SEMENJAK semalam saya tidak mau menanggapi mereka yang menghina dengan cara bersyukur atas wafatnya Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri. Saya mencoba mengambil sikap sebagai sikap dari keluarga–meskipun bukan keluarga biologis, yaitu menenangkan diri atas kedukaan ini.
Sekarang ini berseliweran gambar maupun video mereka yang sudah menghina Habib Saggaf. Ada yang dari Luwuk ditangkap, dan ada yang dari Buluri ‘didugul” abna setempat. Orang-orang ini bisa kita simpulkan sebagai para pencari ilmu nir-adab. Dikiranya ilmu lebih penting daripada adab.
Baru satu dua hadist dipelajari sudah berani bilang ini sesat ini tidak sesat. Padahal ngajinya mungkin cuma pekanan, itupun tidak sampai dua jam. Mohon maaf, tidak seperti habaib-habaib kami, istirahatnya adalah baca kitab, diamnya adalah zikir, kerjanya adalah dakwah dan mengajar. Padahal 10 tahun pun kau belajarm sungguh belum cukup bagimu menjadi seorang yang betul-betul faqih.
Ibnu Mubarak berkata: “Kami belajar Adab 30 tahun, sedangkan kami mempelajari fiqhi 20 tahun.”… Dia katakan juga “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”
Imam Malik sangat berhati-hati kalau mengeluarkan pendapat agama, apalagi hadist, sampe-sampe beliau berwudhu dan shalat sunat terlebih dahulu. Padahal dia hafal lebih dari 100.000 hadist.
Beliaupun tak pernah meninggikan suaranya ketika menyebutkan hadist, saking memuliakan hadist tersebut. Nah, antum baru belajar kemarin langsung “ngebid’ahin”.
Coba bayangkan bila tanpa adab, bilamana ada yang berdebat dengan kita membawa satu hadist baru kita dapati, lalu si lawan debat juga punya argumen hadist. Karena niat tidak tulus menerima kebenaran, dicarilah hadist lain untuk membenarkan pendapat sendiri. Kalah debat, cari lagi. Kemuliaan dalil hilang dengan orang kayak begini.
Imam Mawardi sangat takut mengeluarkan kitab hadistnya yang setebal kasur. Padahal hadist itu semua lekat di hafalannya. Sedangkan kita gampang-gampang saja kirim mengirim hadist untuk saling berdebat, padahal hasil copy paste web sana-web sini. Bila memang kita percaya pendapat sang ustad, jalankanlah tapi tetap jaga adab.
Pernah belajar di madrasah? Saat belajar di madrasah, kita diajari banyak ilmu Adab, ada Aqidah Ahklak, Mahfuzat, dan Adab itu sendiri. Kalau pun belajar fiqhi, dimulai dengan Bab “Niat”. Agar kita bisa tahu benar tidak niat kita belajar fiqhi.
Saya masih menaruh kepercayaan, bahwa orang-orang begini sebenarnya belajar parsial, meskipun ada jamaahnya. Dia menyatakan itu karena ketololannya memahami Islam. Dan saya masih percaya, golongannya pun akan mencela mereka atas sikapnya yang bodoh itu. Dia tidak mewakili jamaahnya.
***
Tapi selain itu ada satu hal yang perlu kita ingat kawan abna. Sebenarnya tidak terlalu penting ramai-ramai mengutuki orang kecil semacam itu. Apalagi derajat ilmunya juga rendah. Bukti cinta kita sesungguhnya dengan Alkhairaat, yang derajatnya sangat mulia adalah menjaga Alkhairaat itu sendiri. Dan bukti cinta kita kepada Guru Tua Habib Idrus bin Salim Aljufri, bukti cinta kepada Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri, sesungguhnya hanya itu. Ini diingatkan oleh Habib Ali bin Muhammad Aljufri (Ketum PB Alkhairaat) saat pelepasan tadi.
Orang-orang kecil nan bodoh tadi itu, tidak mungkin sekali mampu merusak Alkhairaat, apalagi menurunkan kemuliaan Habib Saggaf. Meskipun orang-orang begitu menjengkelkan… tafadhal lah kalau ada yang mau pukul dia. Biar tau rasa! Tapi jangan energi kita habis ke situ. Sebab ada derajat cinta yang paling mulia. Amanah besar dari Guru Tua: menjaga Alkhairaat. Menjaga Alkhairaat yang paling afdhal adalah menjaga madrasah, apalagi Madrasah Diniyah Awaliyah.
Dari pada kita mengeroyok orang bodoh, lebih baik kita “mengeroyok” madrasah. Bersama-sama membangun dan menghidupkanya. Mencari tahu apa masalah madrasah Alkhairaat di kampung kita. Kalau sudah dapat, ayo mari kita selesaikan.
Bukan cuma madrasah. Tradisi-tradisi kealkhairaatan sudah jalan belum di kampung kita? Jangan-jangan saat tahlil tetangga kita malah asik rebahan di rumah. Kalaupun datang, cuma duduk di jok motor, tak mau masuk. Jangan-jangan yang kita salahkah takmir-takmir masjidnya saja tidak menghidupkan Alkhairaat. Padahal bisa jadi mereka sudah sangat sepuh untuk diamanahi Alkhairaat.
Ruang cinta kita kepada Alkhairaat dan Guru Tua serta Habib Saggaf, sesungguhnya hanya di depan mata kita. Di kampung kita. Di situlah kita harus mengekspresikan cinta kita. Maaf bila ada salah… dan apa yang saya sampaikan kurang beradab.
Nurdiansyah Lakawa (Pemimpin Redaksi MAL Online)