Anak-Anak dan Save the Children Inisiasi Aksi Bersih Pantai dan Tanam Bakau

oleh -
Anak-anak dan Save The Children menanam mangrove di Labean , Kabupaten Donggala. Ahad (23/5). Foto : Ist

DONGGALA – Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan, sebaran abrasi pantai di Sulawesi Tengah (Sulteng) sebanyak 34 titik. Angka ini merupakan terbanyak ketiga di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan (57 titik) dan Sulawesi Tenggara (74 titik).

Abrasi pantai berdampak pada penyusutan garis pantai sehingga daratan utama semakin berkurang, berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah, serta merusak hutan bakau di sepanjang pesisir pantai sehingga memperbesar risiko bencana.

“Krisis Iklim dirasakan dampaknya secara nyata oleh anak-anak saat ini, terutama pada mereka yang tinggal di daerah rawan bencana dan pernah mengalami histori kejadian bencana skala besar seperti misalnya di Kabupaten Donggala,” jelas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication, and Media – Save the Children Indonesia dalam keterangan diterima MAL Online, Senin (23/5).

Troy juga menegaskan, tanpa adanya aksi nyata dilakukan segera, yang dimulai dari lingkungan keluarga serta anak-anak, maka anak-anak akan terus menanggung beban tidak proporsional karena situasi mereka alami saat ini. Anak-anak dan keluarga terdampak langsung dari krisis iklim juga harus dibantu dalam melakukan upaya-upaya adaptasi, karena kemampuan mereka terbatas.

BACA JUGA :  Risnawati Siap Perjuangkan Aspirasi Masyarakat Buol dan Tolitoli

Validasi Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, terdapat 5.402 total kejadian bencana pada tahun 2021 dan 99,5 persen di antaranya merupakan kejadian bencana hidrometeorologi yang berasosiasi dengan iklim dan cuaca ekstrem, misalnya terdapat 91 kejadian gelombang pasang serta abrasi. Selain itu, total bencana terjadi pada 2021 mengalami kenaikan sebanyak 16,2 persen dari tahun sebelumnya.

Tercatat sebanyak 728 orang meninggal dunia dan lebih dari 7 juta jiwa menderita dan mengungsi, termasuk di antaranya adalah anak-anak.

Menyoroti hal tersebut, kelompok anak di Kabupaten Donggala tergabung dalam Child Campaigner Save the Children Indonesia, menginisiasi Aksi Generasi Iklim dengan melakukan aksi bersih pantai, menanam bakau dan melakukan pemagaran hutan bakau di Pantai Mapaga, Labean, Kabupaten Donggala.

Salah satu penggagas aksi adalah Rahmi (17 tahun) yang juga merupakan bagian dari Forum Anak Labean sekaligus penyintas banjir rob, serta tsunami dan gempa melanda Sulawesi Tengah pada 2018 silam.

BACA JUGA :  Sadly: Barang Milik Daerah Harus Dikelola dengan Baik

“Awalnya (sebelum bencana) banjir rob hanya di atas mata kaki. Setelah bencana, bisa sampai 60-an centimeter atau selutut orang dewasa. Kalau banjir, semua barang yang tidak bisa kena air diangkat atau dipindahkan. Akses untuk belajar susah karena akses tertutup dan harus menyebrang ke sekolah, sementara untuk menyebrang pakai perahu butuh uang cukup besar. Bahkan kadang tidak terpikir sekolah, karena harus mengungsikan barang-barang agar tidak terkena air,” beber Rahmi.

Satu-satunya mata pencaharian ayah Rahmi sebagai nelayan juga terpengaruh karena sulit mendapat ikan. Akibatnya, tak ada ikan bisa dijual atau dimakan. Tak jarang pula, Rahmi sekeluarga menjadi gatal-gatal imbas dari banjir masuk ke rumah. Air bersih biasanya didapat dari pompa air sumur berubah menjadi keruh. Kebutuhan air untuk Rahmi dan keluarga diambil dari sungai terdekat.

“Lima tahun lalu, adik sakit diare. Orang tua panik, uang tidak ada, banjir rob sedang naik. Akhirnya tanya-tanya tetangga saja obatnya apa, dicarikan obatnya dan dikasih minum (ke adik),” cerita Rahmi.

BACA JUGA :  Seminar Nasional Bursa Karbon di Untad, BI Dorong Transformasi Ekonomi Hijau

Tak hanya itu, sampah bawaan laut ikut naik ke daratan ketika terjadi rob, dampaknya, saat daratan sudah kembali kering, sampah lautan mengotori daratan dan sekitar rumah masyarakat.

Rahmi adalah satu dari sekian banyak anak dan keluarga terdampak banjir rob di Sulawesi Tengah. Ia harus meninggalkan rumah yang 20 tahun ditempati keluarganya dan pindah ke hunian tetap (huntap) agar bisa kembali menjalani hidup normal.

Saat ini, ia sudah dua tahun tinggal di huntap. Meski begitu, Rahmi tetap berharap masalah ini dapat ditanggulangi dengan cepat.

“Saat ini yang bisa kami lakukan sebagai anak-anak adalah membersihkan pantai dan menanam pohon, juga memagari pohon bakau supaya tidak dimakan kambing yang datang. Tetapi kami berharap pemerintah dapat melakukan hal lain misalnya bangun tanggul rob supaya rumah orang-orang tidak terendam banjir lagi,” tutur Rahmi. (NRD)