Meski Sulawesi Tengah (Sulteng) adalah provinsi yang memiliki jumlah bahasa ibu terbanyak di wilayah Sulawesi berdasarkan Peta Bahasa Kemendikbud, namun ada yang terancam punah.
Momamad Sairin, Staf Pengajar Prodi Sejarah Peradaban Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama, Palu, dalam opini di salah satu surat kabar, menyebutkan beberapa bahasa ibu yang terancam punah di Sulteng, di antaranya bahasa Kaili dialek Ende, yang duhulu pernah digunakan di daerah Pewunu, Kecamatan Dolo Barat.
Namun sekarang, orang Ende beralih menggunakan Kaili Ledo. Bahasa Kaili dialek Lando hanya tersisa satu orang penutur di Dusun Raranggonau, Desa Pombewe.
Ada satu bahasa yang menurut Kepala Balai Bahasa Sulteng, Asrif, sudah sakaratul maut.
Berdasarkan informasi yang ia dapatkan, bahasa tersebut hanya menyisakan penutur berusia 50, bahkan 55 tahun keatas. Sementara putra dan putri mereka menggunakan Bahasa Bugis.
“Di daerah Pantai Barat, di Donggala itu saya diberi tahu bahwa ada bahasa Dampal, wallahu alam, saya lupa bahasa Dampal atau bahasa apa namanya, itu tinggal orang tua penuturnya. Itu yang saya katakan sakaratul maut karena ada jarak yang jauh. Itu terlalu berat. Tinggal nunggu mereka ini kapan meninggal maka saat itu innalillahilah bahasa itu,” ujar Asrif, saat ditemui awak media ini, Selasa (21/02).
Menurut Asrif, salah satu yang harus dilakukan untuk menyelamatkan bahasa tersebut adalah dengan sesegera mungkin menyusun kamus bahasa daerah.
“Segera dokumentasikan, mumpung mereka yang tua-tua ini masih hidup. Minimal untuk jaga-jaga, kalau kita mau latih anak-anak, bahan bakunya masih ada. Jangan sampai pas mau melatih, meninggal mereka. Bahan bakunya itu, segera catat, buatkan kamus, atau videokan mereka bercerita, rekam seluruhnya, itu dokumen untuk masa depan bahasa,” katanya.
Asrif melanjutkan, berdasarkan undang-undang, seharusnya seluruh daerah melindungi kebudayaannya dan menyusun kamus adalah bagian dari perlindungan kebudayaan itu.
Baginya, kebudayaan terbesar manusia, adalah bahasa. Bukan rumah adat, bukan tari-tarian, bukan pula kuliner.
“Kadangkala kita lupa bahwa ternyata hasil akal budi manusia terhebat itu adalah bahasa. Saya selalu mengatakan itu, kenapa? Rumah adat yang kita punya, kalau rusak atau punah, kita masih bisa merancang ulang, atau pakaian. Tapi ketika bahasa hilang, maka sulit untuk mengembalikan. Kira-kira fungsi kebudayaan apa yang bisa mengalahkan fungsi bahasa? Tidak ada. Penanda dia orang Banggai, karena punya bahasa Banggai. Coba tidak memiliki Bahasa Banggai, maka tidak ada orang Banggai,” terangnya.
Di perpustakaan Balai Bahasa Sulteng, saat ini ada lima atau enam kamus bahasa daerah, yakni Banggai, Kaili Tara, Kulawi, Pamona, dan kamus bergambar Kaili Ledo.
Awak media ini menemukan beberapa catatan tentang bahasa ibu, di antaranya catatan dengan judul “Morfologi Nomina dan Dialektika Bahasa Toli-toli tahun 1996/1997” yang diketik pakai mesin tik.
Ada juga catatan mengenai bahasa Bare (Pamona dialek Bare), Sastra Lisan Toli-toli, dan beberapa catatan lainnya, baik yang diketik pakai format Ms. Word maupun naskah lama menggunakan mesin tik.
Membahas tentang suku dan bahasa, Asrif juga bercerita tentang suku Andio yang mengusulkan bahasa Andio menjadi bahasa terpisah dari bahasa Balantak.
Dalam peta bahasa Nasional, Andio dianggap sebagai dialek dari bahasa Balantak. Tetapi beberapa bulan lalu, Bupati Banggai mengaku bahwa bahasa Andio adalah satu dari tiga bahasa yang ada di Banggai Raya. Dari Babasal, menjadi Babasalan (Banggai, Balantak, Saluan, Andio).
“Ketika saya diundang, maka saya dengan tegas mengatakan bahwa itu bukan bahasa. Apa yang menjadi dasar? Hasil penelitian kami, bahwa bahasa itu adalah sama atau berkerabat dekat dengan Balantak. Soal mana yang lebih tua, silakan di-suit, Andio lebih tua atau Balantak lebih tua,” kata Asrif.
Asrif memaparkan, timnya dari Balai Bahasa Sulteng mengatakan bahwa posisi Andio sangat rentan berada antara bahasa atau dialek. Andio berada di angka-angka yang geser sedikit datanya berubah jadi satu bahasa yang berbeda, digeser sedikit dia akan menjadi bahasa yang sama dengan Balantak.
Kepala Suku Andio sendiri pernah datang ke Balai Bahasa Sulteng, guna mencari titik temu untuk kejelasan Andio termasuk bahasa atau bukan.
Pihak Balai Bahasa menyerahkan data mereka tahun 2006 dan menyebutkan informan dari tokoh adat sebelumnya, yang sudah meninggal dunia.
“Saya minta mari kita pastikan bersama, karena kalau Andio adalah bahasa, kami pasti akui. Kalau bukan bahasa, mau apapun keluhan masyarakat, kami katakan bukan bahasa. Informan yang kami sebutkan itu, dikenal oleh kepala suku yang datang, juga dikenal oleh semua staf saya,” ujarnya.
Menurutnya, Informan Balai Bahasa Sulteng adalah tokoh, makanya ditunjuk untuk menjadi informan saat itu.
“Hanya mungkin dugaan mereka, beliau itu beristrikan orang Balantak, sehingga diduga kuat, kosa kata yang disampaikan itu dicampur dengan bahasa Balantak. Maka ketika kami analisis, yang muncul adalah berkerabat dengan Balantak,” terang Asrif.
Sebagai solusi, Asrif memberikan kuesioner kosong dan kuesioner asli (kosa kata yang merujuk pada hasil penelitian tahun 2006) untuk dikoreksi ketua adat dan orang Andio.
Jika ditemukan 10 kosa kata yang salah, berarti Andio adalah bahasa, karena berbeda dengan Balantak. Tetapi hingga peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari 2023, belum ada hasil koreksi yang diserahkan ke Balai Bahasa Sulteng.
“Saya tiga hari yang lalu telepon kepala sukunya, Pak Kepala, kapan dibawakan supaya kita lihat kembali, kita uji kembali, apakah ini bahasa yang berbeda, ataukah sama dengan Balantak. Jangan sampai beda kampung, lantas bedakan bahasa, padahal sama. Sampai sekarang belum ada data terbaru dari sana sehingga dalam data nasional masih sebagai bahasa yang sama dengan Balantak,” ujar Asrif.
Reporter : Iker
Editor : Rifay