PALU – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Dr Aminuddin Kasim dan Anggota DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng), Yahdi Basma mengusulkan agar dilakukan perumusan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang telah bertransformasi menjadi RUU BIP.
Usulan ini terungkap dalam diskusi virtual yang dilaksanakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Palu dengan tema “RUU HIP dalam Pusaran Penolakan dan Perubahan menjadi RUU BPIP”, Kamis (23/07).
Selain akademisi dan legislator, diskusi ini juga diikuti Harun Nyak Itam Abu, Koordinator Tim Pembela Umat Muslim Indonesia Sulawesi Tengah.
Dr. Aminuddin Kasim, mengatakan, RUU HIP lebih mengedepankan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila seperti yang ditegaskan dalam pasal 6 RUU HIP. Hal itu, kata dia, mengecilkan atau mendelegasikan makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sendi pokok berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
“Jadi menurut saya, DPR harus paham soal itu biar tidak salah dalam merumuskan RUU HIP. Dalam undang-undang ataupun peraturan yang dikeluarkan oleh eksekutif dan yudikatif, perlu meletakan konsep ketuhanan di awal, bukan konsep keadilan. RUU HIP yang dirumuskan oleh DPR ini sama saja dengan menghina perundang-undangan. Maka inilah salah satu alasan saya menolak RUU HIP selain dengan tidak ada urgensinya,” tegasnya.
Terkait bertransformasinya RUU HIP menjadi RUU BPIP, menurutnya tidak terlalu urgen lagi.
“Kalau sekelas kelembagaan dibuatkan undang-undang, menurut saya tidak terlalu urgen,” ujarnya.
Baiknya, kata dia, BPIP tetap menjadi lembaga, hanya tugasnya diatur dalam undang-undang. BPIP menjadi benteng penyaring utama atau preview ketika ada RUU yang diajukan baik oleh presiden maupun DPR.
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Yahdi Basma, juga mengatakan, harus ada perumusan kembali RUU tersebut. Substansinya disusun secara tepat dengan syarat utama harus memasukkan TAP MPRS tentang pelarangan terhadap paham komunisme, marxisme dan leninisme.
Ia sepakat jika RUU tersebut tetap dibahas, namun harus dikaji lagi secara baik. Bukan hanya memaksukkan TAP MPRS kembali dan mengganti pasal yang bermasalah, tidak cukup hanya sebatas itu. Harus dikaji kembali secara substansial,” tegas Yahdi.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Muslim, Harun Nyak Itam Abu, berpendapat, pembentukan peraturan perundang-undangan harus jelas dasarnya.
“Harus ada cantolan dalam UUD 1945. Pancasila itu dasar negara, tidak bisa dibuat undang-undang karena Pancasila yang melahirkan ribuan undang-undang,” terangnya.
Maka, kata dia, sudah sepantasnya umat Islam curiga, apalagi umat Islam pernah mengalami trauma sejarah terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Hari ini kita melihat negara bekerja sama dengan Partai Komunis, padahal Indonesia memiliki idiologi Pancasila yang meletakkan dasar ketuhanan. Paham tersebut sudah dilarang namun faktanya hari ini enteng-enteng saja melakukakan kerja sama dengan paham terlarang itu,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan, ketika RUU BPIP disahkan menjadi sebuah undang-undang, maka sangat berbahaya karena akan menjadi penafsir tunggal terhadap Pancasila dan juga akan menjadi sistem peradilan pidana criminal justice system. Padahal criminal justice system ini sudah baku, ada kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan advokat.
“Walaupun TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dimasukan, itu hanya untuk ormas, sehingga tidak dapat menjangkau partai politik,” tandasnya. (RIFAY)