OLEH : Edi Lukito*
Joseph Stiglitz mengatakan, “Tidaklah benar jika gelombang pasang selalu menggerakkan semua perahu. Yang lebih sering terjadi, terutama ketika badai, gelombang pasang menghepas perahu-perahu kecil ke pantai, luluh lantak hingga berkeping-keping ” (2022).
Kalimat tersebut menyinggung usaha brutal dalam upaya peningkatan ekonomi. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin terhempas, hancur berkeping-keping. Indonesia utamanya, berbeda dengan negara lain. Jika negara lain merdeka untuk kebebasan dan kemakmuran, Indonesia merdeka untuk kesetaraan dan kemakmuran.
Setelah 76 tahun kemerdekaan, hilal cita-cita kemerdekaan itu tak kunjung nampak. Rintihan kesedihan di bawah ruang reruntuhan pembangunan kerap tidak dengar dan terlihat. Cerita manis keberhasilan, nampak lebih menarik, membuat orang-orang sulit melihat kenyataan.
Lumbung demokrasi, hanya sebatas gimik untuk melegitimasi kekuasaan. Lantas, akan kepada siapa negeri ini tergadaikan? Akan dibawa ke mana harga diri negara ini, yang katanya adalah “negara demokrasi” (?)
Menjelang puncak pesta demokrasi yang sebentar lagi digelar, pembahasan seputar kembali muncul kepermukaan.
Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan di Yunani sekitar 500 tahun SM oleh filsuf ternama Plato. Serapan kata Democratia terdiri dari dua kata Demos berarti Rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.
Plato memaknai demokrasi sebagai sebuah paham bahwa negara harus dipimpin oleh para filsuf, dengan keyakinan bahwa hanya filsuflah yang mampu melahirkan gagasan-gagasan serta menilai antara yang baik dan buruk untuk masyarakat.
Kemudian, paham demokrasi berkembang menjadi sistem pemerintahan yang memberikan partisipasi kepada rakyat dalam mengelola, dan mengambil kebijakan untuk negara. Athena menjadi negara yang saat itu memberikan kesempatan bagi seluruh warga untuk menjadi pemimipin dan memilih pemimpinnya sendiri.
Sistem ini berjalan dua abad lamanya, dimulai sekitar tahun 507 sebelum masehi. Sampai akhirnya, Athena tunduk di bawah kekuasaan Macedonia yang menganut sistem monarki pada tahun 321 sebelum masehi.
Hingga akhir masa renaissance (masa pencerahan di Eropa pada abad ke-14 sampai abad ke-17) muncul berbagai pemikiran yang menyoal kebebasan publik, serta relasi antara negara dan rakyat. Lahir para pemikir, seperti Nicollo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Jean Bodin, dan lain-lain.
Hingga demokrasi pada masa ini menemukan wujud konkrit sebagai sebuah sistem politik yang mendasarkan pada pilar-pilar kemerdekaan individu, kesamaan hak, serta kebebasan dalam memilih dan dipilih. Lahir pula gagasan mengenai konstitusi, sebagai alat dalam menegekan sistem demokrasi.
Dengan kata lain konstitusi menjamin hak-hak kebebasan serta kemerdekaan individu, serta digunakan untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
Pada era modern, demokrasi menjadi cita-cita bagi kebanyakan negara dunia. Hingga muncul kesan bahwa negara yang paling baik, adalah negara dengan nilai demokrasi yang baik. Bahkan, negara yang masih menggunakan bentuk monarki, dalam pemerintahannya, tetap berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Setiap negara memilih sistem demokrasi karena dianggap mampu mencegah tumbuhnya pemerintahan otakratis yang licik, mencegah peperangan antar warga negara, menjamin hak asasi bagi warga negara, serta diyakini dapat membawa kemakmuran dan mencegah ketimpangan bagi masyarakat dan negara.
Alasan itu yang kemudian melatarbelakangi Indonesia sejak awal kemerdekaan, selalu menjunjung nilai-nilai demokrasi.
