DONGGALA – Kerajinan tenun Donggala saat ini cenderung bergeser ke kampung-kampung pinggiran kota. Padahal sebelumnya, para pengrajin tenun tersebut masih menyebar dalam kota dan sekitarnya.

Terakhir tahun 2005, kegiatan menenun masih terdapat di Kelurahan Kabonga Kecil, begitu pula di Kelurahan Boneoge hingga akhir dekade 1990-an.

“Penenun di Boneoge berhenti diperkirakan sekitar dua puluhan tahun lalu, disebabkan mereka umumnya sudah berusia tua. Tidak ada lagi generasi yang melanjutkan, sehingga kerajinan itu betul-betul punah di Boneoge,” ungkap Mario Kempes, seorang tokoh pemuda di Boneoge, Kamis (26/01).

Saat ini, kata dia, yang tersisa tinggal peralatan tenun yang tersimpan di beberapa rumah penduduk di Boneoge. Kata Mario, saat ini sudah sulit untuk dilakukan pelatihan menenun kepada generasi muda, sebab sudah lama terputus. Selain itu, umumnya generasi muda setempat sudah memiliki pekerjaan lain dan meninggalkan tradisi tenun.

Begitu pula di Kelurahan Kabonga yang pernah memiliki sentra tenun terbanyak di Donggala. Sekarang, tinggal tumpukan alat yang teronggok di sebuah tempat milik keluarga Abubakar Aljufri.

Sebelumnya, di samping halaman rumah Abubakar Aljufri terdapat pusat tenun ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), tetapi sejak meninggalnya Gamar Aljufri selaku pengelolaan dan pembina, maka sentra tenun itu ditutup.

“Sejak itu pula Kabonga kehilangan kerajinan tenun, sehingga tinggal kenangan karena tidak ada yang melakukan pembinaan. Padahal ada banyak orang di Kabonga yang terampil seperti memintal dan mencelup untuk pewarnaan, cuma saja tidak pernah lagi mereka kerja,” jelas Andrifal (40 tahun), seorang warga di Kabonga Kecil, Kamis (26/01).

Usaha tenun yang sudah dari awal tutup berada dalam Kota Donggala, tepatnya di Kelurahan Boya, Labuan Bajo dan Maleni.

Umumnya, tiga tempat tersebut cukup banyak yang mengerjakan pembuatan khusus sarung Donggala. Bahkan di Maleni pernah menjadi tempat usaha dagang sarung Donggala milik orang Yaman Selatan, bernama Al Batati.

“Kakek saya dulu itu memiliki usaha dagang sarung Donggala di Maleni. Bukan saja dia membeli sarung untuk dipasarkan kembali, melainkan membuka pula usaha tenun di samping rumah,” jelas Ahmad Batati, cucu Al Batati yang ditemui belum lama ini.

Pada akhirnya, menurut Ahmad, usaha itu tutup sejak dekade 90-an karena tidak ada yang melanjutkan. Peralatan tenun pun terbengkalai karena tidak ada yang mengurus.

Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay