Djusna Rante lahir dan besar di Palu, ia membuktikan sebuah narasi bahwa pendidikan ibarat berdansa, orang-orang harus berpegangan tangan untuk mencapai tujuan.
Tidak harus sarjana pendidikan atau yang memiliki latar belakang ilmu keguruan. Siapa pun dapat mengambil peran untuk pendidikan di Indonesia.
Djusna (31), perempuan asal Palu yang sudah lima bulan menjadi guru pedalaman di Pulau Timor, tepatnya di Desa Manumean, Kecamatan Biboki Feutleo, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dari Kota Kupang dibutuhkan waktu kurang lebih lima jam dengan menggunakan bus atau mobil ke ibu kota Kabupaten TTU, Kota Kefamenanu. Dari jantung Kota Kefamenanu menuju Desa Manumean dihabiskan waktu sekitar dua jam.
Djusna mengakui jarak yang cukup jauh dari desa penempatan ke Kota Kefamenanu, membuatnya juga rekannya memilih ke Kota Atambua, (ibu kota Kabupaten Belu) untuk mengakses berbagai hal, seperti belanja kebutuhan mengajar dan lainnya.
Djusna adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Mereka tinggal di Kelurahan Tatura Utara. Ia bergabung dengan Yayasan Tangan Pengharapan (YTP) dan mengajar di kelas satu mata pelajaran Matematika dan Bahasa di SDK Manumean.
Sore hari, Sarjana Komputer STIMIK ADHI GUNA itu memberikan les calistung (baca, tulis, hitung) kepada anak-anak.
Kepada awak media ini, Djusna yang notabene bukan alumni sekolah keguruan, mengungkap alasannya bergabung dengan YTP, sebuah Organisasi Non Pemerintah atau NGO (Non-Government Organization), karena melihat keseruan aktivitas guru dan anak-anak di pedalaman.
Setelah bergabung dengan lembaga yang menaungi aktivitasnya sebagai guru pedalaman, Djusna dapat membantu anak-anak di pedalaman untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Lembaganya juga memberikan makanan tambahan bergizi setiap tiga pekan sekali kepada para murid.
“Memang tidak mudah untuk tinggal dan hidup di pedalaman, apalagi kita yang terbiasa dengan semua hal yang bisa kita dapatkan di kota. Tetapi saya sangat ingin merasakan pengalaman tersebut, dan nilai plusnya saya bisa mendatangi daerah-daerah yang belum pernah saya datangi, seperti di Manumean ini,” terang Djusna, Rabu (29/11).
Perempuan berkaca mata tersebut kerap membagikan keseruan aktivitasnya bersama murid-muridnya di cerita WhatsAppnya.
Tetapi di luar media social, ia mengaku mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar tersebut. Pasalnya ia bukanlah lulusan sarjana pendidikan, meski sebelum turun ke desa, mereka dibekali dengan pelatihan di Jakarta dengan durasi yang cukup singkat, kurang lebih satu bulan.
Untuk mengatasi masalah itu, Djusna selalu belajar setiap hari guna menjadi tenaga pendidik yang baik. Ia mencari referensi melalui buku dan mencoba mengakses internet, di tengah keterbatasan jaringan internet. Cara mengajar kreatif selalu dipelajarinya, terlebih siswanya masih banyak yang belum mengenal huruf.
Mengajar kreatif, ujar Djusna, bukan semata agar ia berhasil keluar dari kesulitannya sebab bukan seorang sarjana pendidik. Melainkan agar para siswa senang dalam belajar dan dapat menerima materi yang ia sampaikan.
“Saya belajar banyak hal, mempersiapkan banyak hal juga. Karena seru sekali melihat anak-anak antusias dalam belajar. Antusiasnya mereka menjadikan proses belajar mengajar menjadi cukup baik, meski kadang-kadang membuat kelas berisik karena kelincahan dan semangat mereka. Anak-anak senang sekali diajak melakukan sesuatu daripada belajar teori, seperti membuat kerajinan tangan, menggambar, membuat kue, dan lainnya,” lanjutnya.
Djusna Rante yang pernah tergabung dalam Wahana Visi Indonesia pascagempa di Palu, Sigi dan Donggala, mengakui sempat mengalami shok culture di daerah bekas jajahan Belanda ini.
Kebiasaan masyarakat ketika bertemu yaitu berciuman hidung (hidung ketemu hidung) sebagai bentuk sapaan khas, membuatnya kaget, juga budaya berdansa dan Tebe untuk acara apapun seperti acara syukuran, pernikahan, syukuran pindah rumah dan lain sebagainya.
Tebe adalah tarian luapan kegembiraan dan kesyukuran, pria dan wanita bernyanyi bersahut-sahutan sambil bergandeng tangan.
“Alam NTT sangat membuat saya takjub, karena saya berada di tempat yang terbilang cukup tinggi, setiap pagi dan sore saya bisa menikmati keindahan alam berupa sunrise dan sunset. Kalau cuaca, di sini, saya tidak ada kendala, karena cukup panas saat siang hari, kurang lebih hampir sama dengan Palu,” ujar Djusna yang rindu dengan masakan khas Kota Kelor.
Selama proses mengajar, di sekolah tempat Djusna bertugas sudah menggunakan kurikulum merdeka, tetapi belum seluruhnya. Guru-guru masih menggunakan buku-buku lama sebagai bahan ajar.
Di Pulau Timor, Djusna sesunguhnya telah mengajar di dua sekolah dalam waktu lima bulan ia berada di TTU. Sebelum di SDK Manumean, ia mengajar di SDN Kecil Nopen, Desa Kotafoun, Kecamatan Biboki Anleu.
“Kami pindah ke sekolah lain kalau sudah banyak guru. Di SDN Kecil Nopen, sudah sekolah negeri, sudah dapat guru P3K. Jadi gurunya sudah banyak dan kami sudah tidak dapat jam mengajar di pagi hari,” terangnya.
YTP mengharuskan para guru mengajar minimal 6 jam pelajaran dalam sehari. Saat ini mereka berfokus ke sekolah-sekolah swasta.
Reporter : Iker
Editor : Rifay