Penulis: Moh. Ahlis Djirimu*

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulteng sesuai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menurun dari 3,67 persen pada Februari 2022 menjadi 3 persen pada Agustus 2022 patut kita apresiasi. Penurunan ini melampaui target dalam Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulteng Tahun 2021-2026 yakni sebesar 3,07 persen pada 2022 dan 2,84 persen pada 2023. Secara absolut, selama Agustus 2021-Agustus 2022, jumlah penganggur berkurang dari 59,37 ribu jiwa menjadi 49,15 ribu jiwa atau berkurang 10,23 ribu jiwa. Pemerintah Provinsi Sulteng patut berterima kasih pada sepuluh daerah yang tingkat penganggurannya menurun yakni Bangkep, Banggai, Morowali, Morut, Buol, Poso, Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, dan Kota Palu. Penurunan terbesar dicapai oleh Kabupaten Morowali yang angka pengangguran terbukanya pada periode Agustus 2021-Agustus 2022 berkurang sebesar 1,88 persen, diikuti oleh Bangkep sebesar 1,47 persen, Kota Palu berkurang sebesar 1,46 persen, Parigi Moutong berkurang sebesar 1,26 persen. Sebaliknya, TPT meningkat pada tiga daerah yakni Kabupaten Tolitoli meningkat dari 3,13 persen menjadi 3,31 persen atau secara absolut naik 0,18 persen, lalu Kabupaten Sigi meningkat dari 2,38 persen menjadi 3,01 persen, atau terjadi kenaikan absolut sebesar 0,68 persen, serta Banggai Laut meningkat dari 3,35 persen menjadi 3,60 persen atau terjadi peningkatan absolut sebesar 0,25 persen. Selanjutnya, delapan daerah mempunyai TPT di atas Sulteng yakni Banggai dan Buol masing-masing sebesar 3,09 persen, Morowali sebesar 3,20 persen, Tolitoli sebesar 3,31 persen, Tojo Una-Una sebesar 3,05 persen, Sigi sebesar 3,01 persen, Banggai Laut sebesar 3,60 persen dan Kota Palu sebesar 6,15 persen. Sebaliknya, lima daerah mempunyai TPT di bawah TPT Sulteng yakni Donggala sebesar 2,84 persen, Morut sebesar 2,25, serta tiga daerah menuju TPT alamiah yakni Bangkep sebesar 1,48 persen, Poso sebesar 1,68 persen, dan Parigi Moutong sebesar 1,71 persen.

 Selain itu, selama covid-19, secara spesifik, terdapat 584 penganggur yang disebabkan covid-19 dengan jumlah terbanyak ada di Kota Palu mencapai 183 jiwa, disusul di Kabupaten Banggai sebanyak 157 jiwa dan Buol sebanyak 135 jiwa, serta Tojo Una-Una sebanyak 109 jiwa. Sedangkan di sembilan daerah lainnya, tidak terdapat pengangguran yang disebabkan karena covid-19 pada data rilis Agustus 2022. Selanjutnya, terdapat 1.988 jiwa penduduk Sulteng mengalami peralihan dari Angkatan kerja menjadi bukan Angkatan Kerja dengan jumlah terbanyak di Kota Palu sebanyak 552 jiwa, lalu di Donggala sebanyak 304 jiwa, Poso sebanyak 260 jiwa, Parigi Moutong sebanyak 158 jiwa, Bangkep sebanyak 155 jiwa dan Morut sebanyak 154 jiwa. Di luar Banggai, Morowali, dan Tolitoli, data ini mengindikasikan bahwa terjadi peralihan laki-laki dan perempuan di Sulteng dari pekerja dalam Angkatan kerja menjadi bukan Angkatan kerja. Tentunya, kategori bukan Angkatan kerja terdiri dari anak-anak, ibu rumah tangga, sehingga mereka yang mengalami peralihan ini adalah bapak rumah tangga (BRT) dan ibu rumah tangga (IRT). Sedangkan pekerja Sulteng yang mengalami dampak karena covid-19 cukup banyak mencapai 24.765 jiwa atau proporsinya mencapai 50,39 persen dari keseluruhan penganggur. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah terbanyak berada di Kabupaten Poso mencapai 5.639 jiwa, disusul di Kota Palu sebanyak 5.536 jiwa, Banggai sebanyak 3.718 jiwa, Parigi Moutong sebanyak 2.260 jiwa. Pekerja paling sedikit terdampak covid-19 adalah Morowali hanya mencapai 92 jiwa. Pada Agustus 2022, penganggur karena covid-19 telah berkurang dari 9.180 jiwa pada Agustus 2021 berkurang tinggal 580 jiwa

Di Provinsi Sulteng, dari 17 sektor perekonomian, enam sektor mengalami kenaikan dalam penyediaan lapangan kerja. Sektor pertanian, dalam arti luas yakni sub sektor tanaman pangan dan hortikultura, perikanan, kehutanan berperan penting dalam penyediaan lapangan kerja yang proporsinya mencapai 43,37 persen atau menyerap 689.573 tenaga kerja, serta mengalami kenaikan 3,8 persen dalam menyediakan. Lalu disusul oleh sektor perdagangan yang menyerap 15,51 persen atau 246.038 tenaga kerja, walaupun kenaikannya hanya 0,4 persen dan sektor industri pengolahan menyerap 8,40 persen atau 133.251 tenaga kerja. Tiga sektor lainnya yang mengalami peningkatan dalam penyediaan lapangan kerja adalah akomodasi dan makan, minum sebesar yang meningkat 0,24 persen dan sektor jasa lainnya sebesar 0,29 persen dan realestat sebesar 0,01 persen. Namun, hal ini memperlihatkan peran besar dan kemampuan sektor pertanian menjadi jaring pengaman sosial dalam penyediaan lapangan kerja yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sayangnya, sektor pertanian dalam arti luas sebagai sektor yang menyerap banyak tenaga kerja kurang mendapat perhatian pada sisi investasi penyediaan pangan dan hortikultura, perikanan sebagai titik berat pembangunan. Sektor ini merupakan tempat bekerja bagi tenaga kerja tidak trampil selama bertahun-tahun yang tercemin dari 662.764 jiwa lulusan SD/MI ke bawah yang bekerja pada sektor ini atau proporsinya sebesar 41,78 persen.

