PALU – Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah (Sulteng), Moh Iqbal Rasyid mengaku, menyayangkan peristiwa yang menyebabkan empat jurnalis di Sulteng terpaksa harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 6 Kilometer, usai melakukan peliputan kunjungan kerja Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin di Sulteng pada Rabu kemarin (4/10).
Jurnalis yang dimaksud adalah Abdee Mari dari TVOne, Mitha Meinansi dari Metro TV, Lia Abast dari Truestory.id dan Jumriani dari Hariansulteng.com, yang turut serta dalam peliputan kegiatan peresmian Kawasan Pangan Nusantara (KPN) di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
“Mendengar apa yang disampaikan teman-teman, saya atas nama ketua AMSI Sulteng merasa prihatin dan sangat menyayangkan apa yang dialami teman-teman,” ujar Iqbal, Kamis (5/10).
Pernyataan Iqbal tersebut didasari dari kejadian yang dialami jurnalis dalam peliputan kunjungan kerja Wapres di Donggala, yakni adanya kesan yang muncul bahwa buruknya koordinasi dari para pelaksana di lapangan. Bahkan di lokasi peliputan tidak disediakan tempat khusus bagi para jurnalis.
“Jurnalis atau wartawan itu suatu profesi yang tinggi derajatnya. Bekerja di bawah naungan Undang-Undang Pers. Tidak semestinya disuruh kesana-kemari untuk mencari tempat sendiri. Kesannya seperti diusir-usir,” tandas Iqbal.
Menurutnya hal itu mengambarkan bahwa koordinasi dari para pelaksana di lapangan tidak tepat. Sehingga jurnalis yang meliput menjadi terabaikan. Padahal karya jurnalistik yang dihasilkan jurnalis atau wartawan yang meliput di lapangan adalah kunci penyambung informasi kepada publik.
Ditambah lagi adanya kekerasan saat mengambil jatah makan siang. Menurut Iqbal, adalah sebuah alasan yang sangat dibuat-buat jika menyebut tidak tersedia jatah makan siang bagi para jurnalis yang meliput, sebab semua yang hadir sudah terdata dan memiliki ID card resmi dari penanggung jawab acara.
“Kalaupun memang benar tidak ada jatah makan siang untuk wartawan, kami bisa pahami. Tapi harusnya disampaikan dengan bahasa yang lebih santun, bukan dengan nada membentak dan memukul kotak kemasan makanan,” tegas Iqbal.
Hal yang paling miris adalah mengharuskan empat jurnalis tersebut berjalan kaki naik turun tanjakan untuk sampai ke parkiran kendaraan. Kejadian itu bermula saat para jurnalis akan kembali dari lokasi peliputan setelah acara selesai.
Masing-masing tim liputan berupaya mencari transportasi untuk mengatar hingga ke lokasi parkiraan yang ditentukan dengan jarak kurang lebih 6 Kilometer dari tempat acara berlangsung. Ada yang berhasil mendapat tumpangan kendaraan kendati berdesak-desakan, ada juga yang mendapat penolakan dari pengemudi mobil.
Dalam situasi itu, Dani, pengemudi mobil dari empat jurnalis dimaksud berinisiatif mengambil mobil di parkiran dan akan kembali untuk menjemput mereka di sekitar lokasi acara. Dani memaksa ikut pada salah satu kendaraan yang akan turun. Namun oleh petugas yang berjaga di parkiran mobil, Dani juga tetap tidak dibolehkan membawa kenderaannya ke lokasi kegiatan meski dengan alasan menjemput tamu.
“Kalau saat menuju tempat acara diangkut oleh truk yang disiapkan, semestinya pada saat pulang juga diantar kembali. Bukan hanya terhadap jurnalis, tetapi seluruh tamu yang hadir, karena yang saya tau ada ketua-ketua adat yang juga sempat berjalan kaki sebelum akhirnya ada yang mengangkut memberi tumpangan mereka,” tutur Iqbal.
Iqbal memastikan apa yang dialami teman-temannya adalah upaya penelantaran yang tidak semestinya terjadi. Sehingga ia berharap dalam kegiatan serupa dikesempatan lain, tidak ada lagi jurnalis yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Abdee Mari yang juga merupakan sekretaris AMSI Sulteng turut memberi koreksi terhadap kejadian tersebut. Selain karena merasa kelelahan, ia juga mengaku harus mengalami kram betis karena berjalan cukup jauh.
“Saran saja, berikut-berikutnya jika acara di lokasi KPN harus benar-benar memberdayakan teman-teman media. Sebagai contoh, teman-teman tidak difasilitasi shuttle bus atau truk untuk dimobilisasi dari lokasi yg jaraknya jauh ke parkiran. Atau jika tidak ada shuttle bus truk minimal akses kendaraan bisa masuk agar tidak ada kejadian seperti kemarin,” saran Abdee.
Ia juga menilai, koordinasi antara aparat dalam kegiatan peresmian KPN dengan Pemda setempat tidak konek. Sehingga banyak wartawan yang mendapat perlakukan buruk dalam hal makanan, hingga akses.
“Dan pelakunya dari oknum-oknum Pemda Donggala. Solusinya ke depan, jika ada kegiatan di KPN Donggala harus ada tempat khusus wartawan untuk stay agar tidak diusir-usir seperti ‘kambing’,” celetuk Abdee.
Reporter: Irma/***