OLEH : Edi Lukito*
Menjelang Pemilu Serentak 2024, fenomena politik dinasti kembali hangat diperbincangkan.
Perbincangan mengenai politik dinasti mencapai klimaks ketika Gibran Rakabuming Raka (putra pertama Presiden Joko Widodo) resmi dideklarasikan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Pun, sebelumnya Gibran Rakabuming Raka telah menjadi Wali Kota Solo melalui Pilkada 2020 yang disinyalir menjadi awal mula praktik politik dinasti yang dilakukan Presiden Joko Widodo
Politik dinasti atau politik keturunan merupakan salah satu gejala dari neopatrimonialistik.
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, dinasti politik sudah lama berakar secara tradisional berupa sistem patrimonial dengan mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit sistem dalam menimbang kualitas seseorang.
Politik dinasti disebut neopatrimonial karena terdapat unsur patrimonial lama, namun dengan strategi yang baru. Bedanya, pada zaman dahulu pewarisan ditunjuk secara langsung, sedangkan sekarang melalui jalur politik prosedural. Seperti anak atau keluarga para elite terjun ke partai politik yang telah disiapkan oleh dan untuk mereka.
Sehingga melalui pembacaan pada paradigma neopatrimonial, politik dinasti merupakan perbuatan memanfaatkan jabatan untuk memberi keuntangan bagi dirinya, keluarganya dan kroni-kroninya.
Kemudian keadaan seperti itu akan menumbuhkan perbuatan korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Politik dinasti yang dekat dengan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasan cenderung masih disikapi secara permisif, utamanya dikalangan masyarkat biasa. Minimnya pengetahuan mereka mengenai politik dinasti menjadi penyebanya.
Selain itu, politik dinasti masih disikapi secara permisif disebabkan masih kuatnya rasa primordialisme atau loyalitas yang berlebihan kepada agama, suku, ras, keluarga dan kerabat.
Laku primodialisme dilakukan dengan mengeksploitasi isu-isu keagamaan, kesukuan dan sejenisnya sebagai komoditas politik yang menyebabkan munculnya sikap mengutamakan kepentingan suatu kelompok, ras, agama atau suku tertentu.
Sikap primordial, menjebak masyarakat ke dalam pola pikir yang cenderung tertutup serta sulit menerima pilihan baru, meski pilihan itu menjanjikan perubahan ke arah lebih baik.
Dalam konteks politik lokal, situasi itu dimanfaatkan oleh para politisi untuk membangun dinasti politik. Maka, dinasti-dinasti politik cenderung selalu menjual politik identitas dalam setiap aktivitas politik praktisnya.
Apabila politik dinasti terus dilanggengkan dan dianggap normal, maka akan memberi dampak buruk bagi iklim pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia.
Dampak buruk tersebut diantaranya: Pertama, dinasti politik hanya melanggengkan kekuasaan bagi segilintir orang, atau segelintir keluarga.
Partai politik yang bertindak sebagai corong kaderisasi pemimpin lebih mengutamakan popularitas dan kekayaan dibandingkan kader partai yang memiliki kapabilitas. Sehingga muncul calon-calon pemimpin yang instan dari kalangan keluarga petahana, selebriti dan pengusaha.
Kedua, dinasti politik tidak memberi ruang kepada orang lain yang lebih kompeten untuk bergabung ke dalam partai atau pemerintahan. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha semata, sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Ketiga, sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi yang baik dan bersih. Pemimpin negara atau daerah yang ingin melestarikan kekuasaannya dengan membangun dinasti politik akan menempatkan keluarganya pada lembaga yudikatif yang berfungsi mengontrol kekuasaan pemerintahan seperti MK. Sehingga kemungkinan terjadi penyimpangan kekuasaan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin terbuka lebar.
Keempat, politik dinasti menjadi hambatan mewujudkan demokrasi substansial yaitu kesejehteraan. Para pemimpin produk dinasti politik kebanyakan, tidak memiliki kepekaaan pada persoalan masyarakat kecil, sehingga cita-cita kesejehteraan sulit terwujud. Pun, demokrasi saat ini hanya sekadar dijadikan alat legitimasi kekuasaan.
Pada pemilu, pilkada, pilpres para elit politik hanya berkutat pembahasannya pada isu siapa yang akan dicalonkan untuk merebut suara, sehingga sanak kerabat dari pemerintahan yang berkuasa jamak dijadikan objek rekrutmen, sebab mereka telah memiliki pengaruh dan mendapat dukungan dari masyarakat melalui sanak keluarga lainnya yang telah berkuasa lebih dulu.
Dampak buruk praktik politik dinasti di atas, mendorong upaya untuk menghentikan atau membatasi praktik ini. Namun, upaya ini sangat sulit dilakukan. Sebab pembatasan dan pelarangan praktik politik dinasti bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).
Pasal 21 angka 1 dalam deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. Kemudian banyak aturan turunan tentang HAM di Indonesia yang menyatakan hal demikian.
Dalih melanggar HAM pernah dilakukan untuk pembatalan regulasi yang membatasi politik dinasti oleh anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 2014- 2019, Adnan Purichta Ichsan, ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 silam.
Waktu itu ia menggugat Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang memberi syarat bagi para calon pemimpin daerah agar tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana. Pasal ini akhirnya dibatalkan oleh MK dengan alasan yang harusnya dibatasi adalah laku petahana itu, bukan keluarga dan kerabatnya.
Akhirnya, perlu upaya yang lebih serius dan berani untuk memutus rantai politik dinasti yang telah menjadi endemi di Indonesia.
Penyikapan permisif terhadap praktik ini karena minimnya pendidikan politik, masih kuatnya rasa primordial, serta alasan menenatang HAM menjadi tantangan besar bangsa untuk bersih dari praktik politik dinasti yang menyulitkan mendapatkan kesejahteraan.
Harapan terbesar kita berada pada elit politik, apakah mereka ingin membatasi sendiri praktik ini. Atau menunggu regulasi yang berani dan tegas membatasi petahana untuk melakukan cawe-cawe politik bagi keluarga dan kerabatnya.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo