Dikisahkan, Abdullah bin Mubarak mempunyai suatu kebiasaan yaitu melaksanakan ibadah haji pada suatu tahun dan kemudian berperang fi sabilillah pada tahun berikutnya. Pada suatu kali, aku pergi ke pasar unta Kufah untuk membeli unta dengan membawa 500 dinar uang emas.

Di tengah perjalanan, aku melihat seorang perempuan yang sedang membersihkan bulu itik, sedangkan aku yakin bahwa bulu itik itu berasal dari itik yang sudah mati alias bangkai. Aku terperanjat, kemudian mendekatinya dan berkata, “Mengapa engkau melakukan hal ini?”

Dengan sigap si perempuan menjawab, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bertanya kepadaku tentang perkara yang tidak bermanfaat bagimu.”

Dari jawabannya, aku dapat memahami bahwa sesuatu telah terjadi dengannya. Mesti ada ‘apa-apanya’ dengan perempuan itu. Tak puas dengan jawaban sederhana itu aku mendesaknya dengan satu kali lagi pertanyaan, “Mengapa engkau melakukan itu?”

Akhirnya perempuan itu menjawab, “Wahai hamba Allah, aku terpaksa mengatakan sebuah rahasia kepadamu. Semoga Allah merahmatimu. Aku memiliki empat orang anak sedangkan ayah dari anak-anakku itu telah berpulang ke rahmatullah beberapa waktu yang lalu. Hari ini adalah hari keempat kami tidak memakan apa-apa. Oleh karena itu, adalah halal bagi kami untuk memakan bangkai dalam keadaan darurat seperti ini. Kemudian aku mengambil bangkai itik ini. Seperti yang engkau lihat, saat ini aku sedang membersihkannya untuk kuberikan kepada anak-anakku.”

Mendengar pengakuan polos itu aku bergumam pada diriku sendiri, “Celakalah engkau wahai Ibnu Mubarak, betapa senang keadaanmu dibanding orang itu.” Kemudian aku berkata pada perempuan tersebut, “Bukalah kantongmu.” Serta merta kumasukkan semua uang dinarku ke dalam kantong perempuan itu sedangkan ia terdiam dan tidak menoleh.

Aku berujar lagi kepadanya, “Kembalilah ke rumahmu dengan uang ini dan perbaikilah kondisi keluargamu.” Begitulah, Pada tahun itu Allah telah mencabut dari diriku keinginan untuk menunaikan ibadah haji dan aku segera kembali ke negeriku.

Tak lama setelah para jamaah haji pulang, aku menemui dan bertamu ke rumah beberapa orang kerabatku yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji. Sesama mereka saling berucap, “Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu.”

Namun sungguh aneh terdengar di telingaku ketika mereka juga mengatakan hal yang sama padaku, “Semoga Allah menerima hajimu dan membalas segala usahamu. Bukankah kami telah bertemu denganmu pada beberapa tempat ini dan itu pada waktu menunaikan ibadah haji itu ?”

Ya. Subhanallah, kebanyakan mereka mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku semakin tertegun dengan kenyataan ini. Kemudian dalam mimpiku aku melihat Nabi Muhammad SAW seraya berkata kepadaku, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau heran, sesungguhnya engkau telah menolong seorang yang sengsara dari kerabatku, maka aku meminta kepada Allah agar menciptakan seorang malaikat yang serupa bentuknya denganmu untuk menghajikanmu.”

Inilah buah keikhlasan, ketika orang beriman beribadah, baik ibadah yang wajib maupun sunnah dan dilakukan dengan ikhlas hanya karena Allah, pasti mereka meraih kecintaan Allah. Merekalah kekasih-kekasih Allah.

Disebutkan dalam hadits Al-Qudsyi“Jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya.”(HR Al-Bukhari)

Meraih kecintaan manusia. Ketika Allah sudah mencintai hamba-Nya, maka seluruh makhluk dapat digerakkan untuk mencintai hamba tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Jika Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, Allah memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.’ Jibril pun mencintai Fulan.

Kemudian Jibril memanggil penduduk langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan. Oleh karena itu cintailah Fulan.’ Maka penduduk langit mencintai Fulan. Kemudian ditetapkan baginya penerimaan di bumi.”Semoga kita mencontoh al-alim Abdullah ibnu Mubarak. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)