OLEH: Apni Jaya Putra*
Suatu hari saya diundang sarapan pagi oleh seorang produser film tanah air. Ia mengatakan filmnya berhenti di tengah jalan gara-gara pemeran utamanya meninggal. Dia meminta bantuan saya, dengan artificial intelligence (AI) tentunya, bisa membuat wajah dan suaranya dihidupkan kembali.
Saya mengatakan secara teknis bisa, karena AI sudah bisa masuk mengganti peran dengan face swapper dan suara melalui sintesa suara yang sudah 90 persen mirip.
Cerita di atas hendak menjelaskan bahwa industri konten, film dan televisi hari ini paling terdisrupsi oleh AI.
Dua tahun lalu saya memaparkan kepada CEO tvOne, Taufan Eko Nugroho, betapa penting tvone segera masuk ke AI dan mengembangkannya.
Setidaknya ada tiga alasan, pertama karena media bereputasi, menurut survei Reuters lebih dipercaya jika menggunakan AI.
Kedua, media bereputasi memiliki disiplin verifikasi yang baik dan ketiga adalah karena media bereputasi setidaknya comply dengan aturan etik jurnalistik.
Selanjutya saya diminta memimpin pengembangai AI di tvone.ai dan tvone.ai lalu menjadi pelopor dengan presenter AI pertama di Asia Tenggara,
Portal News AI pertama di Indonesia yang dapat melakukan peringkasan berita yang memberi pengalaman membaca jauh sebelum google menempelkan AI di mesin pencarinya seperti hari ini.
TVone sudah memiliki roadmap bagaimana kelak perkembangan AI pada media dan ambisinya menjadi powerhouse bagi pengembangan AI dalam bidang media.
Kembali ke film, industri ini sebenarnya dapat dikategorikan paling adaptif terhadap perkembangan teknologi, penggunaan CGI, berbagai fitur editing dan coloring adalah salah satu contoh bagaimana keterpaparan AI di film mencapai 90%.
Hari ini, AI sudah mampu membuat ilustrasi musik atau music score hanya dengan prompt. Makin detail prompt-nya makin presisi hasilnya.
Penggambaran suasana masa lalu bisa direka ulang melalui mesin AI berbasis stable diffusion yang juga dapat melakukan pembuatan animasi nya hanya dari prompt.
Demikian juga dengan scenario, ide dapat digali bahkan scenario dapat ditulis dari imajinasi anda tentang sebuah film, hanya dengan prompt, maka AI sudah bisa menyusun screen play, scene by scene.
Sebegitu dahsyat AI, dia tetap harus dikontrol oleh manusia, human central menjadi dasar penting bagaimana kita memperlakukan AI. Manusia memiliki kecerdasan genuine dari Sang Pencipta. Artinya kita lah yang harus lebih pintar lebih dulu ketimbang AI. AI tidak dapat meng createfakta juga tak punya emosi spontan.
Lifeblood of AI adalah data. Karena itu pengelolaan data menjadi sangat signifikan di era AI.
Prompt menjadi kata ajimat dalam AI. Profesi prompt writer menjadi penting karena melalui kata-kata di chat bar, manusia meminta AI berpikir dan menyelesaikan hal-hal yang rumit.
AI belajar dari kurang lebih 7 miliar data, dan hari ini bahkan Large Language Model (LLM) pada AI sudah kekurangan asupan non-English language untuk memperkaya mesin LLM yang biasa digunakan pada model bahasa semacam chat-GPT.
Sam Crowther, CEO Kasada, sebuah Perusahaan keamanan siber, mengatakan sejak Bytespider milik Tiktok muncul, perusahaan tersebut telah melakukan scraping data sekitar 25 kali lebih cepat dari GPTbot, yang melakukan scraping data untuk platform ChatGPT milik OpenAI dan model-model yang mendasarinya, misalnya.
Bytespider telah melakukan scraping pada 3.000 kali lebih cepat dari ClaudeBot, dari Anthropic, yang mengoperasikan platform Claude.
Menurut Kasada, seiring berjalannya waktu, Bytespider telah menjadi lebih agresif.
Data menunjukkan lonjakan besar dalam aktivitas scraping dari Bytespider selama enam minggu terakhir. Ini menimbulkan ketakutan pemilik data dan mereka ramai-ramai memblok database mereka agar tidak “dilumat” oleh pemgembang AI.
Karena itu, diskusi penggunaan AI pada industri konten hari ini adalah pada soal hak cipta.
Industri konten sudah beradaptasi denga memberikan lisensi Creative Common pada AI yang belajar dari gambar atau data yang tersedia di dunia maya. Kedua, industri konten sudah melepas haknya Ketika AI secara otonom mampu membuat suara, gambar bahkan video.
Anda tidak akan digugat pasal hak cipta Ketika AI mampu melakukan pekerjaan sendiri atas perintah kita.
AI juga akan memainkan peran kelak pada perubahan format film, programatiknya akan mengubah cara manusia mengonsumsi konten.
Dalam lima tahun tak hanya AI, model distribusi film dalam blockchain OTT akan memadukan format, distribusi dan uang digital (crypto) sebagai model bisnis baru industri film. Dan ini sudah dimulai di beberapa negara Eropa.
AI adalah keniscayaan, dia tidak akan menunggu kita, perkembangannya ke depan akan eksponensial kalau tidak mau menggunakan kata “menakutkan”.
Para awak film yang berada di industri kreatif ini saya sarankan segera beradaptasi dan menguasai ilmu dan pemahaman mengenai AI.
Dan benar apa yang dikatakan oleh Co CEO Netflix, Ted Sarandos, AI tidak akan menggantikan pekerjaan anda, tapi orang dengan kemampuan AI mungkin akan mengambil alih pekerjaan anda. Jangan panik. Beradaptasilah.
*Penulis adalah Head of AI Media Development tvOne.AI