Di bumi Tadulako ini sewajarnya daerah lain di Indonesia. Aman, tenteram dan damai. Di bumi Tadulako ini seperti mana di bumi-bumi lain, kadang ada konflik terpercik yang menodainya. Corak konfliknya pun sebagaimana wilayah lain, yaitu hanya salah paham antar pemuda, dan bisa diatasi dengan sangat cepat. Sementara agama sebagai corak konflik tak pernah terjadi di sini.
Konflik bumi tadulako bukan konflik para kaum ideologis. Tak ada separatis yang tumbuh seperti di propinsi tetangga. Tak pernah tersiar kabar bahwa para pemuda di tanah ini mendeklarasikan kemerdekaan. Pun merubah Pancasila. Bila ada yang tak setuju dengan Pancasila dan NKRI, mereka juga tak seberapa, hanya kelompok kecil yang mana jauh lebih kecil dari propinsi-propinsi lainnya.
Maka tidaklah tepat apa yang disebut oleh Ketua PB PMII, Aminudin Ma’ruf, bahwa “Katanya Bumi Tadulako adalah Pusatnya Radikalisme Islam dan Pusat anti NKRI.”
Bumi Tadulako lebih tepat disematkan kepada wilayah lembah Palu. Tadulako sendiri familiar di masyarakat ini adalah pemimpin, bisa jadi ulama, tokoh adat dan bangsawan. Artinya produksi pemimpin atau pemuka di provinsi ini adalah dari Kota Palu.
Istilah ini adalah istilah keadatan. Nilainya dianggap luhur oleh sebagian besar masyarakat di kota ini. Bila kemudian ada yang membumbuinya dengan kalimat yang antitesa, maka tentu masyarakat akan geram. Semisal apa yang telah disebut oleh Ketua PB PMII itu.
Lebih-lebih pernyataan itu cacat secara faktual. Frasa “katanya bumi tadulako pusat radikalisme” menunjukkan keengganannya mencari data. Bahkan sebab dari “katanya” itu, dijadikan sebagai latar belakang perhelatan terakbar kaum intelektual PMII. Sungguh tak masuk di akal.
Bila itu dikatakan di muka warga kampung, mungkin mereka masih bisa memendam kesal. Tapi bilamana itu disebut di hadapan tetamu mahasiswa PMII se-Indonesia, bahkan di hadapan orang nomor satu di negeri ini Bapak Presiden RI Joko Widodo, beserta menteri-menterinya, ini yang membuat warga tak terbendung.
Sebelum masuk ke pembahasan sensitif, baiknya berhati-hatilah. Tidak cukup kata-kata berintonasi halus. Bahasa yang baik bukan berarti lembut dalam bertutur. Tapi juga tahu bagaimana kondisi setempat, dan tahu apa konten yang tepat untuk masyarakatnya.
Sebagai Nahdliyin, pengikut mazhab Syafi’I, tentu tahu bagaimana Imam Syafii sangat menjunjung tinggi bahasa dan adat. Setiap beliau merantau ada dua pokok yang beliau dalami yaitu bahasa dan budaya. Dari ketauladanan Imam Syafiri itulah, hingga saat ini ulama yang berasal dari Yaman diterima di Nusantara ini karena menghargai budaya. Imam juga seorang yang paling ketat menjaga adab, bahkan mendengar kata adab saja tergetar tubuhnya.
Sepintar-pintarnya kita, adakalanya Lisan mengucapkan kata yang tak sebagaimana maksud hati kita. Pesan yang mungkin yang kita sampaikan sesungguhnya luhur, tapi faktanya, pesan itu diartikan berbeda oleh khalayak. Retorika, kecerdasan, karisma pun hilang seketika, bila tidak dibarengi dengan kehati-hatian pada adab. Maka jadikanlah ini sebagai pembelajaran besar bagi pribadi yang sudah terlanjur salah dalam berbicara. Bertanggung jawablah walau sekadar maaf. Sekalipun itu sulit menghilang rasa sakit hati, tapi paling tidak selesai satu perkara dalam beradab di tanah orang.(Nurdiansyah)