Sayangnya, proporsi tenaga kerja berkualifikasi SMK ini mengalami penurunan dari 8,06 persen pada Agustus 2021. Selain itu, daya serap sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyediakan 27.761 jiwa atau proporsinya sebesar 1,75 persen berada di posisi ketujuh dari tujuh belas sektor ekonomi Sulteng. Hal ini berarti investasi yang selama ini masuk ke Sulteng di sektor ini relatif tidak mendatangkan manfaat penyerapan tenaga kerja karena sifatnya padat modal, butuh pekerja berketrampilan tinggi, menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi tinggi non inklusif, bahkan menciptakan bencana lingkungan, banjir, kawasan kumuh, pencemaran logam berat, di daerah tujuan investasi yang dibanggakan tersebut. Besarnya investasi berbanding terbalik atas manfaat yang diraih. Investasi di sektor pertambangan dan penggalian khususnya logam dasar merupakan kebanggaan semu.Inilah yang disebut Immiserizing Growth atau Pertumbuhan Yang Membenamkan oleh profesor Jagdish Bhagwati.

Selanjutnya, terdapat 336.776 jiwa pekerja mempunyai kualifikasi Pendidikan SMA/MA atau proporsinya 21,23 persen. Pekerja berkualifikasi pendidikan SMP/MTs sebanyak sebanyak 262.853 jiwa atau proporsinya sebesar 16,57 persen. Sedangkan pekerja lulusan SMK mencapai 99.780 jiwa atau proposinya mencapai 6,29 persen.

Penurunan pekerja berijazah SMK selama periode Agustus 2021-Agustus 2022 berbarengan dengan tingginya angka pengangguran SMK yang meningkat dari 5,37 persen pada Agustus 2021 menjadi 7,35 persen pada Agustus 2022. TPT tertinggi sebesar 7,35 persen pada Agustus 2022 lulusan SMK menunjukkan bahwa belum ada link & match antara dunia akademik (DUDA) dan Dunia Industri (DUDI) di Provinsi Sulteng. Hal ini menunjukkan bahwa Pendidikan di Sulteng belum inklusif dalam berperan menyediakan bahan baku kualifikasi Pendidikan bagi semua di tingkatan SMP/MTs dan SMA/MA/SMK bagi life skill.

Sulteng telah dan akan menjadi provinsi penyumbang pengangguran tenaga kerja trampil dan terdidik yang tercermin dari kenaikan TPT lulusan SMK pada Agustus 2022 sebesar 7,35 persen atau berjumlah 3.612 jiwa, lulusan SMA yang menjadi penganggur pada Agustus 2022 mencapai 2.497 jiwa atau 5,08 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 2.256 jiwa atau 4,59 persen, serta lulusan diploma I sampai dengan III mencapai 1.548 jiwa atau 3,15 persen. Sepatutnya Pemerintah Provinsi Sulteng berterima kasih pada Kebijakan Pemerintah Kabupaten Morowali memberikan asuransi kecelakaan kerja dan kematian melalui BPJS-TK pada petani dan nelayan, serta kebijakan yang sama di Kota Palu yang mengcoveraged tidak saja peserta Padat Karya, tetapi pemberian beasiswa pada anak-anak usia sekolah dari keluarga peserta Padat Karya tersebut setelah menjadi peserta tetap BPJS-TK selama tiga tahun memberikan kesinambungan Pendidikan pada rumah tangga miskin di Kota Palu.

Namun, adanya 49,15 ribu jiwa penganggur masih menjadi permasalahan di Sulteng. Data base penganggur belum tersedia memadai. Bursa kerja belum dilaksanakan secara keseluruhan pada tiga belas kabupaten/kota. Solusinya, pertama, di antara 1.586.320 jiwa penduduk Sulteng, ada Berusaha Sendiri yang jumlahnya meningkat 21,58 persen menjadi 25,07 persen atau 397.690 jiwa, pekerja bebas di sektor pertanian sebanyak 67.260 jiwa atau proporsinya 4,24 persen, serta Pekerja Bebas di Non Pertanian sebanyak 59.804 jiwa. Mereka wajib dilindungi karena ada di antaranya sebagai Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) atau Pekerja Mandiri yang menjadi segmen pekerja yang berhak mendapatkan perlindungan jaminan sosial melalui BPJAMSOSTEK. Para pekerja BPU memperoleh tiga perlindungan yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM) dengan iuran bulanan mulai Rp36.800,- yang dapat dibayarkan oleh Pemprov Sulteng. Kedua, Kebijakan Pemerintah Sulteng yang dapat mewajibkan perusahaan yang akan berinvestasi di Sulteng dengan memberikan komitmen asuransi pada pekerjanya sepatutnya didorong terutama asuransi kecelakaan kerja, kematian, hari tua, pensiun, kehilangan pekerjaan patut didorong. Ketiga, pada 31 desa sangat tertinggal, 436 desa tertinggal, serta 1.096 desa berkembang, Pemprov dapat mendorong Dana Desa memberikan asuransi JKK, JHT, JKM dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang iurannya sebesar Rp36.800,- per bulan dan asuransi pertanian dan peternakan.

*Associate Professor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untad