Aksi Brutal Berbuntut Trauma

Cerita tragis aksi liar kelompok teroris ini datang dari Kepala Desa Lembantongoa, Deky Basalulu.

Ia menceritakan bagaimana anak-anak di desanya menyaksikan langsung peristiwa pembantaian empat warga oleh kelompok MIT, Jumat (27/11/2020) silam.

Kini, anak-anak itu dilanda trauma berkepanjangan, melihat siapa saja sedang menenteng senjata, termasuk aparat, mereka pasti ketakutan.

“Waktu itu ada yang datang antar bantuan di kantor desa sama-sama dengan polisi yang bawa senjata. Begitu mau diberikan ke anak-anak korban, salah satu dari mereka langsung lari ketakutan liat senjata,” kenang Deky, Minggu.

Tak hanya anak-anak itu, kisah kelam juga dialami salah satu istri dari korban MIT, yakni Astri Kandi (27). Kini, ia kerap diam dan memilih tidak ingin lagi bercerita ataupun mendengar cerita perihal kekejaman kelompok yang kala itu masih dipimpin Ali Kalora.

Bahkan, sambung Deky, Astri kala itu bersikeras tidak lagi ingin kembali ke Dusun Tokelemo, Desa Lembantongoa. Ia memilih pindah ke tempat pemukiman yang lebih ramai untuk membesarkan tiga anaknya.

Sejumlah anak-anak bermain di sekitar perkampungan mereka di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Mediaalkhairaat.id/Faldi

Menurut Deky, ulah kelompok MIT itu bukanlah pertama kali terjadi di desanya. Tahun 2017 lalu, terjadi kasus penyanderaan kepada warga. Beruntung, mereka dilepaskan kembali.

Sederet trauma dialami warga biasa dari serangkaian operasi perburuan kelompok yang terbilang tak banyak itu. Tak hanya dari para teroris, kisah pilu juga ditinggalkan oleh aparat yang bertugas. Entah sengaja atau karena apa, warga kadang menjadi korban salah tembak oleh aparat.

Sejumlah warga tidak jauh dari Polsek Poso Pesisir Utara, Kamis (9/04/2020), mengaku mendengar suara yang mirip letupan senjata.

Namun hingga kini, tidak ada yang tahu pasti, suara tersebut benar berasal dari senjata atau bukan. Yang pasti adalah, setelah bunyi letupan itu, seorang pemuda bernama Qidam Alfariski (20) dilaporkan meninggal dunia sekitaran Polsek. Tak hanya bekas peluru, hampir di sekujur tubuh ditemukan bekas luka yang tidak biasa.

Beberapa hari setelah itu, Qidam disebut bagian dari kelompok sipil bersenjata Poso oleh polisi. Namun pihak keluarga bersikukuh, anaknya bukan teroris. Belakangan, polisi meralat pernyataannya sendiri, bahwa Qidam Alfarizki memang bukan bagian dari kelompok yan dirintis mula-mula oleh Abu Wardah alias Santoso itu.

Peristiwa itu pun turut menyisakan trauma, sekaligus beban batin berkepanjangan bagi orang tua Qidam, Irwan Mowance.

Tragedi dugaan salah tembak kembali berulang, Selasa (2/6/2020), menimpa dua petani bernama Syarifudin dan Firman.

Aksi sembrono yang dilakukan aparat itupun tuntas dengan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi Setiyono, bahwa kedua korban masuk ke dalam zona operasi dan tidak melaporkan diri.

Katanya, anggota yang kala itu masih tergabung dalam Satgas Tinombala telah bertindak sesuai prosedur dengan memberi peringatan awal terlebih dahulu. Setelah kedua korban roboh, aparat yang menghampiri baru menyadari bahwa korban merupakan warga KM 09, yaitu Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara.

Adanya rangkaian peristiwa itu, membuat warga yang bermukim dalam zona operasi menjadi trauma karena kerap kali dianggap sebagai simpatisan. Sementara di sisi yang lain, sering dicurugai sebagai informan aparat.