PALU – Perempuan dinilai merupakan salah satu pihak potensial yang memiliki peran strategis untuk mencegah penyebaran kekerasan ekstremisme. Perempuan juga dapat dilibatkan dalam proses mewujudkan masyarakat yang toleran.

“Perempuan juga dapat didorong untuk ikut serta menjadi aktor utama dalam menyemai moderasi dalam lingkup keluarga dan lingkungan serta digitalisasi informasi,” kata Dosen Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, saat menjadi pemateri pada kegiatan yang digagas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulteng, di Gedung Almuhsinin, Komplek PB Alkhairaat Palu, Rabu (05/07).

Pada kesempatan tersebut, Sahran Raden didaulat membawakan materi dengan tema “Peran Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme di Keluarga dan Lingkungan melalui Kearifan Lokal dan Media Sosial”.

Ia juga mengemukakan bagaimana peran perempuan di ranah domestik atau publik dalam mencegah radikalisme.

Menurutnya, serangkaian kecelakaan berlatar belakang ekstremisme radikal telah terjadi di banyak tempat di Indonesia, seperti bom bunuh diri, penembakan, dan perusakan fasilitas umum yang mengganggu keamanan publik dan aktivitas pemerintahan.

“Fenomena ini dibayang-bayangi oleh ketakutan dan rasa tidak aman yang mengancam kehidupan masyarakat termasuk perempuan. Untuk itulah diperlukan respon yang tepat dari pihak terkait, termasuk perempuan untuk mengantisipasi permasalahan tersebut,” ujarnya.

Kaitannya dengan peran perempuan, kata dia, pencegahan radikalisme juga bisa dilakukan dalam lingkungan keluarga. Kata dia, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, di mana terjadi interaksi yang intens antara anak dan orang tua atau anggota keluarga

“Keluarga menjadi pintu masuk untuk mengenalkan perbedaan dan toleransi. Ikatan satu sama lain saling berpengaruh sehingga menjadi stimulus untuk ambil bagian dalam pencegahan radikalisme,” katanya.

Tak hanya peran perempuan dalam pencegahan radikalisme, Sahran pun mengemukakan bagaimana perempuan juga bisa terlibat dalam kasus kekerasan yang terjadi di sejumlah tempat.

Menurut Sahran, hal ini terjadi karena perempuan bisa diambil perannya sebagai supporting system (pemain pembantu). Peran perempuan juga mengalami peningkatan sebagai pejuang (fighter), baik dalam hal doktrinasi pada sesama perempuan maupun sebagai pelaku dari bom bunuh diri.

“Hal ini dapat dilihat dari kasus bom panci di akhir tahun 2016 dan ada beberapa nama lain, termasuk istri dari Santoso (seorang teroris yang telah ditembak mati) yang termasuk bagian dari jaringan teroris MIT di Poso,” ungkapnya.

Kata dia, perempuan sendiri dapat direkrut karena bisa dijadikan pengikut yang loyal dan patuh. Dalam budaya di Indonesia, dan dikuatkan dengan ajaran agama yang konservatif, perempuan dibentuk menjadi pribadi yang tunduk.

“Sifat ibuisme dan kelemahlembutan perempuan dijadikan senjata siasat dalam mengelabui aparat penegak hukum, sehingga perempuan sering dijadikan kurir atas pesan-pesan rahasia yang akan disampaikan antar sesama pelaku radikal,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, pencegahan paham radikalisme juga bisa dilakukan melalui kearifan local.

Ia mencontohkan slogan nosarara nosabatutu atau kita semua bersudara yang dibuat dalam bentuk tugu sebagai media komunikasi kebudayaan.

“Analisis semiotika Roland Barthes mengatakan bahwa makna pada sebuah teks memiliki standar ganda makna denotasi, makna konotasi dan mitos. Ini menunjukkan konstruksi makna berdasarkan perangkat semiotika Roland Barthes yang memberikan gambaran sebagai sebuah pesan perdamaian,” jelas Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Sulteng itu.

Selain itu, kata dia, sintuwu maroso yang merupakan budaya yang dimiliki Suku Pamona Poso, Tau Piamo (orang dahulu) yang merupakan leluhur mereka yang mewarisi budaya mesale (gotong royong).

“Kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan lambang adat Suku Pamona Poso sebagai logo dan motto daerah, kesediaan masyarakat dalam mengikuti aktifitas yang disebut dengan istilah mosintuwu, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dalam bentuk memberi sesuatu, dasarnya adalah kebersaamaan yang merupakan salah satu bangunan relasi social,” urainya.

Ia juga menjelaskan dua pelajaran pokok yang bisa diambil dari upacara Malabot Tumbe di Banggai dan Batui. Pelajaran yang diambil dari upacara itu adalah proses pengangkatan pemimpin yang dilakukan secara  musyawarah dan  demokratis.

Selanjutnya, aspek social kultur, bahwa masyarakat Banggai baik yang berada di kepulauan maupun yang berada di daratan besar, sejatinya adalah bersaudara. Apa yang dirasakan masyarakat di Banggai darat haruslah ikut dirasakan oleh masyarakat Banggi di kepulauan.

Pelajaran selanjutnya adalah aspek lingkungan. Bahwa burung maleo beserta alam pendukungnya haruslah dipelihara dan dijaga agar ia dapat berkembang biak dengan baik dan lestari sepanjang masa yang ditandai dengan semakin bertambahnya keturunan/jumlah penduduk harus sebanding dengan jumlah telur yang dikirimkan.

“Secara linier dapat disimpulkan bahwa setiap individu masyarakat Banggai mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan lingkungan dan perkembangbiakan maleo di Banggai,” katanya. 

Lebih lanjut ia juga memaparkan bagaimana mencegah paham radikalisme melalui media social

“Demokrasi digital menjadi kebutuhan mendesak bagi bangsa dalam rangka memampukan setiap nalar warga untuk kritis, menyaring dan mengarifi arus informasi yang begitu deras di kanal-kanal media social,” tandasnya. (RIFAY)