PALU- Hakim tunggal Imanuel Charlo Rommel Danes, memutuskan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Pimpinan Redaksi (Pimred) Berita Morut, Hendly Mangkali, atas penetapan dirinya sebagai tersangka, kasus Undang-undang ITE oleh termohon Polda Sulteng di Pengadilan Negeri Kelaz 1 A PHI/Tipikor/Palu, Rabu (28/5) kemarin.
Dalam salah satu pertimbangan putusannya, Romel berpendapat, tindakan termohon dalam hal ini Polda Sulteng, menetapkan pemohon sebagai tersangka, dinilai tidak sah.
Hal tersebut, memantik salah satu advokat pemohon, Mardiman Sane dalam kacamata hukumnya berpendapat, pada kasus Hendly negara, khususnya daerah Sulteng mulai terjadi gejala pembalikan demokrasi atau democratic backsliding (kemunduran demokrasi).
Politisi Demokrat Sulteng tersebut mengatakan, ada lima ciri kemunduran demokrasi, di antaranya, pembatasan kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers, kemudian peningkatan kekuasaan eksekutif dalam hal ini Bupati.
“Artinya, kekuasaan eksekutif mulai melampaui batas kewenangannya, karena ini sebenarnya masalah sepele. Pelapornya tidak sepele. Itulah salah satu ciri kemunduran demokrasi. Peningkatan kekuasaan eksekutif tidak terkontrol,” bebernya.
Mardiman menilai praperadilan tidak menyentuh materi, sehingga tidak bisa membuktikan siapa yang main “kuda-kudaan” (diksi berita) dan kenapa pelapor, melaporkan berita tersebut dan Cyber Polda memprosesnya, tapi pidana asalnya belum terproses.
Mardiman menjelaskan, dalam teori pembuktian ada namanya positiva probandi dan negativa probandi.
Menurutnya, dalam kasus pemberitaan “kuda-kudaan” berlaku dalil siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan. Sedangkan negativa probandi bahwa yang bersangkutan (pelapor) harus membuktikan bahwa dirinya bukan “kuda-kudaan” dimaksud.
Olehnya kata Mardiman, keadilan dan hukum, sesuatu sama sekali berbeda. Mardiman mengingatkan jurnalis dalam menyajikan pemberitaan apalagi menyangkut harkat dan martabat seseorang, sedapat mungkin mengumpulkan fakta, data dan risetnya matang.
“Keadilan bicara rasa, tapi hukum bicara fakta. Kasus inilah menimpa jurnalis Hendly. Kia merasa tidak adil, tapi Direktorat Cyber bilang dua alat bukti, sesuai KUHAP,” katanya.
Sebagai advokat penegak hukum, masuk dalan catur wangsa, ia menyayangi institusi Polri, Polda khususnya. Namun kata Mardiman, Direktorat Cyber, bisa lebih profesional dalam menangani perkara, jangan terburu-buru, ditimbang-timbang dulu dalam mentersangkakan seseorang.
“Saya berharap sebagai salah satu kuasa hukum Hendly, teman-teman di Polda stoplah sudah. Cukuplah sampai di sini, kasus Hendly, tidak usah diproses lebih lanjut,” pintanya.
Namum kata Mardiman, apabila masih diproses lebih lanjut dan kembali mentersangkakan Hendly. “Saya sebagai kuasa hukum, saya nyatakan di sini bahwa kita pasti lawan. Lawannya dengan cara apa nanti, karena praperadilan, belum pertarungan intelektualisme sebenarnya. Tapi sekali lagi, saya berharap cukuplah sampai di sini,” ujarnya.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG