PALU – Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat sekitar 2,6 juta instrument pembayaran non-tunai yang beredar di Sulteng pada triwulan III Tahun 2022.

Sebagian besar instrumen masih didominasi oleh kartu ATM/Debit sebesar 85,7 persen, diikuti uang elektronik dan kartu kredit.

“Dari ketiga jenis pembayaran non tunai, kartu kredit mengalami pertumbuhan pesat sebesar 70,7 persen (yoy) dengan nilai nominal Rp71,1 miliar, diikuti ATM/debit dengan pertumbuhan 41,3 persen, nominal Rp19,8 miliar,” kata Deputi Kepala KPw BI Provinsi Sulteng, Gusri Wantoro, menguraikan evaluasi kinerja ekonomi Sulteng tahun 2022 serta prospek ekonomi dan arah kebijakan BI tahun 2023 dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), di Palu, Rabu (30/11).

Sementara itu, kata dia, uang elektronik tumbuh melambat di angka 3,0 persen (yoy). Meskipun demikian, kata dia, secara nominal uang elektronik masih memiliki nominal yang lebih besar dari kartu kredit, yaitu Rp262,4 miliar.

Ia menambahkan, sejalan dengan pertumbuhan pembayaran non tunai, tingkat akseptasi QRIS di Sulteng juga terus meningkat, ditunjukan dengan meningkat pesatnya jumlah pengguna, volume transaksi, dan nominal transaksi.

“Sampai dengan bulan Oktober 2022, jumlah pengguna QRIS tumbuh sebesar 386,5 persen (yoy) dengan total pengguna mencapai 99.221 orang,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut dia, volume transaksi QRIS juga tumbuh sebesar 141,4 persen pada Agustus 2022, dengan volume sejumlah 116 ribu transaksi. Dari sisi nominal, juga terjadi peningkatan yang tinggi dengan pertumbuhan sebesar 40,5 persen dengan nominal transaksi mencapai Rp17,9 miliar.

Lebih lanjut ia mengatakan, sebagai upaya digitialisasi daerah, saat ini telah terbentuk 14 TP2DD (Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah) dari provinsi dan kabupaten/kota.

“Berdasarkan hasil IETPD semester I 2022 seluruh Pemda di wilayah Sulteng telah berstatus digital oleh Satgas P2DD Nasional. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat baik berkat terjalinnya koordinasi dan sinergi antar TP2DD Sulteng,” katanya.

Pihaknya berharap agar pencapaian ini tetap konsisten, bahkan semakin baik lagi sehingga upaya percepatan dan perluasan digitalisasi daerah di Sulteng semakin berkembang dan dapat direalisasikan oleh seluruh masyarakat Sulteng.

Pada kesempatan itu, Gusri juga menguraikan pertumbuhan ekonomi Sulteng triwulan III Tahun 2022. Kata dia, pertumbuhan ekonomi Sulteng tertinggi kedua secara nasional setelah Maluku Utara.

Ekonomi Sulteng tumbuh 19,13 persen (yoy), berada jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh pada level 5,72 persen (yoy).

“Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, Sulteng menjadi provinsi dengan perekonomian terbesar kedua di Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua) dengan share sebesar 17,56 persen, hanya berada di bawah Sulawesi Selatan,” tuturnya.

Hal ini, lanjut dia, mengindikasikan bahwa roda perekonomian terus tumbuh di tengah berbagai dinamika internal dan eksternal. Dari sisi penawaran, tumbuh tingginya perekonomian Sulteng terutama didorong oleh peningkatan kinerja sektor utama, yaitu industry pengolahan.

Namun, kata dia, di tengah tingginya pertumbuhan ekonomi Sulteng, inflasi gabungan dua kota di Sulteng masih menjadi tantangan bersama, seiring dengan konflik Rusia Ukraina yang berdampak terhadap harga energi.

Per Oktober 2022, inflasi tercatat 6,36 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan Oktober 2021 yakni 1,73 persen (yoy).

Sepanjang tahun 2022, komoditas-komoditas paling sering muncul sebagai top 5 penyumbang inflasi bulanan di antaranya bahan bakar rumah tangga, ikan cakalang/ikan sisik, angkutan udara, telur ayam ras, dan ikan selar/tude.

Pada komoditas bahan bakar rumah tangga, tekanan inflasi tersebut berasal dari efek penyesuaian kenaikan harga minyak dan gas global. Kenaikan harga avtur juga menggiring kenaikan harga pada angkutan udara.

Sementara itu, kenaikan harga pakan ayam serta pendistribusian bantuan pangan nontunai yang banyak menghabiskan stok di pasar menyebabkan harga telur ayam mengalami peningkatan.

Pada komoditas ikan selar/tude, tingkat penangkapan akan sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca serta disparitas harga antar wilayah yang mendorong penjualan ikan dari Sulteng ke provinsi lain sehingga menyebabkan stok berkurang dan menaikkan harga di pasar.

Di bagian lain, KPw BI Sulteng juga senantiasa mendukung sasaran kebijakan yang telah ditetapkan BI Pusat. BI bersama pemerintah telah meluncurkan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) sebagai upaya kolaboratif untuk mengoptimalkan pengendalian inflasi melalui pelaksanaan berbagai program dan kegiata.

GNPIP dimulai dengan kegiatan pasar murah yang dilaksanakan di Kota Palu dengan menghadirkan berbagai komoditas seperti telur ayam dan cabai keriting merah.

“Kemudian, BI menginisiasi pembentukan Forum Tani Sulteng sebagai langkah awal dalam upaya membantu peningkatan kualitas data pertanian yang mencakup proyeksi produksi serta pergerakan pemasarannya,” tambah Gusri.

Dalam konteks pengembangan ekonomi syariah, BI Sulteng juga membantu pemberdayaan pelaku syariah kepada Ponpes Madinatul Ilmi DDI Siapo Tolitoli dan Pondok Pesantren Daarul Khair.

“Selain itu, membantu peningkatan kapasitas pelaku usaha syariah diantaranya dengan sosialisasi dan pelatihan sertifikasi halal di sulteng syariah expo dan temu UMKM Tolitoli,” ujarnya.

Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) tadi dihadiri Wagub Sulteng Ma’mun Amir serta perwakilan dari pemda-pemda di Sulteng. */RIFAY