PALU- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) meminta Gubernur Sulteng mengeluarkan surat edaran penghentian penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaan perkebunan sawit diduga bermasalah.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng Sunardi Katili, prinsipnya mereka mengapresiasi dan mendukung langkah Gubernur untuk menyelesaikan masalah perkebunan sawit di daerah ini.

Ia menyebutkan, dengan Gubernur melaporkan 41 perusahaan sawit tanpa HGU di Sulteng pada Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jakarta 11 Januari 2023 lalu merupakan sikap perhatian bagi daerah.

“Tapi harapannya ada tindakan nyata, misalnya karena situasi penting dan mendesak Gubernur sebaiknya menerbitkan surat edaran, meminta tidak memproses perusahaan-perusahaan ini untuk mendapatkan HGU atau menyetop menerbitan HGU bagi perusahaan dinilai bermasalah,” papar Sunardi dalam keterangan tertulis diterima MAL Online.

Ia mengatakan, memang pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-XIII/2015 perusahaan sawit tidak memiliki HGU diharuskan sudah memiliki HGU tidak hanya pilihan IUP saja.

Sunardi melanjutkan, alangkah eloknya perusahaan-perusahaan tanpa HGU tersebar di Kabupaten Morowali sebanyak 17 perusahaan, Morowali Utara sebanyak 9 perusahaan, Parigi Moutong sebanyak 7 perusahaan, Tolitoli sebanyak 4 perusahaan, Donggala sebanyak 2 perusahaan.

Kemudian kata dia, Kabuoaten Poso dan Kabupaten Banggai Kepulauan masing-masing sebanyak 1 perusahaan dengan total lahan seluruhnya seluas 411, 957, 28 hektar itu diambil alih negara.

“Dalam hal ini pemerintah daerah guna dikelola bagi kemakmuran dan kesejahteraan petani dan rakyat sekitar daerah perkebunan tidak memilik tanah dengan berbagai jalan, salah satu dari sekian banyak jalan yaitu skema tanah objek reforma agraria atau tora,” tutupnya.

Sejauh ini perusahaan perkebunan sawit terbesar di Sulawesi Tengah adalah grup PT. Astra Agro Lestari (AAL) diketahui memiliki 6 anak perusahaan sawit dan kerap terjadi masalah konflik lahan antara petani dan perusahaan.

Tercatat Sejak 2004 hingga 2022 sebanyak 14 orang petani telah mengalami kriminalisasi oleh anak perusahaan AAL, dengan tipe konflik hampir sama yaitu tuduhan pencurian buah sawit oleh petani baik di lahan sendiri maupun lahan milik perusahaan, tumpang tindih lahan rakyat dengan perusahaan atau tumpang tindih dengan kawasan hutan, provokasi dan pengancaman serta masih banyak juga konflik agraria perkebunan sawit diluar anak perusahaan AAL ini.(**/IKRAM)