OLEH : Moh. Ahlis Djirimu*
Pada 18 Desember 2020, Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB-Untad mengorganisir zoominari bedah buku ‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’.
Secara garis besar, buku ini memberikan informasi dan gambaran bahwa sejak 2007, Amerika Serikat dan Eropa berada dalam krisis besar berkepanjangan. Para pemimpinnya mengenal gravitasi ini tetapi mengabaikan asal muasalnya.
Penghapusan proteksi kepabeanan, diberlakukan berbarengan dengan dogma keunggulan absolut dan dipertahankannya tanpa mengindahkan depresiasi besar. Secara sengaja, Yuan telah menghasilkan ketidakseimbangan ekstrem perdagangan internasional.
Antara 2000 dan 2007, untuk mempertahankan pertumbuhan tanpa mengindahkan defisit besar perdagangan, Amerika Serikat, Inggris dan Eropa Selatan terlihat menolak memberlakukan kebijakan ekonomi bertualang yang hasilnya adalah krisis.
Tiongkok selalu menolak melakukan revaluasi Yuan, defisit perdagangan negara-negara Barat tidak teratasi, krisis berkelanjutan.
Kekuatan besar kapitalis dan totaliter berpadu menjadikan Tiongkok memimpin strategi penjelajahan untuk menggeser hegemoni Amerika Serikat.
Strategi ini berwujud pada semua garis depan (ekonomi, keuangan, militer, diplomasi, kebudayaan, dll). Instrumen utamanya adalah moneter, Tiongkok menjalankan “imperialisme ekonomi”.
Masa hegemoni Amerika segera berakhir setelah mengambil alih hegemoni Inggris sekitar 200 tahun lalu.
Seiring berjalannya waktu, penerbitan ‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’ ini dalam bahasa Indonesia menandai sepuluh Tahun terbitnya buku ‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’ dalam edisi Prancis yakni pada Januari 2011, yang saat muncul hanya empat bulan sebelum terbitnya buku penulis Amerika Peter Navarro ‘Death by China ‘ pada Mei 2011.
Tanpa saling bertemu penulisnya, buku Peter Navarro dan ‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’ memberikan analisis yang sama dan kesimpulan yang sama atas kiprah Tiongkok.
Menurut kedua penulis, sejak Tahun 2000, Beijing membangun strategi bertumpu pada perdagangan internasional, metodik, terstruktur, sistematis dan menjelajah, untuk mendapatkan hegemoni dunia.
Kedua penulis berkesimpulan bahwa instrumen proteksionisme pabean berhadapan dengan « made in China » mutlak diterapkan untuk mencegah strategi Beijing yang mendestabilisasi belahan dunia lain.
Peter Navarro pada periode 2016-2020 menjadi Penasehat Dagang yang paling didengar oleh Presiden Trump. Tindakan balasan perdagangan yang menginspirasi kebijakan Trump dikerahkan untuk membuat peka dan memobilisasi semua masyarakat Amerika melawan strategi Partai Komunis Tiongkok.
Di Tahun 2020, teraktual, antara 70-75 persen warga Amerika menganggap Tiongkok adalah pesaing utama Amerika Serikat.
‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’ menggarisbawahi bahwa Tiongkok menerapkan strategi merkantilisme, yang pada sisi sejarah tanpa ragu, mengarah pada hegemoni dunia bagi Tiongkok dan bagi Partai Komunis Tiongkok. Strategi ini mendorong adanya penurunan perekonomian pada negara lain.
Point of View ‘Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok’, secara bersamaan berada pada tataran ekonomi dan geopolitik. Keduanya digambarkan atas empat hal berikut :
Pertama, Neraca Dagang berperan penting bagi setiap Negara. Negara-negara yang neraca dagangnya secara umum surplus, namun tidak selamanya, berada dalam dinamika kekuatan membangun industrinya ; pertumbuhan Produk Domestik Bruto menjadi penentu utama.
Negara-negara yang mengalami terus-menerus defisit, akan secara relatif mengalami dinamika deindustrialisasi. Negara-negara ini akan mengalami peningkatan signifikan PDB, namun melemah karena solusi yang ditempuh melalui hutang luar negeri yang lebih besar dari pembentukan tabungan domestik ; pertumbuhan PDBnya tidak sehat karena dijamin oleh peningkatan hutang.
Kedua, negara-negara yang mengalami surplus terhadap semua negara menimbulkan masalah pada negara lain.
Seperti yang anda ketahui, perdagangan internasional merupakan permainan neraca seimbang. Surplus neraca dagang suatu negara menyebabkan negara lain defisit. Jika satu atau beberapa negara membangun strategi merkantilisme untuk mencapai surplus besar neraca dagangnya, maka strategi ini merupakan strategi non-koperatif karena, secara mekanik, negara-negara lain akan mengalami defisit perdagangan dan saat yang sama mengalami deindustrialisasi dan peningkatan derajat hutang.
Ketiga, negara-negara besar yang menjadi « super merkantilis » menunjukkan bukti-bukti dominasi dan hegemoni.
Seperti yang anda ketahui, pada abad ke17, William Petty, dalam karyanya « Kebijakan Aritmetika », menjelaskan bahwa suatu negara yang berhasil menerapkan strategi merkantilis melalui surplus perdagangan sedemikian besar akan berujung pada posisi penguasaan pada negara-negara lain.
Suatu negara dapat mencapai industrialisasi secara spektakuler, sebaliknya, negara lain mengalami deindustrialisasi dan merusak tahapan industrialisasi pada negara-negara non-industrialized ; Pertumbuhan ekonominya dapat tetap tinggi sebaliknya, negara-negara lain mengalami defisit.
Selanjutnya, suatu negara « super-merkantilis » mengakumulasi sedemikian besar cadangan emas dan cadangan devisanya secara simetris, sementara, negara lain mengalami pertumbuhan hutang luar negeri dan menjadi subordinasinya dan berada dalam cengkraman dominasi keuangan negara lain.
Keempat, pada abad ke21, Tiongkok secara seksama merupakan negara « super-merkantilis » yang menginspirasi hegemoni.
Kebijakan merkantilis telah diterapkan oleh Kerajaan Inggris pada abad ke19, lalu oleh Amerika Serikat pada abad ke 20.
Tujuan utama Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok (PCC) adalah memimpin hegemoni di awal abad ke21.
Setelah 10 tahun terbitnya buku kami, dominasi Tiongkok berada pada tataran industri dan perdagangan ; Tiongkok cenderung secara bersamaan menuju pada penguasaan multidimensional.
Cobalah kita kaji peningkatan kekuatan Tiongkok selama sepuluh tahun terakhir dalam berbagai bidang.
Dominasi Ekonomi sejak Tahun 2013, PDB nomor wahid dunia dalam ukuran paritas daya beli (PPP) dan pasar terbesar dunia ; penguasaan keuangan dunia (negara donor nomor wahid dunia, jauh di depan Jepang dan Saudi Arabia) ; Penguasaan Teknologi Dunia (teknologi 5G, dalam kecerdasan buatan).
Selanjutnya, Penguasaan Diplomatik (mengontrol berbagai organisasi PBB khususnya World Trade Organization (WTO) dan Food Agriculture Organization (FAO) dan berbagai negara menggantungkan diri pada Tiongkok ; Berbagi Penguasaan atas kekuatan militer dan persenjataan seperti peluru kendali bawah tanah, kapal selam dan penguasaan bawah laut dalam, berbagai pangkalan militer di berbagai belahan dunia, terutama di laut Tiongkok dan laut Natuna Utara, dan lain-lain.
Kemudian, Berbagi Penguasaan Ruang Angkasa (perjalanan bolak balik ke bulan) ; Berbagi Penguasaan Wilayah meliputi jalur infrastruktur dunia « Silk Road » mengontrol jalur transportasi di berbagai negara ; Berbagi dominasi maritim (jalur perdagangan dunia, jalur pelabuhan dan pangkalan militer laut di dunia).
Pada akhirnya, yang tersisa adalah penguasaan moneter dan militer berada di tangan Amerika Serikat. Sekali lagi, untuk menandai « eksploitasi » Tiongkok yang berhasil mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) memasukkan Yuan dalam jantung Special Drawing Right (SDR) yang selanjutnya Yuan menjadi mata uang konvertibel dunia.
Ketidakseimbangan perdagangan sedemikian besar, yang dikenal oleh penduduk dunia dan yang menjadi dasar perubahan geopolitik yang patut diperhitungkan menjadi tanda adanya bahaya besar.
Negara-negara yang mengalami defisit sedemikian besar, cenderung sedikit demi sedikit mengalami instabilitas, berisiko mendorong sistem politiknya sedikit demi sedikit menjadi otoriter, bahkan totaliter, sebagai jawaban atas keberatan dalam masyarakatnya, dalam petualangannya, khususnya militer.
Namun, bahaya yang paling dekat adalah « unjuk kekuatan » militer Tiongkok di Laut Natuna Utara yang menjadikan beberapa pulau buatan sebagai pangkalan militer, setelah pengambil alihan Hong Kong, dengan mengorbankan perjanjian internasional yang telah ditandatangani Tiongkok, serta ancaman invasi militer ke Taiwan. Teraktual, Gubernur the US Federal Reserve Bank, Powel menyatakan bahwa ‘sejak USA mengeluarkan Rusia dari sistem SWIFT, maka tidak ada negara yang akan mempercayai sistem organisasi apapun yang didirikan USA’.
Langkah keliru ini sama saja akan memperkuat sistem blok Rusia-Tiongkok dalam sistem transaksi internasional yang berujung pada berakhirnya keistimewaan dolar dalam transaksi pembayaran internasional. Dan, inilah akhir dari hegemoni Amerika.
*Lulusan Pusat Kajian Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Universitas Nice Sophia Antipolis, Perancis