PALU – Program Result Based Payment (RBP) di Sulawesi Tengah dinilai belum memberikan dampak nyata karena baru berjalan selama satu tahun. Hal tersebut disampaikan oleh akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Sudirman, yang juga menjadi tim ahli dalam Kelompok Kerja (Pokja) Redd+ di daerah tersebut.

Menurutnya, RBP merupakan tindak lanjut dari proyek Redd+ sebelumnya yang berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di Sulawesi Tengah. Capaian tersebut kemudian membuka peluang pendanaan internasional melalui skema RBP senilai Rp43 miliar.

“Pendanaan ini digunakan untuk menguatkan kapasitas aparatur daerah dan mitra pembangunan agar mampu merencanakan penurunan emisi gas rumah kaca, termasuk pemanfaatannya. Tahun pertama lebih pada tahap prakondisi dan penyusunan arsitektur penurunan emisi,” jelas Sudirman, di sela-sela kegiatan pelatihan pelaporan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menggunakan aplikasi Aksara, bertempat di Hotel Santika, Jalan Moh Juanda, Kota Palu, Kamis (21/8).

Sudirman menambahkan, dana tersebut diarahkan untuk mendukung penyusunan dokumen penting, yakni Rencana Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Sulawesi Tengah hingga 2045, serta diturunkan dalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca. Kedua dokumen tersebut nantinya menjadi pedoman pembangunan daerah selaras dengan target penurunan emisi nasional.

Namun, Sudirman mengingatkan adanya risiko jika program hanya berjalan dua tahun tanpa keberlanjutan pendanaan. Menurutnya, dokumen perencanaan harus mampu memastikan arah pembangunan tetap konsisten meski pendanaan donor berakhir.

“Masalahnya, pemerintah daerah sering bergeser pada program prioritas lain. Karena itu, yang terpenting adalah memasukkan kebijakan rendah karbon ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. Dengan begitu, program tetap berjalan walau tidak ada lagi pendanaan donor,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sudirman menyoroti adanya paradoks dalam kebijakan pembangunan daerah. Di satu sisi pemerintah mendorong penurunan emisi, namun di sisi lain masih mengandalkan industri ekstraktif, seperti tambang dan perkebunan, yang justru mempercepat deforestasi.

“Banyak kabupaten di Sulawesi Tengah masih menggantungkan pendapatan dari industri ekstraktif. Jangan sampai ongkos perbaikan kerusakan lingkungan nanti lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh,” tegasnya.

Sudirman menekankan, arah kebijakan pembangunan rendah karbon hanya dapat tercapai melalui tata kelola kolaboratif. Pemerintah daerah, mitra pembangunan, akademisi, dan masyarakat harus terlibat aktif mengontrol kebijakan agar tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.