PALU – Pemerintah diminta untuk bisa menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), sampai benar-benar pasal-pasal bermasalah di dalamnya dapat disempurnakan.
Sebelum RKUHP disahkan, seharusnya hal paling urgen untuk direvisi adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengancam kemerdekaan pers.
Hal tersebut menjadi salahsatu rekomendasi, disampaikan dalam diskusi dan kampanye “Mendesak Revisi UU ITE dan Penghapusan Pasal Bermasalah RUU KUHP” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu didukung Forum Asia. Kegiatan Diskusi dan Kampanye yang berlangsung secara daring, dalam keterangan tertulis di terima MAL Online, Jumat (23/9/2022).
Hadir sebagai narasumber Wakil Dekan Fakultas Hukum Untad, Rahmat Bakri dan Direktur Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng Nurlaela Lamasitudju. Kegiatan ini, diikuti pula 15 peserta yang merupakan jurnalis, pers mahasiswa dan aktivis dari Kota Palu, Donggala dan Kabupaten Banggai.
Dalam paparanya Rahmat Bakri mengatakan, ada sejumlah pasal-pasal potensial dalam RUU KUHP yang dapat mengancam kemerdekaan pers. Di antaranya, yakni Pasal 263, di mana ancaman pidana 6 tahun bagi yang menyebabkan berita bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Kemudian Pasal 264: ancaman pidana penjara dua tahun bagi yang menyebarkan berita yang tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap sedangkan diduga atau patut diduga menyebabkan kerusuhan di masyarakat.
“Jurnalis tidak akan leluasa untuk memberitakan sesuatu, yang masih dugaan dan ancaman-ancaman hukuman itu tentu menimbulkan ketakutan bagi jurnalis dalam menyajikan informasi dalam bentuk berita,” terang mantan Wakil Pemimpin Redaksi Radar Sulteng ini.
Pasal lain yang juga mengekang kemerdekaan pers, yaitu Pasal 280: ancaman denda kategori dua (Rp10 juta) jika tidak mematuhi perintah pengadilan dan bersikap tidak hormat kepada hakim. Tanpa izin merekam dan mempublikasikan proses persidangan. Hal itu, akan membuat jadi tidak leluasa pula dalam hal menjalankan tugas-tugas jurnalistik, khususnya di lingkungan pengadilan, karena harus meminta izin terlebih dahulu. Padahal, pengadilan sendiri merupakan ruang publik yang bisa diakses siapa saja, termasuk jurnalis.
“Belum lagi adapula pasal 601, yang menerangkan pelanggaran terhadap the living law atau hukum adat. Ini berpotensi kriminalisasi kerja-kerja jurnalistik, seperti kasus beberapa tahun lalu di Kota Palu, di mana salah satu media cetak disanksi adat karena diduga menghina kepala daerah,” ungkap Rahmat.
Rahmat juga menyampaikan, bahwa sejatinya hukum pidana itu, dibuat selain untuk melindungi warga Negara, juga untuk membatasi kebebasan warga Negara dan menempatkan kepentingan Negara di atas kepentingan umum.
Belum lagi, kata dia, jika pasal-pasal yang dinilai merupakan pasal karet dan ditelan mentah-mentah oleh aparat penegak hukum, maka kebebasan pers pun terancam.
“Kami minta pemerintah, agar menunda dulu pengesahan RUU KUHP ini, sampai pasal-pasal bermasalah di dalamnya disempurnakan,” tegas Rahmat.
Pendekatan kepada para wakil-wakil rakyat asal Sulawesi Tengah yang duduk di DPR RI, juga penting dilakukan, guna membuka perspektif mereka tentang kebebasan pers dan juga kebebasan berpendapat.
Hal ini penting, agar mereka bisa turut menyuarakan apa yang menjadi keinginan masyarakat. “Meski kita sadari, mereka yang saat ini dalam partai penguasa, tampak sulit untuk bersuara lantang, karena berkaitan erat pula dengan kepentingan politik,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) lebih banyak menyinggung terkait Revisi UU ITE.
Disampaikan Nurlaela, semua elemen masyarakat harus peduli pada Revisi UU ITE. Sebab, setiap orang yang melakukan transaksi elektronik berpotensi menjadi korban dan menjadi pelaku.
“Tidak hanya jurnalis saja, tapi semua masyarakat, tanpa melihat profesinya,” tutur Nurlaela.
Adapun pasal-pasal yang mengancam tugas-tugas jurnalis dalam UU ITE, terdiri dari pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 terkait pidana kesusilaan, juga Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 terkait penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal tersebut, bisa dikenakan kepada jurnalis, bila dalam pemberitaannya terlalu menjelaskan tentang kesusilaan, seperti berita pemerkosaan juga berita-berita yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik seseorang yang dimuat dalam berita online.
“Untuk itu memang, perlu peningkatan kualitas jurnalis, agar dalam penyajian pemberitaanya terhindar dari pasal-pasal karet ini,” terangnya.
Sebenarnya kata Nurlaela, tidak hanya bagi jurnalis saja, literasi ancaman-ancaman UU ITE ini, juga harus diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Penerapan sejumlah pasal dalam UU ITE ini, kata dia, memang perlu untuk direvisi.
Hal itu, karena tingkat pengetahuan masyarakat dalam bersosial media belum semuanya merata. “Namun, desakan revisi UU ITE maupun RKUHP ini, harus lah dilakukan semua pihak. Termasuk mahasiswa. Kita kadang kurang bereaksi, karena belum tahu apa ancamannya,” katanya.
Namun demikian, secara kelembagaan menyikapi UU ITE, SKP-HAM Sulteng meminta, agar pemerintah dan sejumlah organisasi terkait, membuka ruang belajar seluas-luasnya bagi masyarakat, semacam literasi dalam media sosial. Sebab, siapa saja bisa terancam UU ITE, jika tidak paham bermedia sosial.
Tidak hanya narasumber, sejumlah peserta diskusi dan kampanye ini pun juga memberikan rekomendasinya terkait Revisi UU ITE dan penghapusan pasal bermasalah dalam RUU KUHP. Salah satunya, Anggota Advokasi AJI Indonesia, Ridwan Lapasere yang meminta, agar seluruh pihak duduk bersama mengkaji pasal-pasal mana saja yang bermasalah dalam UU ITE maupun RUU KUHP.
“Kita dari daerah, ada wakil rakyat kita di DPR RI, ajak mereka mengkaji bersama masalah ini, agar mereka bisa suarakan ini ketika berada di senayan. Ini juga merupakan strategi-strategi publik, untuk mendorong revisi UU ITE dan RUU KUHP,” tegasnya.
Untuk diketahui, Kota Palu sendiri menjadi kota terakhir dari sesi diskusi dan kampanye “Mendesak Revisi UU ITE dan Penghapusan Pasal Bermasalah RUU KUHP” yang digelar di 7 Kota di Indonesia. Kegiatan yang digagas AJI Indonesia dan Forum Asia ini, bertujuan untuk memberikan edukasi kepada jurnalis di berbagai kota risiko dan dampak UU ITE dan penghapusan pasal bermasalah dalam RUU KUHP bahwa “semua bisa kena, termasuk jurnalis”.
Juga Meningkatkan kesadaran (awareness) tentang pentingnya revisi UU ITE dan penghapusan pasal bermasalah dalam RUU KUHP di kalangan jurnalis dan warga, khususnya di kota-kota yang selama ini kerap muncul pelaporan terhadap jurnalis dengan jeratan UU ITE atau sengketa pemberitaan yang terkait delik UU ITE atau memiliki risiko. (**)