Agar Korban Tidak Lagi Jadi Korban

oleh -
Ketua KPKPST, Soraya Sultan menjelaskan sebaran program pendampingan terhadap perempuan penyintas di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Kota Palu, pasca-gempa Oktober 2018 di kantornya, Jalan Jambu, Palu Barat, Kota Palu, Jumat (28/7/2023). (FOTO: media.alkhairaat.id)

Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-gempabumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Agar yang sudah jatuh, tidak lagi tertimpa tangga, berkali-kali.

Perempuan dan anak -apalagi dengan disabilitas- kerap berkali-kali menjadi korban saat bencana alam dan setelahnya. Selain kehilangan rumah dan sanak keluarga, penyintas perempuan juga sering menjadi sasaran pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender (KBG) lainnya seperti kekerasan seksual dan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT).

Penyintas anak juga rentan sebagai korban pelecehan dan kekerasan seksual, perkawinan anak dan perdagangan orang.  Belum lagi fakta sosiologis lainnya, yaitu dalam situasi tertekan secara psikologis tersebut, tidak sedikit perempuan yang mendadak menjadi kepala keluarga karena kehilangan suami atau ayah mereka.   

Pusat Data dan Informasi Bencana Sulawesi Tengah mengumumkan 4.845 korban jiwa akibat gempabumi dengan magnitudo 7,4 disusul tsunami, dan likuefaksi yang melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.

Di Palu, ibu kota provinsi, terdapat 21.078 rumah rusak ringan, 15.917 rumah rusak sedang, 11.603 rumah rusak berat, dan 6.504 rumah hilang. Nilai kerugian dan kerusakan material dilaporkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencapai Rp20,89 triliun.

Pada masa-masa awal setelah gempa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota terdampak bencana telah melakukan upaya mencegah kekerasan berbasis gender (KBG) dan kekerasan terhadap anak (KTA). Melalui inisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, didirikan Tenda Ramah Perempuan (TRP) dan Tenda Ramah Anak (TRA) pada 12 titik lokasi hunian sementara.

Pada saat bersamaan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Palu bersama relawan dan masyarakat, turut memberikan pendampingan terhadap perempuan penyintas korban upaya pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkawinan anak di hunian sementara.

Pada 2019, terjadi 179 perkawinan anak (3,06%) dari 5.842 peristiwa nikah di Kota Palu. Sementara pada 2020, turun menjadi 74 perkawinan anak (1,42%) dari 5.176 peristiwan nikah. 

Percobaan KBG, seperti pelecehan seksual (mengintip dan merekam korban), kekerasan seksual (perkosaan dan percobaan perkosaan), hingga pemaksaan nikah dini pada anak merupakan fenomena sosial pasca-gempa di Palu dan sekitarnya.

Dilansir dari beberapa pemberitaan media massa online di Palu, beberapa organisasi nonpemerintah mencatat temuan dan pengaduan  tindakan kekerasan berbasis gender tersebut. Setahun pasca-gempa, Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) mencatat 61 KBG dialami perempuan, 33 kasus perkawinan anak.

Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST)  mencatat 54 kasus KBG, 33 kasus perkawinan anak.

Sementara itu, Yayasan Sikola Mobine dalam laman resminya mencatat mendampingi 61 KBG sepanjang 2019-2021. Sebanyak 33 kasus di antaranya dialami perempuan penyintas gempa Palu pada Desember 2018-2019 (lihat tabel).  

Tabel  Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan Penyintas Gempa Palu

NOSUMBER DATAKURUNJUMLAHKETERANGAN
1Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU Perempuan) 28 September 2018-28 September 201961 Kasus, 33 Perkawinan AnakPerkosaan, percobaan perkosaan, pelecehan seksual, pengintipan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
2Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) 54 Kasus, 34 Perkawinan Anak
3Yayasan Sikola Mombine Desember 2018-Desember 201933 Kasus kasus pelecehan seksual, 10 KDRT, 2 kasus kekerasan dalam keluarga, 2 perkosaan, 2 kekerasan seksual, 2 kasus penelataran anak
4United Nations Population Fund (UNFPA)November 2018-Januari 201957 kasusRata-rata terjadi  1 kali pelecehan seksual dalam 2 hari
Sumber: Diolah ( Putri & Garnesia, 2019; Umr, 2020; Samodro, 2019)

Pelecehan hingga kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyintas antara lain terjadi di kawasan hunian sementara.