Meski sempat merasakan tekanan di bawah rezim otoritarian, Indonesia kembali dengan semangat demokrasi, setelah dilakukan demo besar-besaran oleh masyarakat. Di bawah kepemimpinan singkat Bj. Habibie diletakan dasar-dasar utama demokrasi, seperti dibuat undang-undang tentang pemilihan umum, dibebaskannya para tahanan orde baru (para pejuang keadilan), ditegaskan kembali undang-undang tentang HAM, serta diberikan kebebasan pada pers.
Setelah itu, untuk pertama kalinya pada tahun 2004 Indonesia mengadakan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Hingga sekarang Indonesia merangkak pelan-palan menuju kesempurnaan demokrasi.
Meskipun demokrasi menjadi sebuah sistem dan nilai yang banyak dijunjung oleh banyak negara. Demokrasi tidak menjajikan kesejahteraan. Ada beberapa kekurangan dari demokrasi:
Pertama, lahir pemimpin yang tidak berkualitas dan berpengalaman. Hal ini senada dengan kritik Aristoteles terhadap demokrasi, baginya demokrasi akan melahirkan mobokrasi atau kepemimpinan yang dipegang oleh orang yang tidak berkualitas, hanya akan membawa kepada kekacauan.
Oleh karena itu, kebebasan yang diberikan kepada rakyat untuk memilih pemimpin, harus dimanfaatkan dengan baik oleh para rakyat. Dengan memperhatikan aspek kelayakan orang yang akan ia pilih. Bukan memilih hanya karena hubungan kekerabatan (nepotisme), apalagi hanya karena uang sogokan semata (politik uang).
Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk memberikan politik bagi masyarakat, agar mereka mampu menentukan pilihan dengan bijak, tidak mudah diintervensi, dan sadar akan kewajibannya sebagai warga negara.
Kedua, kekuasaan akan digunakan secara sewenang-wenang, dengan bermain-main pada konstitusi yang merupakan alat pembatas kebebasan dalam sistem demokrasi.
Oleh karena itu, konstitusi harus sangat dijunjung oleh para rakyat, khususnya bagi para penguasa dan para pejabat pembuat konstitusi itu. Jangan mengalihkan makna konstitusi sebagai pembatas kebebasan, menjadi alat pelanggeng kekuasaan. Sehingga sangat penting, negara dijalankan dengan menjujung tinggi etika.
Ketiga, sulit mencapai kestabilan. Di dalam demokrasi masing-masing orang memiliki hak yang harus dihormati. Akibatnya sering terjadi pertengkaran antar individu dan individu, individu dan kelompok, serta antar kelompok dan kelompok dalam memperbutkan keadilan dan haknya. Tak jarang, individu yang memperjuangkan haknya malah dibunuh oleh kelompok penguasa.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Socrates dalam kritiknya “Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh.”
Oleh karena itu, negara yang menjujung tinggi demokrasi dalam sistem pemerintahannya harus mampu menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dengan humanis, serta terbuka pada kritik-dialog demi tercapainya kestabilan dan keamanan. Komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan harus ditingkatkan, demi terciptanya keadilan dan kesetaraan.
Demokrasi semenjak kemunculannya, menjadi sistem pemerintahan yang dapat mewakili cita-cita setiap warga negara. Ia muncul sebagai bukti kemajuan berpikir manusia modern, bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang harus dijunjung tinggi. Berbagai bentuk tindakan yang melemahkan demokrasi juga akan melemahkan sistem kenegaraan yang sudah lama dibangun.
Demokrasi bukan hanya tentang rakyat memilih pemimpinnya sendiri. Namun, demokrasi juga tentang hak seluruh rakyat untuk memperoleh keadilan. Jangan sampai demokrasi mati di tanahnya sendiri, oleh orang-orangnya sendiri yang sudah terlanjur nyaman oleh ilusi keberhasilan.
*Penulis adalah Mahasiswa Al-Azhar Kairo