PALU-Dalam memperingati Hari Bumi Se-Dunia tahun 2025 ini, para aktivis pemerhati lingkungan, organisasi pemuda/Mahasiswa dan Perempuan di Sulawesi Tengah menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa (22/4)
Terdapat puluhan peserta aksi yang tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih membentangkan spanduk yang bertuliskan tema: Peringatan Hari Bumi 22 April 2025 “Jaga Bumi Jaga Demokrasi” dan peserta aksi menutup mulut dan hidungnya menggukan masker dan lakban sambil memegang poster-poster berisi tuntutan. Dalam aksi tersebut massa aksi secara bergantian menyampaikan orasi-orasinya dan membacakan puisi menggambarkan terntang berbagai fakta kerusakan lingkungan akibat dampak dari proses eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan masiff di negara ini khususnya di wilayah Sulawesi Tengah.
Koordinator lapangan (Korlap) Walhi Sulteng menyampaikan bahwa saat ini berbagai upaya penanganan krisis dilakukan oleh pemerintah masih jauh dari diharapkan untuk bisa berkomitmen dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan dan sumber daya alam di Negeri ini, karena masih terlihat dengan begitu jelas bagaimana Pemerintah Indonesia masih bergantung dan mendukung sektor industri ektraktif seperti industri nikel, pembakaran bahan fosil dan perluasan lahan perkebunan sawit masih menjadi program prioritas.
Dengan melakukan pembongkaran terhadap kawasan hutan demi mendapatkan nilai tambah ekonomi untuk mendukung proyek-proyek strategis nasional. Hal ini menjadi bom waktu, dapat mempercepat krisis sosial, krisis ekonomi hingga krisis lingkungan.
Wandi memuturkan,fakta dilapangan saat ini diwilayah Sulawesi Tengah data terkait hal tersebut menunjukkan bahwa besaran luasan Kawasan Pangan Nusantara (KPN) 15.000,00 Ha sama dengan 1,1%, Potensi Perkebunan sawit besaran luasan 681.686 ha 51.9%.
“Data tersebut diperoleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah, sedangkan luasan pertambangan sebesar 615.571,4 Ha 46.9% temuan dari Momi ESDM 2025. Jika kalkulasi mencapai sebesar 1.312.257,40 Ha,”katanya.
Wandi mengatakan,angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa bukaan hutan di Sulawesi Tengah terus meluas dalam beberapa tahun ke depan. Proyek-proyek besar seperti KPN, ekspansi perkebunan sawit, dan pertambangan, kerap diklaim sebagai langkah pembangunan ekonomi, justru membawa dampak ekologis serius dan berkepanjangan.
“Akibat dari bukaan hutan begitu masif tersebut, maka kerusakan ekosistem hutan tentu tak dapat dihindari. Krisis iklim kini semakin terasa dan terlihat nyata di wilayah Sulawesi Tengah,”bebernya.
Lebih lanjut kata Wandi, cuaca ekstrem, polusi udara, deforestasi, dan bencana ekologis seperti banjir dan longsor menjadi kejadian semakin sering terjadi. Dampaknya pun langsung menyasar kepada masyarakat seperti hilangnya sumber mata pencaharian, terutama bagi komunitas bergantung pada hasil hutan, menurunnya kualitas udara dan air, serta meningkatnya kerentanan terhadap bencana alam.
Orasi juga di sampaikan oleh Wulan dari Solidaritas Perempuan (SP) yang menggambarkan fakta terjadi bagaimana proses eksploitasi sumber daya alam tersebut berdampak pada tersingkirnya masyarakat adat khususnya perempuan adat harus tersingkirkan atau termarginalkan dari ruang-ruang hidupnya jelas bergantung pada hasil hutan disekitar tempat tinggalnya.