Laporan wartawan media lokal di Palu pada 2019-2020, kejahatan tersebut dialami perempuan seperti menjadi korban pengintipan di kamar mandi umum, mengalami pelecehan seksual oleh keluarga terdekat, hingga nyaris diperkosa.

Belum ada data dari otoritas terkait mengenai KBG terhadap perempuan penyintas pasca-gempa ini, namun jumlahnya bisa besar mengingat terdapat 127 titik sebaran lokasi pengungsian para korban di Kota Palu.

Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor: 360/302/BPBD-G.ST/2019 tentang Penetapan Data Dampak Bencana Alam Gempa Bumi, Tsunami, dan Likuefaksi Provinsi Sulawesi Tengah Tahap III, menyatakan  sebanyak  11.165 keluarga atau 40.738 warga  penyintas di Kota Palu.

Sampai Mei 2019, sebanyak 6.655 jiwa di antaranya masih menghuni hunian darurat karena terbatasnya hunian sementara (Arshandi, 2019).

Alauddin dkk, dalam tulisannya berjudul Local Government Policies and Participation of Religious Leaders Preventing Sexual Harassment After the Earthquake in Palu Central Sulawesi, dimuat Jurnal Al Maiyyah Nomor 15Vol 1 tahun 2022 menulis, terjadinya pelecehan seksual  dan percobaan pemerkosaan terhadap perempuan penyintas gempa Palu dapat dilihat dalam beberapa indikator.

Pertama, kondisi peturasan dan kamar mandi di lokasi hunian sementara tidak ramah perempuan dan anak perempuan, tidak terpisah dengan toilet dan kamar mandi laki-laki, serta berjarak dari hunian sementara. Pada saat yang sama, pengawasan terhadap hunian sementara minim sehingga membuka pintu  pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyintas.

Kedua, pada masa-masa awal tanggap darurat, program penanggulangan pascagempa di Kota Palu dan sekitarnya belum terpadu. Pemerintah daerah mengarahkan bantuan  pada penyediaan makanan, pakaian, serta tempat tinggal sementara, namun kurang memberikan perlindungan kepada kelompok rentan seperti perempuan dan anak dari ancaman pelecehan bahkan kekerasan seksual.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki deretan regulasi yang dapat diandalkan. Terdapat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Dalam kasus darurat saat bencana alam, telah terbit Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana.

Melengkapi regulasi tersebut, Gubernur dan DPRD Sulawesi Tengah juga telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan  Anak Dari Tindak Kekerasan. Dukungan juga datang dari pemerintah daerah.

DPRD dan Pemerintah Kabupaten Donggala memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Dari Kekerasan di Kabupaten Donggala dan peraturan bupati turunannya.

Demikian halnya DPRD dan Pemerintah Kabupaten Sigi sudah melahirkan Perda Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Komplitnya regulasi tersebut belum menjamin pencegahan KBG dan KTA sebab dibutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat.

PERAN PENDAMPING

Selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi, individu dan masyarakat, termasuk juga organisasi non pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), memiliki peran strategis dalam pencegahan KBG dan KTA pasca-bencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain melalui kampanye kesadaran dan pendidikan, pembentukan kelompok pendukung, dan kerjasama dengan pihak berwenang.

Pertama, pada fase kampanye dan pendidikan, dilakukan sosialisasi dalam berbagai forum untuk menyampaikan informasi mengenai hak-hak individu, kesetaraan gender, dan pentingnya melaporkan KBG dan KTA yang dialami.

