BELUM lagi hilang dari ingatan perkara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, kini muncul lagi perkara baru karena lisan yang tak terjaga. Kini pria asal Jakarta, Aminuddin Ma’ruf yang menjadi tokoh utamanya.
Kala itu, Aminuddin masih berstatus sebagai Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Entah merujuk data dari mana dan siapa, Aminuddin saat pembukaan Kongres PMII ke-19 di Masjid Agung Darussalam Palu, medio bulan lalu, mengungkapkan bahwa Bumi Tadulako (sebutan khas Kota Palu) sebagai pusatnya gerakan radikalisme Islam.
Itulah menurutnya, yang menjadi alasan organisasi tersebut menggelar Kongres di Kota Palu. Dia bahkan menyebut, tanah ini adalah pusat dari gerakan menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pernyataan itu diungkapkan dihadapan Presiden RI dan beberapa menteri, Gubernur, Kapolda dan unsur terkait lainnya yang menghadiri pembukaan kongres.
Berikut transkrip rekaman pidato yang diperoleh awak media ini:
“Bapak Presiden sengaja kami membuat, melaksanakan kongres kesembilan belas di Tanah Tadulako, di Provinsi Sulawesi Tengah, dengan tema Meneguhkan Konsensus Bernegara untuk Indonesia Berkeadaban. Di tanah ini, katanya, adalah Pusat dari gerakan radikalisme Islam. Bapak Kapolda senyum-senyum nih. Di tanah ini, katanya, adalah pusat dari gerakan menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sengaja membuat kongres di tanah ini untuk membuktikan bahwa jika hadir PMII, jika ada Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, tidak sejengkal tanahpun di NKRI ini untuk mereka yang intoleran. untuk mereka-mereka yang akan merubah Pancasila sebagai dasar negara”.
Dia juga menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi keagamaan di Indonesia. Berikut lanjutan pidatonya:
“Mereka yang baru saja paham keagamaan seakan-seakan paling benar, seakan surga adalah milik mereka padahal kita semua belum mengenal surga. Siapa yang mau mengenal surga duluan silahkan. Belakangan ini sesama anak bangsa saling menghujat satu bangsa beda agama, saling rebut. Satu agama beda aliran ribut juga. Satu aliran beda organisasi, ribut juga. Satu organisasi beda pendapat rebut. Satu pendapat beda pendapatan apalagi”.
MEMANTIK REAKSI
Masyarakat Sulteng pun geger dibuatnya. Persoalannya, pernyataan Aminuddin tersebut dinyatakan dalam sebuah forum resmi yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo dan sejumlah pejabat penting di negara ini. Informasi keliru dalam sebuah forum besar jelas berkonsekwensi besar.
Hanya berbilang menit kemudian, Aminuddin menerima konsekwensi atas ketakcerdasannya menjaga lisan. Lini masa media sosial penuh hujatan dan makian terhadapnya.
Sejumlah elemen berunjuk rasa. Dewan Adat Kota Palu bahkan bereaksi cepat mendatangi Aminuddin untuk memberikan sanksi adat (givu).
Alhasil, lembaga adat menjatuhkan sanksi berupa tiga ekor kambing dan 30 buah piring baru.
Wakil Ketua Adat Kota Palu, Arifin Sunusi, apa yang disampakan Aminudin masuk kategori salah mbivi (salah bicara) sehingga berkonsekwensi givu.
Menurutnya, sanksi tersebut tidak boleh diuangkan. Nantinya, kambing itu akan disembelih, dimasak dan dimakan bersama. Perjamuan makannya diikuti 30 tokoh adat. Waktu pelaksanaannya akan ditentukan kemudian.
“Apabila tidak melaksanakan givu nuada itu, maka ada givu lain yang diberikan lembaga adat, yakni mengusir atau niombo dia dari tanah Kaili selamanya dan tidak boleh lagi menginjakan kakinya tanah ini. Besok kami akam molibu (rapat, red) di Bantaya,” katanya.
Di pihak lain, Ketua Pengurus Besar (PB) Alkhairaat, Habib Shaleh bin Muhamad Aldjufri, turut angkat bicara.
Menurut Habib, Tanah Tadulako bukanlah pusat radikalisme dan tak pernah melakukan pembangkangan terhadap NKRI, dari dahulu sampe saat ini.
“Kalau kita cermati gerakan Alkhairaat dari sebelum kemerdekaan sampai Indonesia merdeka, Alkhairaat selalu mengajarkan pendidikan yang tujuan pokoknya adalah cinta NKRI,” katanya.
Ajaran tersebut, lanjut Habib, sudah ditananmkan kepada Abnaul Alkhairaat dan masyarakat Sulawesi Tengah pada umumnya.
Bahkan, kata dia, Alkhairaat bukan baru kali ini bicara mengenai kecintaannya kepada NKRI. Semasa pendirinya masih hidup, yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri, Alkhairaat-lah yang menjadi garda terdepan membela negara dari ancaman pihak manapun.
“Kemungkinan Ketum PMII kurang informasi tentang gerakan Islam di Sulteng,” tambah Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Sulteng itu.
Senada juga dikatakan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA), Husen Alhabsyie.
“Itu bahasa-bahasa penjilat,” tegas Uchen, sapaan akrabnya.
Menurutnya, penyebutan “katanya” yang disampaikan Aminudin adalah perilaku orang munafik.
“Katanya darimana itu. Di Indonesia, bahkan dunia tahu bahwa di tanah ini ada Alkhairaat dan tidak ada satupun tokoh Alkhairaat yang mengajarkan Islam yang radikal, apalagi menentang NKRI. Mungkin dia baru tahu agama yang secara kebetulan diangkat sebagai ketua,” sebutnya.
Saat ini, lanjut dia, HPA masih menunggu respon masyarakat kota Palu atas pernyataan yang dinilai tidak pantas itu.
“Kalau memang setuju, kita usir mereka. Karena ini bukan hanya soal agama yang disebutnya, tapi menyangkut Tanah Tadulako,” pungkasnya.
Tak hanya HPA, pernyataan yang dimuat di salah satu media online nasional juga banyak mendapat reaksi netizen
“Biasa, bahasa para penjilat klw tdk blg bgitu tdk dapat doi mrk, mungkin mrk lupa ya bgmn dakwah guru tua,” komentar akun Cak Cak Imam Imam.
“Mereka bertamu di tanah orang. Lalu mereka kata katai tanah tersebut.
Salah satu panitia kongres, Fandi Hasim, membantah jika ketuanya membuat pernyataan tersebut. Menurutnya, yang dimaksud adalah isu terorisme yang tumbuh di Poso, bukan di Palu.
“Kayak Poso begitu, dianggap ada gerakan teroris, tapi ternyata tidak ada. Itu tidak betul, kita sudah merapatkan secara internal dengan teman-teman. Ini ada kesalahan teknis, bukan seperti itu pernyataannya,” kata Fandi.
Di bagian lain, puluhan massa dari Front Pemuda Kaili (FPK) Sulteng justru sudah berniat mendatangi langsung lokasi Kongres. Mereka ingin agar kongres dihentikan sebelum Ketum-nya menyampaikan permintaan maaf.
Untungnya, sebagian yang lain masih berpikir untuk menemui Forkomindah yang saat itu sedang melangsungkan rapat di salah satu restoran. Mereka diterima Danrem 132/Tadulako, Kolonel Inf, Muhammad Saleh Mustafa, Direktur Intelkam Polda Sulteng, AKBP Lilik Apriyanto dan sejumlah anggota DPRD Sulteng.
Wakil Ketua FPK, Sumitro menyatakan, langkah yang ditempuh FPK adalah pembuktian bahwa tidak ada radikalisme di Sulteng.
“Kita buktikan, kita masih mau ke dewan. Seandainya kami radikal, maka kami sudah masuk kesana dengan parang, tidak perlu lagi kita pake prosedur seperti ini. Tapi kami mau buktikan bahwa kami tidak radikal, ada protap yang kami tempuh, tidak semena-mena melakukan aksi,” katanya.
Namun, kata dia, jika tidak ada tindakan secepatnya dari kepolisian, maka pihaknya bisa saja lakukan tindakan yang lebih tegas.
Direktur Intelkam Polda Sulteng, AKBP Lilik Apriyanto, meminta kepada FPK untuk mempercayakan penanganan masalah itu kepada pihak kepolisian.
“Percayakan semuanya kepada kita, jangan lagi ada upaya dan lain-lain. Berikan kami kesempatan dan buat sejarah kepada republic ini bahwa kongres PMII di Palu, aman tidak seperti tempat lain,” katanya.
Terkait sanksi adat, kata dia, pihaknya mempersilahkan dan tidak akan menghalangi.
BANJIR KECAMAN
Ternyata, sikap antipati terhadap pernyataan Aminuddin tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat yang merasa disakiti. Tokoh lainnya di luar Sulteng pun mengecam keras pernyataan yang dianggap tidak pantas disampaikan seorang top leader organisasi besar di negeri ini.
Salah satunya adalah dari H. Qasim Saleh. Meski mengaku masih berdarah Kaili, namun pria ini sudah berdomisil di Depok Jawa Barat, sejak lalm.
Pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Harian Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Haji Pusat 2016-2021, menyatakan, pernyataan itu telah melukai perasaan seluruh masyarakat Sulteng, termasuk dirinya.
“Pernyataan itu sangat merugikan Sulteng dan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan dan image masyarakat luar,” kata Qasim Saleh.
Mantan Ketua Umum Mahasiswa Nahdlatul Ulama Kairo itu menambahkan, pernyataan itu akan berdampak negatif terhadap ekonomi, wisata dan sebagainya.
“Mereka harus meminta maaf secara terbuka, baik secara lisan dan tulisan melalui semua media yang ada di Sulteng,” tambah mantan pimpinan kolektif Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (HPMI) di Kairo itu.
