PALU – Perusahaan pemegang kontrak karya pertambangan emas, PT Citra Palu Minerals (CPM) bekerja sama dengan pemerintah daerah, melaksanakan sosialisasi terpadu tentang hak kepemilikan lahan dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), di salah satu hotel, di Kota Palu, Jumat (19/08).

Terdapat empat narasumber yang dihadirkan dalam sosialisasi tersebut, yakni perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), perwakilan Direktorat Kriminal Khusus (Dirkrimsus) dan Direktorat Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Sulteng.

Pesertanya sendiri adalah masyarakat lingkar tambang yang terdampak langsung dengan lahan dalam aktivitas PT CPM, seperti Kelurahan Poboya dan Vatutela, Kelurahan Tondo.

“Jadi tidak semua keterwakilan dari lingkar tambang, karena tidak semua yang di lingkar tambang itu terdampak langsung terkait lahan. Ada yang terdampak langsung secara lahan dan terdampak sosial,” jelas Manager External Relation and Permit PT CPM, Amran Amier.

Ia mengatakan, sosialisasi tersebut adalah bagian dari kewajiban CPM untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai hak-hak kepemilikan lahan dan bagaimana pula jika masyarakat mengklaim lahan di dalam kawasan hutan.

“Jadi inti kegiatan ini adalah memberikan pemahaman bersama semua stakeholder, baik masyarakat, perusahaan, pemerintah dan aparat penegak hukum untuk sama-sama mengetahui bagaimana sebenarnya hak kepemilikan lahan itu, utamanya yang ada dalam kawasan hutan,” jelas Amran.

Pada kesempatan itu, AKBP Imam Wijayanto selaku Kasubdit IV Dirkrimsus Polda Sulteng, menyampaikan regulasi yang berkaitan dengan larangan untuk mengganggu usaha pertambangan, juga terkait aktivitas pertambangan tanpa izin.

Ia mengatakan, dalam pasal 162 Undang-Undang (UU) Nomor: 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor: 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.

“Sementara di Pasal 158 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar,” katanya.

Pada sesi tanya jawab, perwakilan masyarakat dari Vatutela, Asrul, menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan kekhawatiran masyarakat setempat, jika nantinya PT CPM akan beraktivitas di wilayah mereka.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Jeng selaku Kabid Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Dishut Sulteng, mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya aktivitas pertambangan karena lahan perkebunan mereka yang ada dalam kawasan hutan tidak akan terganggu.

Ia mengakui bahwa penghidupan masyarakat Vatutela adalah dari hasil perkebunan kemiri yang sudah berjalan puluhan tahun. Dinas Kehutanan, kata dia, tetap berupaya untuk memberdayakan masyarakat dengan tetap menjaga kelangsungan perkebunannya.

“Jadi tidak usah resah, Dinas Kehutanan juga tidak akan main tebang dan menyuruh keluar petani yang ada. Pihak CPM pun jika ingin memperlebar sayapnya ke sana, tentunya masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui karena tentunya juga harus mengurus lagi pinjam pakai kawasan hutan,” katanya.

Senada dengan Jeng, Kepala Seksi II Pendaftaran Tanah, BPN Kota Palu, Sarifudin, mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir jika nantinya CPM akan beroperasi di wilayahnya.

“Ada undang-undang yang menjamin hak keperdataan masyarakat, sekalipun belum memiliki sertifikat, apabila terdampak pembangunan untuk kepentingan publik, termasuk aktivitas pertambangan. Hak keperdataan itu akan diberikan setelah mendapatkan asessment dari apraisal yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun,” ujarnya.

Ia juga menguraikan beberapa hal pokok yang wajib dipenuhi CPM, jika nantinya ingin melakukan operasi pertambangan, antara lain ada kajian lingkungan dan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, ada rekomendasi dari Kementerian LHK atas kawasan yang akan dikelola serta tidak bertentangan dengan perencanaan tata ruang Kota Palu maupun Provinsi Sulteng.

Di tempat yang sama, Kasubdit I Dirkrimum Polda Sulteng, Kompol Ngadiman, mengingatkan kepada lurah ataupun kepala desa agar berhati-hati mengeluarkan SKPT karena bisa memicu terjadinya konflik.

“Biasanya ada SKPT yang baru dibuat, sementara IUP atau izin eksplorasi sebuah perusahaan sudah ada terlebih dahulu. Persoalan seperti ini sering terjadi, baik dalam pertambangan, perkebunan sawit dan sebagainya. Tentunya kalau ini berperkara, maka kami menolak. Jadi kami menolak itu karena ada dasar dan ada ketentuan. Kami sudah mempertegas, bahwa dalam menerima laporan terkait perkara tanah, harus betul-betul mengecek bukti-bukti pendukung dan sebagainya,” jelasnya.

Ketika diminta penjelasan terkait apa yang sudah dilakukan PT CPM kepada masyarakat, Musliman Dg Malapa, Eksternal Relation PT AKM (Adijaya Karya Makmur), selaku Kontraktor PT CPM, mengatakan, ada beberapa kebijakan yang sudah dilakukan saat ini.

“Antara lain CSR terus berjalan, tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat sekitar, termasuk di dalamnya Vatutela, Tanahmodindi, Lasoani, Kawatuna dan Kelurahan Poboya sendiri. Kami konsultasikan apa yang dibutuhkan masyarakat lalu kita koodinasikan dan anggarkan melalui dana CSR,” terangnya.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga mendirikan dua koperasi, yaitu koperasi yang khusus di Poboya dan koperasi untuk kelurahan lain yang berada di lingkar tambang.

“Di koperasi itu masyarakat bisa meminta apa yang dibutuhkan,” terangnya. *