Organisasi keagamaan perempuan, Fatayat NU misalnya, memanfaatkan forum majelis taklim sebagai sarana sosialisasi dalam upaya mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

Program tersebut bernama keluarga maslahah. Ketua Fatayat Nahdhatul Ulama (NU) Sulawesi Tengah, Zulfiyah mengatakan di sela-sela pertemuan majelis-majelis taklim tersebut, selain menyampaikan pesan-pesan keagamaan, Fatayat juga rutin menguraikan upaya pencegahan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT).

Program prioritas pemerintah lainnya, yaitu pencegahan stunting di lingkungan keluarga, juga menjadi bahan pertemuan tersebut. “Jadi, tidak lagi dalam bentuk program seperti saat recovery pascabencana,” tulis Zulfiyah kepada media ini, Jumat (28/7/2023).

Kedua, pembentukan kelompok pendukung. Kelompok masyarakat sipil, seperti LSM, bisa membentuk kelompok-kelompok pendukung yang menyasar pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban. Melalui forum ini, para korban bisa berbicara atau memeroleh dukungan emosional. 

Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) adalah salah satu LSM yang sejak awal concern pada pencegahan KBG dan KTA di Sulawesi Tengah. Direktur KPKST, Soraya Sultan, mengatakan pihaknya  mendorong pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) di kabupaten dan tingkat desa di wilayah kerjanya.

Satgas tersebut merupakan tindak lanjut dari Tenda Ramah Perempuan dan Anak, program bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, pasca-gempa, Oktober 2018.  Sampai Juli 2023, telah terbentuk 27 Satgas PPA desa di Kabupaten Sigi, dan 18 Satgas PPA desa di Kabupaten Donggala. Selain ibu-ibu PKK desa, Satgas PPA ini turut mengandalkan relawan muda dan bidan desa.

“Dalam penanganan kekerasan seksual misalnya, satgas mendatangi korban atau melakukan rujukan kasus. Untuk kasus yang ringan dirujuk kepada aparat desa, sedangkan kasus yang berat dirujuk ke KPKPST, Satgas kabupaten atau Polsek,” jelas Soraya di kantornya, Jalan Jambu, Palu Barat, Jumat (28/7/2023).

Khusus kekerasan terhadap anak (KTA), pihaknya tegas. “Tidak boleh ada restorative justice (upaya penyelesaian kasus hukum melalui mediasi antara korban dan terdakwa, red),” tambahnya.

Beberapa relawan korban KBG pasca-gempa, juga bersedia menjadi pendamping. “Mereka lebih punya sensitivitas krisis,” katanya lagi.  Tindakan KBG akibat kontak media sosial juga menjadi perhatian KPKPST dan satgas.

Ketiga, kerja sama dengan otoritas terkait.  Individu dan kelompok masyarakat perlu membangun kemitraan dan kerja sama dengan otoritas terkait  seperti pemerintah daerah melalui dinas kesehatan atau dinas pemberdayaan perempuan dan anak, atau pemerintah desa, serta aparat kepolisian dan lembaga lain selama rekonstruksi dan rehabilitasi pasca-gempa.

Kemitraan tersebut sangat membantu mencegah KBG dan KTA berulang kepada korban. Soraya mengatakan, KPKPST sejak awal mendorong pemerintah daerah di Kabupaten Sigi dan Donggala untuk memberi perhatian pada perlindungan perempuan dari KBG dan KTA. 

Peraturan daerah dan peraturan bupati menguatkan kerja sama dengan pemerintah desa. Melalui kerja sama tersebut, pemerintah desa bisa mengalokasikan dana desa untuk pencegahan dan penanganan KBG dan KTA di desanya.

Demikian halnya kesepakatan bersama dengan kepolisian di tingkat kecamatan, sangat membantu dalam memproses pengaduan pidana kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Pada akhirnya, sebagai komunitas yang rawan diskriminasi pasca-bencana alam, perempuan dan anak  patut mendapat perlindungan semua pihak.

Tugas ini bukan hanya milik pemerintah, yang selalu berlindung dari sumberdaya (anggaran dan sumberdaya manusia) yang serba terbatas. Karena melindungi perempuan sejatinya sama dengan menyelamatkan kehidupan manusia. RIFAY