POSO – Institut Mosintuwu mendorong Peraturan daerah (Perda) Poso tentang sampah plastik sekali pakai.
Hal itu bedasarkan hasil survei online yang dilakukan oleh Institut Mosintuwu dan Ecoton saat menggelar workshop, diikuti 152 orang dari 48 wilayah desa, kelurahan dan dusun di Kabupaten Poso.
Peserta diikuti para siswa dari berbagai sekolah, warga Pamona Utara, Pamona Puselemba dan Desa Tokorondo Kecamatan Poso Pesisir.
Dalam pemaparannya, Prigi Arisandi dan Daru Setyorini dari Ecoton menjelaskan bahaya plastik sekali pakai yang menjadi biang mikroplastik, dengan menunjukkan serangkaian penelitian yang menggambarkan mikroplastik telah ada di feses, paru-paru, sperma, air susu ibu, plasenta hingga otak manusia.
Penjelasan itu, berdasarkan penelitian terhadap air sungai, danau, laut, tanaman, udara serta wajah manusia di Kabupaten Poso.
“Dan hasilnya semua telah terpapar mikroplastik,” sebut Prigi kepada peserta workshop, Sabtu (13/7).
Menurutnya, cara pikir dan gaya hidup jaman sekarang, yang maunya instan telah membuat alam dan manusia menderita.
“Memang, plastik itu mempermudah tapi sebenarnya dampaknya membuat penderitaan yang berabad-abad lamanya,” tuturnya.
Konsumsi plastik sekali pakai telah mempermudah hidup manusia dan menjadi gaya hidup, namun manusia tidak bertanggungjawab atas apa yang digunakannya.
Sementara Daru Setyorini menambahkan, mikroplastik berasal dari dua sumber, sumber primer yaitu plastik yang sengaja dibuat seperti tas kresek dan sumber sekunder yaitu plastik yang tidak sengaja dibuat namun ditambahkan sebagai sebuah unsur dari sebuah produk misalnya pembersih wajah.
Dari hasil survei yang lakukan, sebanyak 61,8 persen responden mengatakan, masalah lingkungan yang paling mengkhawatirkan di Kabupaten Poso adalah pencemaran sampah plastik.
Sebanyak 20,4 persen menyebut, pencemaran di sungai, danau dan laut yang paling mengkhawatirkan. 33 persen responden juga mengatakan, sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik sebagai salah satu sebab tingginya kejadian banjir belakangan ini di Sulawesi Tengah.
“Disisi kesehatan, 48 persen responden mengkhawatirkan sampah plastik mengancam kesehatan manusia di Kabupaten Poso,” terangnya.
Menariknya, saat ditanya terkait pengelolaan sampah dengan benar di lingkungan rumah mereka, hanya 30,9 persen responden yang melakukannya, dan 3,8 persen melakukannya dengan membakar sampah plastik.
Dia menyebut, ada tiga pihak yang harus bertanggungjawab dalam penyelesaian masalah plastik sekali pakai. Yakni, pemerintah, produsen atau perusahaan, dan masyarakat.
“Saat ini terdapat 113 pemerintah kota dan daerah telah membuat kebijakan untuk menolak plastik sekali pakai,” ujarnya.
Dalam workshop yang difasilitasi Lian Gogali Direktur Mosintuwu Institut itu, sepakat membangun jaringan dan kelompok untuk mengkampanyekan diet plastik mulai dari diri sendiri hingga lingkungan sekitar.
Menggunakan botol minuman isi ulang dan menolak penggunaan botol minuman sekali pakai serta membawa wadah makanan sendiri, merupakan tindakan yang harus dinormalisasi pada semua orang.
Beberapa ide yang kemudian muncul untuk dilakukan adalah membuat Warung Refill. Yakni mendorong kios dan warung untuk tidak menyiapkan plastik atau kantongan kresek kepada pembeli yang datang.
“Beberapa contoh untuk bertanggungjawab atas plastik yang dikonsumsi juga telah dilakukan di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara dengan membuat Ecobrik atau bata dari plastik,” sebut Lian.
Kata dia, komunitas yang kemudian menamakan dirinya “Saya Pilih Bumi” merencanakan beberapa inisiatif antara lain Sekolah Ekologis, Gereja Ekologis, Pesantren Ekologis.
Seiring dengan inisiatif tersebut, direncanakan juga penelitian tentang penggunaan plastik sekali pakai, keberadaan mikroplastik, serta penelitian tentang wadah alternatif di Kabupaten Poso.
Beberapa kelompok yang selama ini telah melakukan gerakan angkut sampah, akan mulai melakukan audit brand perusahaan produsen plastik untuk mendorong pertanggungjawaban perusahaan.
Reporter : Ishaq Hakim
Editor : Yamin