Sementara perwakilan dari Yayasan Tanah Merdeka (Aziz) menjelaskan dalam orasinya bahwa aksi kali ini massa aksi sengaja menutup hidung dan mulutnya menggunakan masker dan lakban untuk menggambarkan bahwa inilah situasi dan kondisi dialami dan hadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini termasuk di Sulawesi Tengah khususnya diwilayah Kabupaten/Kota tengah mengalami eklspolitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan sudah sangat parah dengan adanya aktifitas industri skala besar di sektor pertambangan emas, Industri Nikel maupun seperti di Kabupaten Morowali, Morowali Utara, Donggala, Kota Palu dan kabupaten lainnya.
Massa Aksi menggunakan masker memperlihatkan bahwa saat ini masyarakat tinggal di daerah industri-industri besar itu banyak mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), akibat begitu besarnya polusi atau pencemaran udara di sekitar kawasan eksploitasi sumber daya alam. Sementara simbol dengan melakban mulut merupakan bentuk pembungkaman terhadap masyarakat dan aktivis lingkungan dan agrarian telah dibungkam dengan cara-cara dikriminalisasikan, ketika melakukan protes terhadap kebijakan negara. Sementara negara telah memberi ruang seluas-luasnya melalui izin-izin pengelolaan sumber daya alam terhadap investasi industri ekstraktif di sektor pertambangan emas, nikel , galian C, dan pembukaan lahan perkebunan sawit.
Dalam orasinya Aziz juga menyerukan kepada masyarakat untuk tidak lagi percaya kepada partai-partai politik terlibat dalam proses pengambilan keputusan atas berbagai kebijakan berpihak terhadap pengrusakan lingkungan juga terhadap kebijakan negara mendukung lahirnya kebijakan peratiran perundangan semakin terbuka dalam pembungkaman dan kriminalisasi terhadap rakyat menuntut keadilan di negeri yakni dengan di sahkannya UU TNI/Polri.
Selain menyampaikan orasi-orasinya secara bergantian massa aksi dari Fraksi Bersih-Bersih juga menyampaikan kritikannya melalui pembacaan Puisi dari Hernan Lapi dari KPA dan Jihan perwakilan dari Relawan Muda KPKP-ST.
Aksi unjuk rasa peringatan Hari Bumi tahun 2025 di Palu digelar oleh Fraksi Bersih-Bersih ini kemudian ditutup orasi dari Lia Somba dari Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) menyampaikan betapa dampak dari kerusakan lingkungan disebabkan oleh kerakusan manusia secara legal ini, berdampak pada hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat khususnya dan paling terdampak tentu saja adalah perempuan dan anak-anak. Karena dengan eksploitasi SDA, mengakibatnya semakin berkurangnya sumber air bersih. Sementara paling banyak membutuhkan air adalah perempuan.
Selain itu, dengan rusak dan hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat akibat bencana alam banjir dan longsor, maka ini meningkatkan angka kemiskinan. Kemudian perempuan dan anak menjadi paling rentan mengalami tindak kekerasan berbasis gender baik itu dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, menjadi menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena harus memilih menjadi TKW legal ataupun illegal, dan berbagai bentuk tindak kekerasan lainnya, termasuk menjadi korban kekerasan seksual di area industri skala besar dan kawasan perkebunan sawit.
“Yang jadi pertanyaan harus sampai kapan hal tersebut terus terjadi? Harus menunggu berapa banyak lagi rakyat menjadi korban barulah negara ini mengambil tindakan perlindungan terhadap rakyatnya, dan harus kepada siapa lagi rakyat meminta perlindungan ketika peraturan perundangan yang dilahirkan oleh rezim, justru untuk membungkam dan mengkriminalisasikan rakyatnya sendiri ketika menuntut keadilan dengan UU TNI/Polri disahkan,” kata Lia menutup orasinya.
Aksi unjuk rasa di gelar oleh lembaga/organisasi masyarakat sipil, LSM, dan organisasi oerempuan yang ada di Sulawesi Tengah yakni ED. Walhi Sulteng, JATAM Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST), Solidaritas Perempuan (SP), dan Perhimmpuan Evergreen (PEI), Mahardika Palu dan KPA tergabung dalam Fraksi Bersih-Bersih tersebut ditutup dengan pembacaan tuntutan dan menyanyikan lagu darah juang sebelum membubarkan diri.
REPORTER :**/IKRAM