PALU – Dosen Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, didaulat menjadi salah satu pembicara pada kegiatan dialog publik Jaringan Pemilu dan Demokrasi (Jaripede) Sulawesi Tengah (Sulteng), beberapa hari lalu.

Pada kesempatan ini, Sahran tampil bersama sejumlah pembicara lainnya, termasuk Komisioner Bawaslu Sulteng, Nasrun.

Mantan Komisioner KPU Provinsi Sulteng ini memaparkan materi terkait “Keberagaman di Tengah Politik Electoral” dan lebih terfokus pada hubungan nilai agama dengan nilai demokrasi.

Menurut Sahran, agama dan demokrasi mempunyai kesesuaian. Agama secara teologis maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisasi politik,

“Keberadaan agama dapat menjadi roh sekaligus inspirasi bagi demokrasi. Banyak ajaran agama yang sangat relevan dengan ajaran demokrasi,” ungkap Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Sulteng itu.

Kata dia, kehadiran agama juga senantiasa membawa imbas pada perombakan struktur masyarakat yang dicekam oleh kekuasaan yang zalim dan otoriter menuju terwujudnya struktur dan tatanan masyarakat yang demokratis.

Ia juga mengemukakan bagaimana posisi agama dalam politik electoral, antara lain memberikan pencerahan keagamaan pada umat yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Selain itu, agama juga bisa menjadi perekat bagi sistem pluralisme demokrasi electoral.

“Agama sebagai inspirasi dalam politik electoral, bukan sebagai aspirasi,” tekannya.

Karena begitu eratnya hubungan agama dengan demokrasi, kata dia, maka hal ini juga tidak lepas dari bagaimana peran tokoh agama di dalamnya.

Menurutnya, peran tokoh agama menjadi sangat penting dalam penyampaian pesan pemilu karena mereka mendapat tempat yang tinggi dalam struktur sosial di Indonesia.

Kata dia, peranan tokoh agama dalam pendidikan politik dan partisipasi politik sangat strategis, karena agama diyakini memberikan fondasi nilai perilaku masyarakat.

“Mengekploralasi isu-isu pemilu dan demokrasi yang berpresfektif agama, dinilai bisa membantu kualitas pemahaman umat beragama terhadap pemilu,” jelasnya.

Ada beberapa basis pemilih keagamaan dalam demokrasi yang selama ini diorientasikan kepada tokoh-tokoh agama saja. Akibatnya, kata dia, jemaah berbagai agama di Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan tak sebanding dengan jumlah tokohnya, justru tidak tersentuh.

“Sosialisasi dan pendidikan pemilih tidak mengakar kuat. Informasi pemilu dan demokrasi hanya beredar di tataran elit keagamaan saja,” jelasnya.

Kondisi ini, kata dia, perlu diubah dari gerakan yang elitis menjadi gerakan popular. Distribusi dan konsumsi informasi kepemiluan dan demokrasi harus masuk ke dalam ruang kehidupan para jemaah.

“Untuk itu, penyelenggara pemilu harus dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan kelompok keagamaan agar dapat menggunakan forum-forum keagamaan seperti pengajian sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan pemilih,” katanya.

Sahran juga mengungkapkan adanya hasil survey LIPI yang berkaitan dengan keberadaan agama, di mana 80,7 persen responden masih mempertimbangkan agama para calon legislatif (caleg) yang akan mereka pilih dalam Pemilu 2019.

Sementara itu, 18,5 persen sisanya tidak mempertimbangkan hal tersebut. Selain itu, sebanyak 73,9 persen responden juga masih mempertimbangkan etnis dari caleg yang akan mereka pilih dan hanya 26,1 pereen yang tidak mempertimbangkannya.

Sahran pun mengungkapkan beberapa kekhawatirannya berkaitan dengan isu agama yang dibawa untuk kepentingan politik para elite. Menurutnya, agama terkesan dieksploitasi untuk mobilisasi politik.

Agama juga masih dijadikan sebagai formalisme politik dalam pemilu dan demokrasi. Dunia politik lokal dianggapnya telah dibawa segelintir elite ke arah pertarungan rasa

“Penggunaan simbol-simbol agama dalam kegiatan politik beberapa tahun terakhir terjadi lantaran praktik politik di Indonesia tak lagi mengedepankan nalar atau adu gagasan,” katanya.

Tak hanya itu, lanjut dia, isu toleransi dan kebhinekaan juga berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran segenap elit politik bangsa dan juga masyarakat akan pentingnya sikap saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan.

“Hal ini bisa kita lihat dengan munculnya pelabelan istilah tertentu seperti cebong, kadrun ataupun kampret kepada pendukung pasangan politik,” pungkasnya. (RIFAY)