Analisa Pembentukan Badan Peradilan Khusus Dalam Penanganan Pemilu Serentak Nasional Kepada Daerah Tahun 2024

oleh -
Perisalah Legislatif Ahli Muda DPRD Kota Palu, Bayu Febrianto. (FOTO : media.alkhairaat.id/Yamin)

Pemungutan suara serentak nasional untuk memilih Kepala Daerah Tahun 2024 tidak lama lagi untuk dihelat, hanya menyisakan beberapa bulan untuk di laksanakan voting day yakni pada bulan November Tahun 2024. Pesta demokrasi yang berlangsung di daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota akan menyuguhkan para calon kepala daerah yang menyampaikan gagasan program demi kemajuan daerah guna meyakinkan para pemilih sebagai sang pemilik kedaulatan di negara hukum ini dengan berlatar belakang pelbagai strata pendidikan, sosial maupun pekerjaan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dalam rangka ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten, dan Kota sebagai pemenang pemilihan umum tahun 2024 ini akan menjadi titik awal pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak sesuai keinginan pembentuk Undang-Undang.

Apabila membaca ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (dibaca UUD NRI Tahun 1945)  pasca amandemen menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pemaknaan frasa “dipilih secara demokratis” menandakan kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan Wali Kota di pilih secara langsung oleh rakyat tanpa melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPRD (hal ini pernah dikuatkan pula melalui Putusan MK RI Nomor :072-073/PUU-II/2004 dan pula dimaknai juga oleh pembentuk undang-undang). Polarisasi pemilihan anggota legislatif khusus untuk DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, dan DPRD Kota dalam rangka pengisian jabatan-jabatan mempunyai kesetaraan dengan pemilihan kepala daerah yakni dipilih langsung oleh rakyat.

Dengan demikian telah meneguhkan prinsip/asas demokrasi dalam struktur ketatanegaraan dijalankan oleh daerah yang diberikan distribusi kekuasaan baik oleh UUD NRI Tahun 1945 maupun undang-undang sebagai bentuk atribusi kewenangan serta pula memperkokoh sistem check and balances yang terjadi antar alat kelengkapan negara yang ada di daerah, utamanya lembaga negara yang diberikan bentuk penamaan dan kewenangan bersifat atribusi langsung disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seperti kepala daerah dan DPRD.

Tidak jarang hal yang selalu dijumpai dalam setiap kontestasi pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah di Negara Hukum Demokratis Indonesia ini ialah persoalan ketidakpuasan dari proses pemilihan baik yang berasal dari dugaan kecurangan antar calon legislatif di daerah pemilihan, mobilisasi masyarakat dengan iming-iming uang, atau terjadinya praktik black campaign antar peserta pemilu/calon kepala daerah maupun pengerahan aparatur birokrasi bagi calon kepala daerah yang berstatus petahana untuk menguntungkannya yang pada akhirnya perolehan suara pada proses perhitungan hasil pemilihan untuk penetapan pemenang perolehan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum baik KPU RI maupun KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota menjadi tidak sesuai harapan bagi para peserta pemilu legislatif/calon kepala daerah lainnya. Sehingga kontektual penyelesaian sengketa hasil dilakukan melalui pelaku kekusaan kehakiman yang disebut Mahkamah Konstitusi (penulis singkat MK RI).

Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota sebagai landasan acuan tahapan proses pemilihan memberikan jaminan konstitusi dan hukum  bahwa setiap sengketa pemilihan umum diselesaikan melalui MK RI. Menilik dari sejarah perjalanan awal berdirinya MK RI sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang dimulai di canangkan tanggal 18 Agustus 2003 (sebagai refleksi gagasan pembentukan MK di dunia di dominasi dari peralihan negara otoritarian ke negara demokrasi), MK RI menjalankan kewenangannya untuk memutus hasil perselisihan pemilu hanya terpaku pada penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum baik Pemilihan Umum untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, DPD) maupun pemilihan Presiden.

Namun, pada medio tahun 2008 MK RI mengambil kewenangan menangani sengketa proses Pemilihan Kepala Daerah tersebut dari Mahkamah Agung dengan membatalkan ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku). Sehingga pada saat tersebut menjadi titik awal telah mulai era penyatuan rezim Pilkada dan Rezim Pemilu dalam penyelesaian sengketa di MK RI dengan sejumput persamaan diantaranya prinsip/asas pemilihan yang sama maupun lembaga kekuasaan kehakiman yang menyelesaikan sengketa pada satu atap.

