Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang Islam memiliki keistimewaan yang menjadi ciri khasnya, yaitu adanya sifat kasih sayang dan persaudaraan. Kasih sayang tersebut menghiasi diri mereka.
Dalam hadits shahih Imam Bukhari juga demikian. Rasulullah Saw menganjurkan jika salah satu di antara kita jika memasak sayur, maka perbanyaklah airnya.
Memperbanyak air yang beliau maksudkan disini dapat dimaknai dengan memperbanyak kuantitasnya sehingga sayur itu tidak hanya bisa disantap oleh yang membuat atau keluarganya saja, namun juga bisa dibagi ke para tetangga.
Sebab, dengan memberi itulah menjadi salah satu jalan untuk menguatkan hubungan baik dan mempererat silaturrahim.
Karena itu hakikat kehidupan seorang mukmin adalah bersaudara dan bersahabat dengan baik. Satu sama lain saling bahu-membahu, dan tak ada aksi saling hina, hujat, apalagi saling bunuh, nauzubillah.
Persaudaraan ini jelas seperti yang difirmankan Allah SWT, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS Al Hujurat [49]: 10)
Allah SWT telah mengharamkan atas kaum mukminin untuk melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka.
Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari melakukan perbuatan itu).” (QS Al-Maidah [5]: 91)
Sudah selayaknya setiap pribadi Muslim untuk menjaga lidahnya sehingga tidak berkata-kata kecuali untuk kebaikan. Jika berkata-kata itu sama baiknya dengan tidak berkata-kata, maka Islam menganjurkan untuk tidak berkata-kata. Karena, perbincangan yang halal kadang dapat berubah menjadi perbincangan yang makruh dan bahkan menjadi perbincangan yang haram.
Terkait dengan hal itu, Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang telah disepakati keshahihannya ini disebutkan bahwa tidak layak seseorang berbicara kecuali jika kata-katanya itu mengandung kebaikan, yaitu perkataan yang mendatangkan kebaikan.
Untuk itu jika seseorang ragu tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan diucapkannya maka hendaklah ia tidak berbicara.
Orang yang beriman kepada Allah SWT tentu takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Yang terpenting dari semua itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah SWT, ”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya.” (QS Al Isra’ [17]: 36)
Orang yang beriman akan sangat memelihara lisannya agar selamat karena ia meyakini dengan sepenuh hati tiada satupun ucapan sehalus apapun kecuali pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT.
“Hati-hatilah terhadap lisan kita. Karena ucapan-ucapan yang terlontar darinya meskipun itu ringan namun bisa berakibat berat bagi kita.
Bahaya lisan itu sangat banyak, Rasulullah SAW bersabda, ”Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya.” (HR Timridzi). Maka, mari kita memelihara lisan kita. Walllahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)