PALU- Kasus dugaan asusila menimpa seorang mahasiswi di Kota Palu menyita perhatian publik maupun media. Meski demikian, pemberitaan disajikan media lewat kerja-kerja jurnalistik haruslah berpihak kepada korban.

Bukan justru membuat korban dua kali menjadi korban. Korban asusila dan korban opini negatif akibat pemberitaan media.

Seharusnya fokus pemberitaan ada pada fakta dan juga keadilan, bukan mengejar sensasi semata, malah menjadikan korban terlihat negatif di mata publik.

Koordinator Divisi Gender, Anak dan Kaum Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Nurhayati mengingatkan seluruh jurnalis di Sulawesi Tengah, agar menjalankan praktik jurnalistik secara profesional dengan berpegang pada kode etik jurnalistik dan menghormati korban. Dalam kasus-kasus asusila, penting kata dia, untuk memastikan liputan dihasilkan tidak merugikan korban dan keluarganya.

“Seperti liputan kasus dugaan asusila dengan korbannya mahasiswi di Kota Palu, jurnalis seharusnya jangan menelan mentah-mentah informasi diberikan polisi. Penting melakukan verifikasi dari sumber lain, atau paling tidak melakukan self censor terhadap informasi sekiranya dapat merugikan korban,” tegas Katrin panggilan akrabnya.

Lanjut dia, pemilihan kata atau narasi membangun opini negatif tentang korban hanya memperkuat stigma dan menyudutkan mereka sebenarnya membutuhkan dukungan.

“Hindari penggunaan bahasa menyiratkan kesalahan korban atau membuat dugaan belum terbukti,” katanya.

Dia menambahkan, bahwa informasi pribadi korban tidak relevan dengan proses hukum harus tetap dijaga agar tidak menjadi reviktimisasi atau menjadi korban berulang akibat opini negatif dari pemberitaan. Pemilihan foto dan video pendukung dalam pemberitaan kata Katrin juga memiliki dampak besar terhadap persepsi publik.

“Oleh karena itu, media harus berhati-hati dalam memilih gambar atau ilustrasi digunakan sebagai pendukung berita. Apalagi sampai menampilkan foto korban. Kalau pun menggunakan gambar ilustrasi harus bersifat netral, tidak menggiring opini negatif,” katanya.

Menurutnya, jurnalis maupun pengelola media itu sendiri juga harus memiliki pengetahuan tentang perspektif gender dan perspektif korban ketika meliput kasus-kasus asusila, sehingga tidak terjadi trial by press. Sejatinya pemberitaan disajikan bertujuan memberikan keadilan kepada korban, bukan justru menjadikan korban sebagai terdakwa akibat dari pemberitaan tidak terverifikasi dan hanya mengejar sensasi menarik pembaca semata.

“Perspektif media dan jurnalis terhadap korban asusila sebaiknya berpihak pada perlindungan korban dan menghormati hak privasi korban, menghormati pengalaman traumatik korban, tidak menyebutkan identitas korban, seperti nama asli, alamat, atau sekolah/kampus dapat mengundang publik untuk menyelidiki atau mengidentifikasi korban,” tandasnya.

REPORTER : **/IKRAM