OLEH: Rukhedi*

Apakah nikel dan cabai rawit ada hubungannya? Tentu saja tidak ada hubungan langsung kedua komoditas tersebut. Namun sebagai komoditas penting untuk wilayah Sulawesi Tengah, kedua komoditas tersebut telah menjadi isu nasional bahkan global.

Cabai rawit menjadi komoditas penting secara nasional karena andil yang cukup besar terhadap inflasi. Gerakan tanam cabai di berbagai daerah di Indonesia telah digalakkan pemerintah daerah dengan berbagai strategi. Bahkan untuk menghadapi dampak El-Nino, secara khusus Menteri Dalam Negeri mendorong pemerintah daerah untuk terus melakukan gerakan tanam, termasuk tanaman cabai rawit dan cabai merah.

Sedangkan nikel merupakan komoditas yang merupakan tren global dalam pemenuhan bahan baku industri dengan teknologi terkini seperti kendaraan listrik, peralatan rumah tangga, bahan konstruksi dan berbagai produk baja lainnya.

Komoditas nikel menjadi isu nasional karena pro kontra investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam ini beriringan dengan kekhawatiran terhadap menipisnya ketersediaan cadangan, untung rugi bagi masyarakat dan dampak terhadap kerusakan lingkungan.

Menurut Kementerian ESDM, cadangan nikel berkadar tinggi (saprolite) di dalam negeri hanya bisa bertahan untuk sekitar 10-15 tahun, tergantung pada konsumsi serta penemuan cadangan baru dari eksplorasi, serta pada pemanfaatan nikel kadar rendah (limonite).

Sedangkan dari sisi untung rugi bagi masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator seperti peran nikel dalam ekspor nasional, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan.

Industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah mempunyai kontribusi yang besar terhadap ekspor nasional. Di luar nikel mate, tembaga, dan mangan, ekspor besi baja sepanjang tahun 2022 mencapai 12,47 miliar USD atau sekitar 43.78 persen dari ekspor besi baja nasional yang mencapai 28.48 miliar USD. Sampai dengan Juni 2023, ekspor besi baja dan logam dasar lainnya dari Sulawesi Tengah telah mencapai lebih dari 8.2 miliar USD.

Kebijakan hilirisasi secara nasional di satu sisi telah mendorong pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang semakin ekspansif.

Sejak pelarangan ekspor bijih nikel pada akhir tahun 2019, pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Tengah terus meningkat dari 4.86 persen pada tahun 2020, 11.70 persen pada tahun 2021 dan 15.17 persen pada tahun 2022. Sampai dengan semester 1-2023, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah mencapai 12.49 persen.

Dalam perspektif tingkat kesejahteraan, penurunan angka kemiskinan tidak berjalan seiring dengan ekspansi perekonomian karena dorongan industri nikel.

Pada bulan Maret 2020, persentase penduduk miskin Sulawesi Tengah sebesar 12,92 persen, naik menjadi 13,00 persen pada Maret 2021 sebagai dampak pandemi Covid-19. Angka kemiskinan kembali naik menjadi 12.41 persen pada Maret 2023 setelah turun menjadi 12.33 persen pada Maret 2022.

Angka kemiskinan yang diukur berdasarkan garis kemiskinan dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas, termasuk cabai rawit. Cabai rawit memberikan kontribusi sekitar 2 persen terhadap garis kemiskinan Sulawesi Tengah.

Demikian pula dalam pembentukan inflasi, cabai rawit mempunyai peran karena konsumsi masyarakat terhadap komoditas ini cukup besar. Oleh karena itu, jika pendapatan masyarakat tidak berubah, kenaikan harga cabai rawit dapat mendorong  terjadinya inflasi dan mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan.

Produksi cabai rawit Sulawesi Tengah pada tahun 2022 tercatat sebanyak 229.408 kuintal. Harga rata-rata cabai rawit di tingkat produsen sebesar 4.168.630 rupiah per 100 kilogram, sehingga nilai produksi cabai rawit di tingkat produsen sebanyak 956,3 milyar rupiah.

Dengan memperhatikan rasio biaya antara, nilai tambah yang dihasilkan bagi petani lebih dari 750 milyar rupiah. Angka ini tentu masih jauh dari nilai tambah yang dihasilkan oleh nikel.

Kenaikan harga cabai rawit sekitar 6,3 persen pada tahun 2022 memberikan keuntungan tersendiri bagi petani yang mendominasi angka kemiskinan. Sedangkan inflasi gabungan Kota Palu dan Luwuk pada periode tersebut tercatat sebesar 5,96 persen.

Alih-alih menekan harga cabai rawit yang berpotensi menekan keuntungan bagi petani, transmisi nilai tambah komoditas nikel nampak terhadap masyarakat tampaknya lebih prioritas. Terlebih komoditas nikel merupakan komoditas yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui, sedangkan cabai rawit merupakan produk yang dapat diperbaharui dan berkelanjutan.

Namun bukan berarti bahwa prioritas tersebut menafikan pentingnya komoditas cabai rawit, tetapi justeru diperlukan sinergi kebijakan untuk memaksimalkan keuntungan kedua komoditas bagi kesejahteraan masyarakat.

Dengan relasi anomali antara produksi nikel dengan kemiskinan, dan keterbatasan cadangan nikel yang seharusnya dapat memberikan nilai tambah yang tinggi bagi masyarakat, diperlukan kebijakan yang tepat dan cepat agar dapat berdampak kesejahteraan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, tentu saja banyak pengambil kebijakan yang harus terlibat.

Saat ini, di tengah tekanan terhadap harga komoditas nikel khususnya feronikel yang mencapai lebih dari 30%, moratorium pembangunan smelter nikel yang merupakan kewenangan pemerintah pusat adalah sebuah keniscayaan agar sumber daya alam yang terbatas tidak dibayar terlalu murah dalam jangka panjang.

Upaya tersebut dapat disertai dengan pembatasan ekspor dengan berbagai skema untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan dapat memberi ruang bagi berbagai pihak untuk melakukan konsolidasi dan perencanaan yang lebih baik.

Selain itu, sebagai negara dengan cadangan dan penghasil nikel terbesar di dunia, pemerintah sudah selayaknya memiliki peran penting dalam penentuan harga komoditas. Harga nikel yang layak dan stabil diharapkan dapat menjamin kepastian berusaha di tengah upaya hilirisasi produk.

Selain itu, hilirisasi perlu terus didorong dengan pemberian berbagai fasilitas untuk mempermudah iklim usaha domestik sampai menjadi produk akhir yang dapat dikonsumsi rumah tangga sehingga memberikan nilai tambah yang semakin tinggi bagi masyarakat.

Hal lain yang tidak dapat dikesampingkan adalah aktivitas ekonomi ikutan yang perlu di antisipasi pemerintah dan masyarakat sebagai dampak hilirisasi.

Kebutuhan tenaga kerja yang meningkat pesat memerlukan berbagai sarana dan prasarana penunjang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Investasi pada berbagai sektor, khususnya pertanian dan wilayah yang beragam juga perlu terus ditumbuhkan agar pada saat eksploitasi nikel semakin terbatas, masyarakat masih dapat terus menikmati kesejahteraan.

Akhirnya, kita tentu berharap nikel menjadi “sepedas” cabai rawit yang dirasakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

*Penulis adalah Statistisi BPS Provinsi Sulawesi Tengah