PALU- Ahli Hukum Pidana Universitas Tadulako (Untad) Dr Abdul Wahid menyebutkan, ada kriminalisasi terhadap Ni Nyoman Rahayu terpidana kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi pembebasan lahan jalan Anoa II (saat ini Jalan Lalove, red), Kelurahan Tatura Utara, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu untuk keperluan pembangunan jembatan Lalove.
“Ada kriminalisasi di sini. Orang seharusnya tidak dipidana, menjadi dipidana dan ini sangat berbahaya,” kata Dosen Fakultas Hukum Untad ini usai memberikan pendapat sebagai ahli dalam sidang lanjutan peninjauan kembali (PK) Ni Nyoman Rahayu di Pengadilan Negeri Kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu, Rabu (5/4).
Alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI) ini mengatakan, ini peradilan buruk, kurang bagus. Sebab menjelaskan tentang orang dirugikan tetapi diurai mana kerugian, kesalahan dan aturan apa dilanggar tidak ada dalam putusan.
“Itu yang saya katakan, kriminalisasi tolong dicatat itu baik-baik!” ucapnya.
Menurut pendapatnya, semua novum diajukan terpidana dalam upaya hukum luar biasa PK memenuhi kriteria.
Jadi ada tiga kriteria dalam pengajuan PK sebut dia, pertama ada pertentangan antara satu putusan dan lainnya, yang dalam perkara ini ada tiga orang terpidana Ni Nyoman Rahayu, Dharma Gunawan Mochtar dipidana, sedangkan Fadel H. Saman dibebaskan.
Lalu ujar dia, kedua bisa diajukan PK apabila di dalam pertimbangan hakim ada kekhilafan hukum dan ketiga ada keliru yang nyata.
Dalam kasus ini menurutnya ada fakta hukum yang kabur pada pertimbangan hakim, tidak mengungkap perintah Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 pasal 33 huruf f menyatakan kerugian lain dapat dinilai.
“Dalam putusan hakim bahwa kerugian non fisik, oleh terdakwa atau terpidana (Ni Nyoman Rahayu) tidak berhak menerima, tapi perintah Undang-undang boleh menerima,” bebernya.
Artinya dimaksud kerugian fisik, papar dia, ganti tanah dan rumah, sedangkan kerugian non fisik biaya pindah, sesuai ketentuan yang dapat diberikan uang pindah, bila rumahnya digusur. Sebab dia mau kemana. Biaya nob fisik itulah melekat.
Tapi oleh hakim pada tingkat pertama Pengadilan Negeri kata dia, biaya non fisik itu adalah kerugian negara, padahal itu bukan kerugian negara.
“Tapi itu hak dan dengan sendirinya tidak ada kerugian negara di situ,” tegasnya.
Selanjutnya tutur dia, ada Novum atau keadaan yang baru. Keadaan yang baru, jangan diartikan sebagai bukti saja. Tapi di samping bukti, ditemukan adanya hukum tidak diberlakukan .
“Jadi ada dua pengertian keadaan yang baru, ada bukti baru ditemukan dan ada hukum tidak diterapkan. Jadi dengan tiga unsur tersebut terpidana berhak ajukan PK,” pungkasnya.
Terpidana NI Nyoman Rahayu, sendiri hadir bersama kuasa hukumnya Budiman Sagala pada persidangan lanjutan PK dipimpin ketua majelis hakim Ferry Marcus Justinus Sumlang, Aris T Kahohon dan Sayonara sebagai hakim anggota, turut di hadiri Jaksa Penuntut Umum Abdullah dan Didin.
Dalam kesempatan itu Budiman Sagala menghadirkan penemu novum Fadel H Saman, Iki Paseru dari appraisal dan Moh Zakki M bagian hukum Pemkot Palu.
Dalam kasus ini kasasi diajukan NI Nyoaman Rahayu ditolak. Oleh Pengadilan Tinggi Sulteng, ia dijatuhi vonis pidana penjara 2 tahun serta denda Rp50 juta, sub 1 bulan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp610,4 juta sub 6 bulan.
Sedangkan Mantan Kepala Dinas Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan (DPRP) Kota Palu, Dharma Gunawan Muchtar, Mahkamah Agung memperberat hukumannya menjadi 4 tahun dari putusan banding hanya divonis 2 tahun.
Sedangkan Fadel H Saman selaku Kepala Bidang Pertanahan pada Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu divonis bebas oleh Pengadilan Negeri kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu, lalu dikasasi oleh JPU tapi ditolak oleh MA.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG