PALU- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu mencatat sedikitnya tujuh kasus kekerasan, intimidasi, pelecehan, dan pembatasan kerja jurnalistik terjadi di Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2025.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan masih lemahnya komitmen negara dan pemangku kepentingan daerah dalam menghormati kemerdekaan pers sebagaimana dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Berbagai bentuk pelanggaran terjadi tidak hanya berupa intimidasi dan ancaman, tetapi juga pelecehan profesi, penghalangan liputan kegiatan publik, kriminalisasi karya jurnalistik, pengusiran wartawan dari ruang rapat, hingga pelabelan negatif terhadap kritik media oleh institusi negara.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Palu, Nurdiansyah menilai situasi tersebut, sebagai alarm serius bagi demokrasi lokal di Sulawesi Tengah. “Pers masih dipandang sebagai ancaman, bukan mitra publik. Padahal kerja jurnalistik adalah bagian dari kontrol sosial dan kepentingan publik,” tegasnya.

Rincian Kasus

Kasus pertama terjadi pada 2 Juni 2025 di Kabupaten Sigi, ketika dua wartawan mengalami pelecehan profesi oleh Kepala Dinas Pendidikan setempat dalam forum resmi kegiatan Verifikasi Lapangan Hybrid Kabupaten Layak Anak. Pernyataan pejabat tersebut menyebut hasil dokumentasi wartawan sebagai “abal-abal” dinilai merendahkan dan melecehkan profesi jurnalis.

Kasus kedua terjadi di Kabupaten Donggala pada 10 Juni 2025, ketika sejumlah wartawan dilarang meliput pertemuan antara Bupati Donggala dan ratusan PPPK. Anggota Satpol PP menahan wartawan di depan ruang pertemuan dengan alasan perintah atasan, meskipun pertemuan tersebut merupakan kegiatan publik.

Kasus ketiga berupa kriminalisasi pers menimpa Emiliana, wartawati media online Metro Luwuk, terkait pemberitaan dugaan penyimpangan distribusi solar subsidi di Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai. Setelah berita dipublikasikan pada 12 Juni 2025, Emiliana justru dipanggil polisi sebagai saksi pada 12 Juli 2025. AJI menilai langkah ini sebagai bentuk tekanan hukum terhadap produk jurnalistik.

Kasus keempat adalah intimidasi dan ancaman terhadap Ikram, jurnalis Media Alkhairaat, setelah memberitakan aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Poboya, Kota Palu. Ikram menerima ancaman melalui pesan WhatsApp dari oknum wartawan dan melaporkan kasus tersebut ke Dit Ressiber Polda Sulawesi Tengah.

Kasus kelima terjadi pada 6 Oktober 2025, ketika KPID Sulawesi Tengah memanggil TVRI Sulteng untuk klarifikasi terkait pemberitaan dugaan korupsi Perumda Kota Palu. AJI mencatat pemanggilan tersebut sebagai bentuk intervensi yang berpotensi mengganggu independensi redaksi, meski dilakukan melalui mekanisme regulasi penyiaran.

Kasus keenam terjadi di Kabupaten Parigi Moutong pada 20 Oktober 2025, ketika lima jurnalis diusir dari ruang rapat pembahasan tambang emas ilegal di Desa Kayuboko. Pengusiran dilakukan oleh Wakil Bupati Parigi Moutong dan Kepala Diskominfo, meskipun agenda rapat dibagikan secara resmi dan menyangkut kepentingan publik.

Kasus ketujuh dan terbaru terjadi pada 22 Desember 2025, ketika Satgas Berani Saber Hoaks (BSH) Sulawesi Tengah melabeli pemberitaan kritik tiga media lokal—Kaili Post, Selebes Media, dan Jurnal News—sebagai “mal-informasi”. Pelabelan ini dinilai sebagai bentuk stigmatisasi terhadap kritik kebijakan dan upaya pembungkaman kemerdekaan pers melalui kanal resmi pemerintah.***