tembakau sebesar 2,95 persen yang secara rinci beras dan rokok menjadi penyumbang kemiskinan di Sulteng. Akankah kemiskinan Pulau Sulawesi sebanyak 2,03 juta jiwa atau 10,06 persen, atau bertambahnya 200 ribu jiwa penduduk miskin Indonesia disumbangkan juga oleh kenaikan angka kemiskinan Sulteng pada September 2022???
—
*Penulis adalah Associate Professor FEB-Untad