PALU- H. Muhammad Adnan Arsal di usianya kini semakin senja tak henti-hentinya menyerukan agar tidak ada konflik atau perang di Kabupaten Poso.
Bagi dirinya, telah mengalami peristiwa konflik Poso dan merasakan dampaknya, Ia tak ingin mewariskan perang kepada anak cucu.
Olehnya dia berseru bagaimana mengantar Poso ini damai, supaya pembangunan bisa jalan.Tidak mungkin perang ini kita wariskan kepada anak cucu kita.
Bagi Adnan, dialog lebih diutamakan. Sebagaimanapun peliknya konflik, selalu ada usaha berdialog.
“Negara saja perang, masih ada dialog, apalagi masyarakat,” kata Adnan yang ditahbiskan sebagai panglima damai Poso, dalam buku karya penulis Khoirul Anam dalam silaturahmi penulis dan tokoh damai Poso H Muhammad Adnan Arsal bersama jurnalis Sulteng , di kafe Triple F Kota Palu, Kamis (20/1).
Ia sendiri merasa risih disebut sebagai panglima. ” Saya sebenarnya risih juga dibilang panglima, karena saya tidak punya SK,” canda Muhammad Adnan Arsal.
Namun Ia tak menampik, sebutan itu tidak jadi serta-merta tapi karena ada proses. Ia menceritakan, Umat Islam Poso pada waktu konflik, hanya ingin mencari figur, siapa yang bisa. Apa yang keluar dari mulutnya, itu yang dilaksanakan.
Dan hal itu dibuktikannya, di tengah amuk konflik, dirinya tak bergeming dan tetap bertahan di Poso.
“Saya bertahan di Poso, tapi saya juga tidak ingin riya. Saya mohon kepada Allah jangan sampai riya,” pintanya.
Dia mengatakan, ini fakta menjadi panutan bagi tokoh-tokoh, oleh siapapun. Kalau bicara, bicaralah sebenarnya dan implementasinya harus dibuktikan.
Ia menyebutkan, itulah sebabnya buku yang ditulis Khoirul Anam, judulnya damai Poso. Sebab ketika konflik Poso berkecamuk, ia terus berupaya mencari jalan upaya damai dengan selalu menjalin komunikasi pada Bupati Poso kala itu Arief Patanga.
Kala itu, Ia menyampaikan kepada Bupati agar hal tersebut jangan sampai berlarut-larut. Ia menyarankan untuk mengundang tokoh agama, adat, masyarakat untuk melakukan pertemuan dan membicarakan upaya damai.
Seingat dia, pertemuan tersebut berlangsung sebanyak empat kali, pada akhirnya berujung damai. Dia bersama tokoh lainnya, terus melakukan upaya sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
Inilah pula kata dia, melatarbelakangi lahirnya deklarasi Malino. Terdapat 10 poin kesepakatan, di antaranya hentikan perang dan serahkan senjata dan tegakkan supremasi hukum.
Penegakan hukum inilah, ingin terus didorong H. Adnan bila ada yang bermasalah dan terbukti faktanya giring ke proses hukum.
Tapi upaya ini tidak memberikan kepuasan sebagian pihak, sehingga ada yang keluar dari sistem dan bergabung ke gunung biru. Mereka berpikir ini tidak adil harus berlaku hukum qishas.
“Sementara hukum qishas tidak dianut oleh Indonesia , tapi hukum pidana,” katanya.
Maka itulah dia mengimbau dan mengajak agar tiga orang sisa DPO ada digunung biru dijadikan musuh bersama. Sebab mereka sudah membunuh secara acak.
Penulis buku Muhammad Adnan Arsal Panglima Damai Poso, Khoirul Anam melakukan riset penelitian dalam penulisan bukunya, hampir setahun di Kabupaten Poso mendapatkan fakta, sudah tidak ada konflik Poso atau Teroris. Kalaupun ada mereka adalah orang-orang dari luar Poso.
“Poso memiliki daya tarik sendiri bagi teroris, sebab Poso adalah enklave terorisme,”katanya.
Ia menyebutkan masyarakat Poso sendiri menolak terorisme dan kekerasan atau termasuk kekerasan atas nama agama.
Fakta Kedua yang ia jumpai, Poso tidak hanya aman, tetapi sudah berkembang dan siap bersaing dengan daerah lain di Indonesia. Meskipun dengan kekurangan dimiliki Pemkab Poso dan Pemprov Sulteng
” Pemerintah sendiri serius dalam membangun Poso, inilah yang perlu orang tahu,” bebernya.
Ia mengatakan lagi, Poso tidak hanya berhasil menghentikan konflik, tapi Poso bisa membalik keadaan, Insyaallah 5 tahun kedepan dapat bisa bersaing dengan daerah lain dengan banyaknya spot-spot wisata dan potensi bisa dikembangkan.
Dan fakta lainnya pemolisian terhadap orang-orang terlibat terorisme tidak sendiri apa yang dibayangkan oleh orang-orang dari luar Poso.
Tapi bagaimana Kepolisian, yang Ia saksikan sendiri baik densus melakukan pemeriksaan terhadap mereka justru mengedepankan sisi kemanusiaan.
Ini bisa ditunjukkan dengan orang-orang yang terlibat terorisme ditangkap dan di proses hukum tetapi mereka juga diberi pendampingan saat berada di Lapas maupun di luar Lapas untuk dipastikan hidupnya sejahtera.
“Ajaran Islam itu damai.Tapi ketika perut mereka tidak diurusi bisa kacau. Kalau logistiknya kacau , logikanya juga berantakan,” sebutnya.
Dia menambahkan, buku yang ditulisnya mengangkat sosok Haji Adnan Arsal dalam analisisnya bahwa ini adalah kode masyarakat Poso memilih H Adnan sebagai panglima perang kala konflik tidak menginginkan perang, bila melihat tampang dan badan H. Adnan tak menunjukan seorang yang garang.
“H. Adnan jauh dari apa yang dibayangkannya,” ucapnya.
Ia melihat sosok H Adnan ahli perundingan, dengan latar belakang sebagai ASN Kementerian agama. Dan itu dibuktikan selama dirinya mengemban amanat sebagai Panglima perang umat Islam lebih banyak mendorong kearah perundingan-perundingan damai.
“Dan paling menyolok terjadinya deklarasi Malino, kesepakatan damai kedua belah pihak berkonflik,”katanya.
Ia menambahkan ada dua hal inti ingin dia sampaikan dari buku yang ditulisnya, kekerasan apapun alasan dan bentuknya termasuk kekerasan atas nama agama tidak akan memberikan apa-apa, kecuali kerusakan dan penyesalan yang tiada berakhir.
“Poso contoh yang nyata” katanya.
Hal kedua kata dia, kekerasan di Poso tidak dapat diduplikasi di tempat-tampat lain Cukup Poso yang mengalami dan kita mengambil ibrah (pelajaran) dari konflik Poso.
Reporter: Ikram/Editor: Nanang