Dalam keseharian, ungkapan di atas sering kita dengarkan. Suatu ajakan agar dalam menyikapi sesuatu, kita lebih mengedepankan akal, tidak hanya memainkan perasaan.

Lalu, apakah perbedaan antara perasaan dan akal itu, dan bagaimana penjelasan al-Qur’an mengenai hal ini?

Sebenarnya, di antara posisi perasaan dan akal itu ada pengetahuan. Misalnya seseorang melihat sinar dengan matanya, mendengar suara dengan telinganya, mencium bau dengan hidungnya, merasa panas atau dingin di kulit, merasa lapar atau haus. Itu semua adalah peran perasaan.

Tapi, mengapa anak kecil yang melihat api misalnya, terkadang lebih suka menyentuhnya? Karena baginya, api itu bersinar hingga memantik perhatiannya.

Seandainya dia sudah besar dan mengetahui apa itu api, ia tak akan melakukan tindakan tersebut. Dengan demikian, anak kecil itu dapat melihat api dengan matanya, dapat menyentuh dengan tangannya, tapi ia belum memiliki pengetahuan tentang hakikat api itu, bahwa bila memegangnya ia akan merasakan panas.

Apakah dengan pengetahuan, seseorang sudah dapat menentukan sikap? Belum tentu. Pasalnya, pengetahuan itu hanya berdasarkan pemikiran, masih belum menggunakan akal, yang tempatnya adalah hati.

Seseorang mungkin pernah membaca informasi tentang bahaya minuman keras dan ia tahu, namun dia masih tetap saja menenggaknya. Dalam hal ini ia sudah tahu, tapi belum menentukan sikap apapun.

Karena itu Alquran mendorong manusia untuk menggunakan akalnya dengan optimal dan benar, “Tidaklah kamu berakal?”, “Agar kamu berpikir”, “Jika kamu memahaminya”, “Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran?”

Akal juga merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu, sekaligus syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna. Sehingga, ilmu dan amal menjadi lengkap.

Di masa Jahiliyah, kaum musyrikin telah jauh melenceng dari fitrah mendasar manusia, yakni tauhid. Kesyirikan mereka berbuntut pada rusaknya akal, sehingga mereka membuat patung-patung yang tak berdaya untuk disembah dan dimintai. Mereka juga mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup.

Oleh sebab itu, diutusnya para nabi dan rasul juga untuk meluruskan akal dan fitrah manusia, termasuk fitrah untuk beriman dan hanya menyembah Allah. Pada dasarnya, hanya dengan fitrah bawaan, seseorang sudah dapat mencapai keimanan terhadap Allah.

Jika akalnya tidak mampu membawa pada keimanan maka ditambah hidayah akal dan apabila belum mampu juga maka ditambah hidayah agama.

Ibnu Taimiyah mengatakan, Allah Azza wa Jalla menciptakan manusia dengan fitrah. Keyakinan, nilai-nilai, dan prinsip kehidupan dalam Islam bermuara pada fitrah ini. Islam adalah agama fitrah dan seluruh tujuan syariat Islam adalah menyem pur nakan keselarasan manusia dengan fitrahnya. Nalar adalah bagian dari fitrah.

Maka, fungsi akal adalah menerima, membenarkan, menjelaskan, dan mengimplementasikan wahyu Allah di dalam Alquran dan hadis Nabi yang sahih. Mustahil wahyu Allah bertentangan dengan akal.

Apabila sepintas akal dan wahyu tampak bertentangan, sesungguhnya akal itu lemah dan terbatas kemampuannya. “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS an-Nisaa: 28).

Akal sehat adalah akal yang membenarkan dan tunduk kepada Alquran dan sunah. Sedangkan memilah-milah syariat Allah agar sesuai dengan hawa nafsunya bukanlah bentuk syukur terhadap nikmat akal.

Akal lebih dari kemampuan berpikir teoritis, sehingga ia tidak mutlak ditimba dari pendidikan formal. Para nabi, rasul, para sahabat Nabi, dan ulama terdahulu tidaklah mengenyam bangku sekolah.

Akal yang sehat dan jernih adalah karunia Allah yang didapat dengan mendekatkan diri kepada-Nya maka semakin bertakwa seseorang semakin cemerlang dan terasah akalnya. Dengan akal yang sehat seperti itu, maka inte lektualitas adalah keniscayaan. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)