Tak terasa kita selalu bekerja dari pagi hingga malam. Saban hari kita melakukan itu.  Kadang kita lelah memeras keringat demi mencari sebutir berlian dan sesuap nasi, demi kelangsungan hidup kita.

Harta yang kita cari juga demi mendapatkan kemudahan, keberhasilan, kesuksesan, serta mencapai kemuliaan dalam hidup ini.

Mengejar kekayaan, mencari ilmu pengetahuan, meraih jabatan dan kekuasaan, seolah telah menjadi kewajiban dan cara hidup orang-orang di zaman sekarang.

Tak bisa dihindari ada banyak kebutuhan kita di dunia ini. Namun, kemuliaan hidup itu tidak hanya dilihat dari segi materi. Setiap manusia mulia dan sama derajatnya di hadapan Allah SWT. Entah itu seorang direktur, selebriti, ulama, dan pengemis sekalipun.

Dari situlah, bahwasannya tidak alasan bagi setiap umat untuk saling menghina, saling merendahkan, bahkan saling membunuh.

Segala aktivitas kita yang bersifat duniawi itu terkadang membuat kita lupa akan urusan ukhrawinya. Kita sibuk mengejar materi sebagai bekal hidup di dunia sementara bekal untuk di akhirat kita lupakan.

Sebagai muslim, mulai sekarang marilah kita seimbangkan antara hidup kita di dunia dengan bekal kita untuk kehidupan selanjutnya yang tentu saja lebih kekal, yaitu akhirat. Dan tentu saja, bekal untuk akhirat itu kita capai dengan sebaik mungkin sesuai dengan petunjuk Allah swt (Al Quran) dan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Kemuliaan seseorang dapat diukur dari seberapa besar hati terpaut kepada Allah. Baginya, apalah artinya dikenal orang tapi hati tidak mengenal Allah.

Apalah artinya Allah memberikan banyak rezeki tapi hati miskin dari memberi. Apalah artinya oranglain merindukannya tapi hati tidak merindukan Allah. Apalah artinya ditolong Allah tapi ia jarang menolong hamba Allah.

Sehingga harta, rupa, popularitas terlalu murah untuk dijadikan tolok ukur kemuliaan. Lalu, bagaimana cara menggapai kemuliaan itu?

Hal pertama yang bisa kita lakukan adalah bertanya kepada diri,seberapa banyak dalam sehari semalam hati ini mengingat-Nya. Saat kita bangun, makan, berjalan, tidur, apakah yang diingat Allah? Di saat ditimpa kesenangan dan kesulitan, apakah yang diingat Allah?

Dalam hal ini, hati menjadi sarana mulia atauhinanya kedudukan manusia di sisi Allah.

Seperti halnya sabda Rasulullah Saw,“Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi-Nya, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Maka sesungguhnya Allah menempatkan hamba-Nya, sebagaimana hamba itu menempatkan Allah dalam hatinya.”

Kedua, muncul dalam diri kesenangan untuk “menyenangkan”Allah. Di saat mendengar adzan, segera menyambutnya dan bergegas pergi ke “rumah-Nya”.

Ia tahu bahwa salat berjamaah sangat disenangi Allah. Begituhalnya dengan tahajud yang dilakukan. Walaupun sedang nyenyaknya tidur, tapi saat itu adalah saat yang disenangi Allah, maka segera bergegas menunaikannya. Kesenangan kita “menyenangkan” Allah itu merupakan indikasi mendapatkan kedudukan di sisi-Nya.

Ketiga, kegigihan menjalankan ketaatandan kegigihan menghindar dari kemaksiatan. Kita meyakini adanya makhluk yang senantiasa mengganggu, menghalangi berbuat baik. Baik yang berwujud maupun yang ghaib, yang menyebabkan niat menjadi tidak lurus. Untuk itu, kegigihan diperlukan untuk menangkalnya.

Ciri lain seseorang yang mendapatkan kedudukan di sisi Allah adalah dirasakan manfaatnya di mata manusia. Kedudukan di mata Allah dan di mata manusia tidak ada bedanya. Sama-sama dimuliakan.

Saudaraku, Allah telah memberikan keleluasaan bagi hamba-Nya untuk memperoleh kemuliaan hidup. Tinggal tujuannya, apakah yang diharapkan kemuliaan dari Allah SWT atau kemuliaan dari manusia?

Demikianlah, selain kita mengejar hal-hal penting yang bersifat duniawi, ada baiknya kita isi hidup ini dengan amal ibadah. Insya Allah hidup kita tidak akan sia-sia karenanya. Kita gunakan umur yang kita miliki ini untuk mempersiapkan diri kita di akhirat nanti. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)