Dia berharap, ungkapan-ungkapan destruktif seperti itu tidak terulang lagi dan menjadi pembelajaran buat kaum muda dan mahasiswa.
Kecaman lainnya datang dari Presiden Yappan, Rusman Lamakasusa.
“Saya selaku Presiden Yappan mengutuk statemen itu,” tegasnya.
Menurut pengamatannya, maksud dari statemen tersebut terjadi multi tafsir. Bisa jadi untuk mencari panggung buat keuntungan pribadi.
“Tetapi apa dasarnya dia mengatakan seperti itu. Harusnya dia mengkaji dulu apa yang akan diucapkan di depan presiden.
“Karena kata “katanya” yang dia ucapkan itu bisa menjadi fitnah,” pungkasnya.
MINTA MAAF
Tekanan demi tekanan yang menerpa Aminuddin, membuatnya harus tunduk dan mesti menyampaikan permohonan maaf. Di lokasi Kongres PMII, Aminudin telah menyampaikan permohonan maafnya kepada para tokoh.
“Atas nama pribadi dan sebagai Ketua Umum PB PMII, saya memohon maaf atas pernyataan tersebut, baik kepada masyarakat Sulteng, pemeriantah provinsi, Kota Palu dan tokoh-tokoh adat. Mudah-mudahan ini ada hikmahnya untuk saya pribadi, untuk PMII dan untuk kita semua,” demikian bunyi pernyataannya.
Dia mengaku tidak memiliki niat sedikit pun untuk mendiskriditkan masyarakat Palu di Tanah Kaili. Sebab, kata dia, Kongres PMII ini penuh dengan kearifan, logo kongres PMII adalah Sou Raja yang membuktikan bahwa PMII sangat menghormati budaya dan adat istiadat lokal.
Menurutnya, apa yang disampaikannya adalah untuk membuktikan bahwa tanah ini dalam keadaan aman tenteram.
Dia juga mengaku sudah bertemu dengan Ketua Utama Alkhairaat dan menyampaikan bahwa tidak maksud lain dalam pernyataannya.
“Permintaan maaf saya juga kepada Ketua Utama Alkhairaat jika dirasa apa yang saya sampaikan itu menyinggung perasaan masyarkat,” tutupnya.
Meski sudah meminta maaf, namun masih ada sebagian elemen yang mengaku belum puas. Adalah komunitas “Polibu Tana Tadulako”. Komunitas ini menilai, masih tersisa satu janji yang belum ditepati Aminuddin Ma’ruf. Janji tersebut adalah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat Sulawesi Tengah.
“Dari sejumlah tuntutan, kewajiban itu yang belum dipenuhi hingga hari ini,” kata salah satu inisiator Polibu Tana Tadulako, Dr Nisbah.
Sebagai komunitas yang mendorong proses itu dari awal, pihaknya memiliki kewajiban mengingatkan kepada yang bersangkutan agar nantinya tidak menjadi persoalan baru di masyarakat.
Akademisi Universitas Tadulako itu mengaku sangat menghargai semua proses yang telah dilakukan.
“Tetapi substansinya, bagaimana memberikan pernyataan kepada seluruh masyarakat Sulteng, dengan meminta maaf melalui media nasional dan lokal,” tegas Nisbah.
Sebab kata dia, permohonan maaf secara terbuka itu, juga merupakan perintah dari Gubernur Sulteng dan Ketua Utama Alkhairaat Habib Saggaf Aljufri.
Komunitas ini kata Nisbah, merupakan representasi dari semua elemen masyarakat di Kota Palu dan Sulteng. Didalamnya ada akademisi, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, praktisi, birokrasi, dunia usaha, organisasi masyarakat dan kepemudaan, serta elemen lainnya.
Ketua FPK Sulteng, Erwin Lamporo, juga dengan tegas menolak permohonan maaf yang telah dilakukan secara tertutup. Menurutnya, permohonan maaf itu harus disampaikan secara terbuka di tempat umum.
Syukurlah, Aminuddin menyadari kekeliruannya. Ini tentu pelajaran berarti dan berharga baginya. Ia masih muda. Masa depannya masih panjang. Ia harus lebih awas menjaga diri dan lisannya. Menjaga lisan bukan berarti melarang bicara, melarang berpendapat, namun adalah bagaimana semua yang dikatakan memiliki data dan bukti, bukan sebuah spekulasi atau fitnah.
Aminuddin harus banyak belajar dari sejarah di negeri ini, bagaimana banyak tokoh yang tergelincir lalu hilang dari percakapan dan perhatian publik, karena tak cakap menjaga lisan.
Kasus Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, dengan segala kontroversinya, adalah contoh nyata bagaimana lisan yang tak terjaga akan menuai badai. Pepatah lama harusnya menjadi rujukan utama bagi setiap orang untuk menjaga lisan: “ karena mulut badan binasa”. (RIFAY)