PALU – Sabtu, 13 April 2019, Provinsi Sulawesi Tengah yang berpenduduk sekitar 3,2 juta jiwa dan tersebar di 13 kabupaten/kota palu merayakan Hari Ulang Tahun yang ke-55.
Tanggal 13 April diambil sebagai peringatan hari berdirinya provinsi ini karena pada tanggal yang sama tahun 1964, berlangsung serah terima Daerah Keresidenan Sulawesi Tengah yang terpisah dari Sulawesi Utara berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.36 tanggal 13 Pebruari 1964.
Banyak kemajuan yang telah diraih daerah seluas 61.841 km² –terluas di Pulau Sulawesi ini– selama menjadi daerah otonom, setelah dipimpin sembilan gubernur definitif dan tiga pejabat gubernur.
“Namun satu hal yang masih harus mendapat perhatian serius semua pihak adalah angka kemiskinan yang masih cukup tinggi,” kata Longki Djanggola, Gubernur yang memimpin daerah ini sejak 2011.
Dalam sebuah forum organisasi pemerintah daerah (OPD) baru-baru ini, Longki mengakui bahwa persoalan kemiskinan masih memprihatinkan, walau pemerintahannya terus berhasil menurunkan angka kemiskinan setiap tahun.
“Sampai September 2018, masih 13,69 persen penduduk berkategori miskin, jauh di angka rata-rata nasional 9,66 persen,” katanya.
Berbagai pihak mengaku heran dengan masih tingginya angka kemiskinan di provinsi yang baru dilanda gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang menimbulkan kerugian material Rp40-an triliun dan korban jiwa lebih 4.000 orang ini.
Akademisi Universitas Tadulako Palu Prof Dr H Patta Tope mengemukakan angka kemiskinan Sulteng masih tinggi karena garis kemiskinan di provinsi ini juga cukup tinggi karena garis kemiskinan juga sangat tinggi, bahkan yang paling tinggi di Sulawesi.
Badan Pusat Statistik (BPS) setempat mencatat garis kemiskinan Sulawesi Tengah pada September 2016 hingga Maret 2017 mencapai Rp391.763 perbulan. Peran komoditi makanan sangat besar yakni Rp297.376 atau 75,91 persen, sementara komoditi bukan makanan sebesar Rp94.388 atau sekitar 24,09 persen.
Sementara garis kemiskinan di Sulawesi Utara Rp333.510, Sulawesi Barat Rp302.852, Gorontalo sebesar Rp296.730, Sulawesi Tenggara sebesar Rp285.609 dan Sulawesi Selatan Rp283.461.
“Artinya, warga dengan penghasilan rata-rata Rp390.000/bulan di Sulawesi Tengah sudah termasuk keluarga miskin, tetapi di lima provinsi lainnya di Sulawesi itu sudah tidak masuk kategori miskin lagi,” ujar Patta Tope, mantan Kepala Bappeda Sulteng itu dalam suatu kesempatan.
Menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako Palu itu, garis kemiskinan di Sulteng tinggi karena mata rantai perdagangan komoditi, khususnya bahan makanan terlalu panjang sehingga saat tiba di tangan konsumen, harga komoditi itu terlalu tinggi.
Jadi, katanya, di tengah upaya menggenjot peningkatan pendapatan melalui investasi dan pembukaan lapangan kerja, mata rantai perdagangan juga harus terus diperpendek untuk menekan biaya tinggi dalam proses distribusi sehingga angka garis kemiskinan juga bisa terus ditekan. (RIFAY/ANT)