MOROWALI – Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Industri, melakukan aksi blokade jalan koridor kawasan Indonesia Huabao Industrial Park, Rabu (13/09).

Mereka menuntut pihak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan nikel itu, untuk patuh terhadap praktik usaha bisnis yang secara peraturan berlaku, serta menjalankan tanggungjawabnya.

Baoshua Taman Industry Invesment Group (BTIIG) merupakan salah satu perusahaan berada di Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, industri yang berbasis feronikel, serostil, dan proyek energi baru,  telah menambah deretan masalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan, khsususnya di Kabupaten Morowali.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang tengah terjadi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT BTIIG, dalam perjalanannya ditengarai telah banyak mengadirkan masalah. Diawal perusahaan ini beroperasi, terdapat 14 hektare lahan warga diserobot, yang pada akhirnya harus menyeret warga pada proses hukum.

Salah satau aktivis Aliansi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Industri, Imran mengatakan, pada maret 2023 lalu, sengkarut izin yang berbuntut penyegelan oleh Kementrian LHK juga menjadi fakta bahwa perusahaan ini beroperasi syarat dengan pelanggaran. Pasalnya PT BTIIG melakukan aktifitas pembangunan dermaga (Jetty) dengan melakukan reklamasi tanpa mengantongi izin dan dokumen persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) yang telah disyaratkan.

“Sampai dengan hari ini, masyarakat masih  melakukan aksi di wilayah kawasan Industri tersebut. Karena dampak yang diduga ditimbulkan dari  kegiatan  kawasan industri ini, menyebabkan wilayah persawahan warga seluas 40 hektare tergenang air, diduga dampak dari pembuangan jalan houling dari kawasan industri,” kata Imran.

Selain areal persawahan, masyarakat yang masih mempertahankan mata pencariannya sebagai nelayan,  juga harus terdampak, karena dari kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan diduga memberikan dampak kepada 30 an perahu nelayan yang berdampingan dengan kawasan industri.

“Kami menilai bahwa perusahaan BTIIG telah melanggar berbagai ketentuan dan peraturan yang berlaku, mulai dari proses perizinan yang tidak sesuai dengan prosedur dan memaksakan perusahaan beraktivitas tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan,” tegas Imran.

Lanjut Imran, alih-alih Investasi yang untuk mendorong keuntungan fiskal yang selalu digaung-gaungkan oleh Pemerintah Provinsi Sulteng, dan Pemerintah kabupaten dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), seperti kegiatan-kegiatan  pertambangan yang berlangsung di Wilayah Kabupaten Morowali, Justru, berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan, yang hanya menggusur wilayah-wilayah Produksi Masyarakat setempat, tempat dimana investasi itu berada.

Senada dengan hal itu, Kepala Department Advokasi WALHI Sulteng, Aulia Hakim juga menyatakan, praktik kerja industri pertambangan yang dibanggakan pemerintah, telah terbukti bukanlah jawaban atau keinginan rakyat.

“Dimana ada tambang, di situ pula ada bencana, pemerintah harusnya lebih responsive dan aktif menindak tegas perusahaan-perusahaan yang tidak patuh terhadap aturan dan merugikan rakyat,” tegas Aulia Hakim.    

Adapun proses aktifitas yang tengah dikerjakan oleh PT BTIIG ini, tengah mulai membangun kawasan pengelolahan bijji nikelnya di Morowali sejak penghujung 2021 lalu. Menurut rencana, kawasan PT BTIIG ini akan dibangun di atas area seluas 7.187 hektare. Area tersebut meliputi pula wilayah desa Ambunu, Topogaro, dan desa Tondo di Kecamatan Bungku Barat, Morowali.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, melalui Kordinatornya, Moh Taufik mengatakan, jangan sampai keuntungan yang digaung-gaungkan, hanya membuat buntung masyarakat yang ada di lingkar kawasan industri itu berada. Pemerintah harusnya bisa memberikan sanksi tegas, jika kegiatan-kegiatan pertambangan dari hulu sampai hilir, memberikan dampak buruk bagi masyarakat setempat.

“Sehingga Cerita – cerita dampak yang dirasakan oleh masyarakat yang berhadap-hadapan dengan dampak kawasan industri, sebaiknya menjadi perhatian serius oleh pemerintah provinsi dan kabupaten, untuk mendorong atau mengevaluasi kembali izin-izin yang diberikan untuk kegiatan kawasan industri ini,” tegas Taufik.

Berikut butir-butir point yang menjadi tuntutan Aliansi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Industri.

1. Perusahaan BTIIG harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang terkena dampak debu sebesar 500rb/jiwa serta menyediakan ambulance di tiga desa Topogaro, Tondo Ambunu.

2. Perusahaan BTIIG harus segera menyediakan tong sampah serta menyediakan TPS, mobil sampah, dan pembuangan akhir yang sesuai dengan standar lingkungan.

3. Perusahaan BTIIG harus segera mengembalikan jalur air yang terganggu oleh pembuangan jalan houling perusahaan. Saat ini 40 hektar sawah warga tergenang air akibat aktivitas perusahaan.

4. Perusahaan BTIIG harus bertanggung jawab terhadap 30 perahu nelayan warga desa Tondo yang rusak akibat aktivitas reklamasi perusahaan.

5. Perusahaan BTIIG harus melakukan penanaman kembali mangrove yang digusur oleh perusahaan.

6. Kami meminta agar perusahaan lokal, koperasi, BUMDES, Perusda Morowali dan Perusda Provinsi diberi kesempatan sebagai mitra bisnis perusahaan sehingga daerah memperoleh nilai tambah dari investasi.

7. Perusahaan BTIIG harus memberikan prioritas kepada pekerja lokal dalam hal kesempatan dan posisi tertentu.

8. Perusahaan BTIIG harus mencabut larangan jual beli dan sewa kos untuk karyawan sebagai sumber penghasilan warga. Sebagaimana janji awal perusahaan bahwa warga yang melepaskan tanahnya dapat membangun kos sebagai sumber penghasilan.

Editor : Yamin