Semenjak tahun 2008 hingga pada tahun 2013 atau selama 5 tahun sebelum Mahkamah Konstitusi memutus dirinya tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah melalui putusan MK RI Nomor : 97/PUU-XI/2013 atas judicial review mengabulkan permohonan ketentuan Pasal 236 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman putusan MK RI banyak diwarnai dengan penalaran, argumentasi, dan pemikiran yang bersifat progressif dengan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran hakim MK di negara yang sudah maju sistem hukumnya, contoh misalnya MK RI melakukan gebrakan untuk tidak melakukan pola dogmatik alias bertindak sebagai la bouche de la loi (hakim sebagai terompet/corong undang-undang) karena kedudukan ketatanegaraan MK RI sebagai pengawal konstitusi (the guardian constitution), muncul pemeriksaan sengketa proses dengan cara-cara yang progressif yang menyebabkan lahirlah unsur-unsur pelanggaran harus memenuhi unsur Tersruktur, Sistematis dan Massif (TSM).

Bukan itu saja, MK RI dalam kapasitasnya selaku lembaga yang memutus judicial review pernah bertindak sebagai positive legislatur untuk menambah norma dalam rangka melakukan terobosan hukum melalui racio decidendi sebagaimana yang tertuang dalam pertimbangan putusannya. Rakyat yang tidak terdaftar namanya dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak memiliki hak suara dengan alasan teknis namun pada saat hari pelaksanaan pemungutan suara cukup membawa KTP ataupun KK untuk memilih calon kepala daerah, hal ini dapat dilihat pada amar putusan MK RI Nomor : 102/PUU/VII/2009 yang bersifat konstitusional bersyarat dengan dilakukan pada jenis putusan self executing karena terjadi kedaruratan ketatanegaraan apabila tidak langsung dijalankan tanpa merubah undang-undang. Posisi MK RI dikala itu menjelma menjadi sangat penting dalam perkembangan ketatanegaraan, penemuan hukum (rechtvinding) dan tidak terkesan hanya meneguhkan  keadilan prosedural namun jauh daripada itu untuk mencapai keadilan substantif menjadikan skema melakukan pergantian pimpinan negara melalui cara-cara yang konstitusional.  

Produk Hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota merupakan follow up dari putusan MK RI khususnya Pasal 157.  Menarik menjadi diskursus yang belum menemukan kata sepakat dari para ahli hukum di Indonesia ialah soal penempatan Badan Peradilan Khusus pada pelaku kekuasaan kehakiman. Kedudukan MK RI sebagai man state organ (dalam posisi yudikatif) akan digantikan oleh badan peradilan khusus yang secara normanya telah tercantum. Pada saat MK RI masih menangani perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, beban kerja MK RI dengan penyelesaian banyak sengketa perselisihan pada satu waktu yakni setelah penetapan KPU, batasan waktu untuk menyelesaikan putusan sesuai jadwal yang telah disepakati oleh pihak KPU sebagaimana yang diatur dalam Peraturan MK RI yang menyesuaikan pula dengan agenda pelantikan kepala daerah terpilih, serta jumlah hakim MK RI yang dibatasi oleh UUD NRI Tahun 1945 berjumlah 9 orang menyebabkan tumpukkan perkara untuk kewenangan MK RI seperti pengujian undang-undang maupun kewenangan lainnya menjadi beban yang lamban untuk diselesaikan.         

Dalam teori struktur, pelaku kekuasaan kehakiman di negara Indonesia ialah MA RI dan MK RI (tidak mengikutsertakan Komisi Yudisial). Ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa “… Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara…” Menjadi gambaran deksripsi penempatan Badan Peradilan Khusus tersebut. Dari 4 (empat) Peradilan di MA RI yang ideal untuk menempatkan Badan Peradilan Khusus tersebut ialah Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Begitu pula pengaturan hukum acara yang berprinsip kepastian hukum, peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan biaya ringan patut untuk dipertimbangkan. Penulis juga memberikan masukkan, demi mengejar kepastian hukum pemenang pemilihan kepala daerah serentak upaya hukum ditiadakan. Pada saat pengadilan pada tingkat pertama berkedudukan pula tingkat terakhir untuk mengadili, memeriksa dan memutus maka putusannya bersifat mengikat dan final dan berlaku secara erga omnes (berlaku pihak manapun).        

Tentunya publik menanti tindakan cepat dari unsur pemerintah guna menyiapkan perangkat-perangkat hukum utamanya peraturan yang mengatur sturktur Badan Peradilan Khusus, hukum acaranya maupun jenis putusannya nanti apakah bermuara pada condemnatoir ataukah hanya bersifat constitutif belaka saja. Kita nantikan !!!

Penulis : Bayu Tandepayu  (alumnus Angkatan 2004 Fakultas Hukum Universitas Tadulako dan sekarang memangku JFT Perisalah Legislatif Ahli Muda di Sekretariat DPRD Kota Palu)