DONGGALA – Sedikitnya 500 hektare lahan pertanian di Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, tidak dapat dimanfaatkan karena tidak ada sistem pengairan.
“Problemnya adalah tidak ada pengairan atau sumber air yang bisa diandalkan untuk mengairi lahan-lahan subur tersebut agar warga bisa bercocok tanam,” kata Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng, Muh Masykur di Palu, Ahad (13/08).
Berdasarkan pengakuan warga saat ia melaksanakan kegiatan reses di wilayah Donggala Sa btu (12/8), lahan 500 hektare lebih itu dulunya adalah lahan produktif namun sekarang telah menjadi lahan tidur.
Ia menguraikan bahwa lahan tidur seluas 500 hektare itu awalnya menjadi Wilayah Desa Wani Satu sebelum dimekarkan. Kini lahan tersebut tersebar di tiga desa yaitu Wani Satu, Wani Tiga dan Wani Lumbumpetigo pascapemekaran desa.
Warga mengaku sulit mengembangkan pertanian di kecamatan itu karena sulitnya air karena petani hanya mengandalkan air hujan. Kalau musim hujan seperti saat ini, warga langsung bercocok tanam seperti jagung, cabe, ubi jalar dan palawija lainnya.
“Namun di musim kemarau, sebagian besar petani di situ menjadi buruh kasar di Pelabuhan Pantoloan dan sebagian lainnya menjadi bangunan,” katanya.
Warga setempat berharap pemerintah daerah utamanya Pemkab Donggala dapat mencari solusi atas persoalan ini dengan membangun sarana irigasi mislanya dalam bentuk embung.
Politisi Nasdem ini mengatakan tidurnya lahan produksi yang mencapai lima ratusan hektare itu jangan dianggap sepele.
“Ini hendaknya diseriusi pemerintah daerah dengan memikirkan bagaimana cara agar ada pengairan manjangkau lahan-lahan tersebut karena berperan penting untuk mensejahterakan rakyat setempat yang umumnya mengandalkan pertanian sebagai sumber nafkah,” katanya.
Ketua Fraksi Partai NasDem DPRD sulteng ini mengajak masyarakat untuk menyampaikan permasalahan tersebut ke pemeritah daerah Kabupaten Donggala.
Ia juga mendorong pemerintah desa bersama BPD mulai menggagas usulan perencanaan pembangunan irigasi karena sulit mendapat perhatian pemerintah bila usulan membangun irigasi tidak dilengkapi dengan dokumen perencanaan yang baik.
Menurut dia, kawasan itu memiliki potensi sumber air yang bisa dibendung untuk mendukung pertanian.
“Pengalaman di daerah lain juga sudah banyak melakukan hal seperti itu dan mereka sukses mengatasi masalah kelangkaan air, kuncinya ada di pemerintah daerah,” ujarnya.
Ide membangun irigasi ini membutuhkan biaya sangat besar sehingga perlu meyakinkan semua pihak untuk sama-sama mendukung, karena itu berkaitan erat dengan program meningkatkan ketahanan pangan.
“Ketahanan pangan berkorelasi langsung dengan kedaulatan negera kita. Sebab jika memenuhi isi perut warga negara saja tidak bisa dipenuhi maka itu pertanda tidak baik,” tegas Masykur. (RIFAY)